Policy Memo No. 006 Tahun 2010
oleh Tobias Basuki, M.A.
RUU Jaminan Produk Halal merupakan RUU yang sekilas nampak positif namun sebenarnya mengandung beberapa permasalahan.
Pengaju RUU Jaminan Produk Halal mengacu kepada hak konstitusional warga untuk beribadah dan mengamalkan agamanya. Namun bisa dikatakan justru hak ini terganggu bila negara ikut mencampurinya.
Secara konstitusional negara memang wajib melindungi kebebasan beribadah warganya, seperti disebutkan dalam pasal 28(E) UUD 45: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,…”
Namun menjamin dan memfasilitasi hak beribadah bukan berarti mengatur pelaksanaan ibadah itu sendiri. Masyarakat justru harus diberikan kebebasan untuk melaksanakan hak ibadahnya secara mandiri, sesuai agamanya masing-masing. Dalam hal ini, pemerintah dapat memfasilitasi agar upaya umat beragama untuk memperoleh produk yang halal menurut ajaran agamanya tidak dianggap melanggar hukum. Pemerintah dapat memberikan kepastian hukum ini, tetapi karena negara bukan otoritas agama, maka pemerintah tidak berwenang untuk ikut mendefinisikan dan mengesahkan apa yang halal bagi umat beragama tersebut.
Seperti dikatakan Max Weber, pada saat otoritas negara dan agama bercampur, agama akan selalu terkooptasi/terkorupsi politik. Dus kemurnian ibadat agama, seperti halnya masalah halal, dapat terkontaminasi. Dalam memfasilitasi ibadah agama, pemerintah dapat berperan untuk memastikan proses penyelenggaraan label jaminan produk halal dilaksanakan dengan baik, tanpa merugikan publik, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku umum. Misalnya, menindak pemalsuan jaminan produk halal dan mencegah penyelenggaraan sertifikasi produk halal yang justru melanggar hak-hak warganegara atau merugikan publik. Peran ini dapat dilakukan dengan menegakkan peraturan yang sudah ada, seperti KUHP. Dengan demikian, negara memberikan kepastian hukum agar umat beragama dapat mengupayakan sertifikasi produk halal tanpa dianggap melanggar hukum, serta menindak apabila upaya tersebut justru membatasi hak ibadah umat beragama tersebut atau mengganggu kepentingan publik. Pemerintah dapat melakukan semua ini tanpa ikut mencampuri proses sertifikasi itu sendiri.
Selain itu pengertian halal secara umum cukup jelas, tapi aplikasinya dalam industri amat sulit. Banyak faktor dalam suatu proses halal amat berbeda dari satu tempat ke tempat lain, antara lain pakan ternak, cara menyembelih, pengemasan, dan masalah logistik lainnya. Standarisasi dan sentralisasi otoritas jaminan produk halal amat sulit dilakukan, seperti diungkapkan dalam World Halal Forum. Aplikasi definisi halal dalam industri produk konsumen menjadi rumit ketika menyangkut hal-hal teknis, misalnya kesulitan standarisasi gelatin, pewarna dan perasa makanan, enzim hewani, atau metode penyembelihan mekanik, stunning, penggunaan thoracic stick. Ada banyak perbedaan fatwa mengenai hal-hal tersebut dari satu negara ke negara lain, dan juga dari satu sumber otoritas ke yang lain.
Melihat kerumitan tersebut, tidaklah tepat apabila negara memaksakan pemusatan otoritas sertifikasi halal pada lembaga pemerintah (mis. Departemen Agama) yang bukan merupakan lembaga keagamaan. Penyelenggaraan sertifikasi produk halal yang transparan oleh umat beragama itu sendiri yang memang memiliki otoritas dan kompetensi dalam bidang tersebut akan lebih efektif dan efisien, tanpa intervensi birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu, dalam rangka penyelenggaraan sertifikasi produk halal yang efektif dan efisien, beberapa hal berikut ini perlu dipertimbangkan:
1. RUU Jaminan Produk Halal tidak lagi diperlukan karena ketentuan mengenai produk halal sudah ada dalam berbagai peraturan perundangundangan, misalnya UU no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, UU no. 7 tahun 1996 tentang Pangan, UU no.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta berbagai peraturan pemerintah (PP), dan juga SK Badan POM. RUU Jaminan Produk Halal ini berpotensi tumpang tindih, atau bahkan bertentangan dengan undang‐undang lain yang sudah ada. Contohnya dalam UU Pangan sertifikasi halal bersifat sukarela, tapi ada usulan awal RUU Jaminan Produk Halal untuk mewajibkan sertifikasi halal bagi setiap produk. Kontradiksi semacam ini tentu akan menimbulkan kerumitan dalam pelaksanaan.
2. Pelaksanaan RUU Jaminan Produk Halal dapat mempersulit usaha kecil. Usaha kecil dan menengah seperti penjual makanan jalanan dan pasar akan kesulitan mendapatkan sertifikasi halal seperti yang ditetapkan dalam RUU ini. Produsen kecil dan menengah akan terbebani kewajiban untuk menyediakan fasilitas kompleks yang ditentukan RUU ini mengenai teknis proses produksi, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian dan penyajian produk dan lain sebagainya. Sektor usaha kecil dan menengah yang mencapai 60% di Indonesia menjadi penanggung utama beban RUU ini.
3. RUU Jaminan Produk Halal memperbesar potensi penyalahgunaan wewenang dan korupsi, sebagai akibat pemusatan wewenang di satu instansi saja. Lord Acton mengingatkan, Kekuasaan cenderung menjadi korup” (Power tends to corrupt). Wewenang untuk memberikan sertifikasi halal merupakan kewenangan yang amat penting, yang dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk dalam hal finansial. Disamping itu, apabila ditangani satu badan saja, kemampuan verifikasi produk halal akan sulit mengikuti perkembangan zaman yang metode produksinya terus berubah.
4. Privatisasi pemberi sertifikasi halal justru dapat melindungi umat Islam secara lebih komprehensif dan berkualitas. Pemberian sertifikasi melalui badan – badan privat akan meningkatkan kualitas dan standar halal yang bersaing. Apalagi mengingat akan ada begitu banyak produk yang masih harus diteliti, lebih banyak badan sertifikasi akan memastikan standar pengecekan dan pemastiannya akan lebih komprehensif. Dengan adanya lembaga‐lembaga independen yang bersaing dalam memproses sertifikasi halal, justru tingkat keseriusan dan kualitas memproses sertifikasi halal akan makin tinggi.
TOBIAS BASUKI, M.A. Director of Studies, Institut Leimena Sumber Foto: www.food.detik.com
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena