info@leimena.org    +62 811 1088 854

Policy Memo No. 005 Tahun 2010

oleh Tobias Basuki, M.A.

RUU Bantuan Hukum diajukan atas dasar usaha untuk memenuhi hak konstitusional dan hak asasi warga Indonesia, yaitu adanya “pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,” bagi setiap warganya, yang tertulis dalam UUD 45 pasal 28D ayat 1.

Maksud dan tujuan RUU ini secara khusus adalah menjalankan mandat konstitusi untuk memberikan bantuan bagi mereka yang mengalami kesulitan mendapatkan akses hukum dan keadilan. Seperti yang digaris-bawahi dalam pernyataan UUD 45 pasal 28H ayat 2, bahwa: “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Salah satu target utama RUU ini adalah memberikan bantuan hukum bagi orang/fakir miskin, yang seringkali mengalami kesulitan mendapatkan akses keadilan dan perlakuan yang sama di depan hukum karena ketidak mampuan ekonomi.

Mengingat mandat Konstitusi yang lebih luas, yaitu hak persamaan di hadapan hukum yang berlaku bagi setiap warganya, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan  dalam RUU Bantuan Hukum ini.

Pertama, definisi dan target penerima bantuan hukum. Apakah yang memerlukan bantuan hukum hanya orang/fakir miskin? Penerima bantuan hukum yang utama dalam RUU ini adalah orang/fakir miskin, yang dalam naskah akademis diperkirakan berjumlah 32 juta jiwa di Indonesia. Namun keterbatasan akses hukum dan keadilan tidak hanya dialami karena kekurangan ekonomi.

Selain itu, salah satu kriteria miskin yang ditetapkan adalah surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, dan pejabat yang setingkat di daerah itu. Masyarakat pada kultur dan adat tertentu akan merasa harga dirinya terinjak apabila harus menyatakan diri sebagai orang miskin. Sebaliknya, orang miskin pada garis yang lebih rendah lagi belum tentu dapat memenuhi kriteria tersebut. Seorang tuna wisma yang tinggal dibawah jembatan tidak akan mempunyai akses dokumen di kelurahan.

Pembatasan penerima bantuan hukum hanya pada orang/fakir miskin secara ekonomis artinya belum memenuhi mandat konstitusi untuk memberikan akses hukum dan keadilan bagi setiap warganya, karena yang memerlukan bantuan hukum juga mencakup kelompok–kelompok minoritas dan termarjinalkan karena suatu kebijakan publik.

Kedua, bantuan hukum seharusnya bersifat lebih struktural, bukan hanya individual. Sistem dan lembaga bantuan hukum yang sudah ada harus diperkuat agar akses hukum dan keadilan dapat dicapai oleh setiap warga Indonesia, baik yang kekurangan secara material, maupun yang tertindas secara struktural.

Untuk itu,  perlu dibentuk sebuah Komisi Nasional Bantuan Hukum yang independen untuk menyelenggarakan bantuan hukum secara nasional. Komisi Nasional ini bertanggung jawab mengkoordinasi, memperkuat, serta mendukung sarana bantuan hukum yang sudah ada, serta mengisi kekurangan-kekurangan yang belum terpenuhi. Bantuan hukum yang sudah ada melalui lembaga-lembaga bantuan hukum, lembaga swadaya masyarakat, serta advokat yang diwajibkan untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma dalam Undang-Undang Nomor 18 tentang Advokat tahun 2003, dikoordinasikan  dan didukung bersama melalui Komisi Nasional Bantuan Hukum ini.

Beberapa hal yang perlu ditekankan dalam RUU Bantuan Hukum ini:

Penerima bantuan hukum tidak hanya orang/fakir miskin, tapi juga mereka yang termarjinalkan sehingga kesulitan mendapat akses hukum dan keadilan. Akses hukum dan keadilan bagi semua berarti mencakup pribadi dan kelompok yang kesulitan mendapatkannya. Masih banyak pribadi atau kelompok yang tidak termasuk dalam klasifikasi 32 juta jiwa fakir miskin, tapi kesulitan juga mendapatkan akses hukum dan keadilan, sehingga perlu dimasukkan dalam kategori penerima bantuan hukum. Dalam hal ini misalnya kelompok-kelompok masyarakat yang termarjinalkan karena suatu kebijakan publik atau karena perlakuan diskriminatif.

Syarat dan tata cara permohonan bantuan hukum harus jelas, tapi juga mengakomodasi keterbatasan kondisi penerima bantuan hukum. Untuk menghindari penyalahgunaan bantuan hukum, tentunya syarat dan tata cara permohonan yang baku dan jelas amat dibutuhkan. Namun kondisi kelompok masyarakat yang menjadi penerima bantuan hukum perlu diakomodasi, sehingga syarat dan tata cara tersebut memang dapat dipenuhi oleh mereka. Misalnya, bagaimana mengakomodasi fakir miskin yang berada di luar sistem administrasi kependudukan sehingga tidak memiliki kelengkapan dokumen kependudukan, atau kelompok-kelompok yang justru termarjinalkan karena kebijakan publik setempat. Syarat dan tata cara demikian perlu diatur oleh Komisi Bantuan Hukum Nasional berdasar kriteria umum dalam RUU ini.

Pemberi bantuan hukum mengakomodir tenaga ahli hukum selain advokat. Advokat tidak selalu ada di semua daerah, khususnya daerah-daerah terpencil dan tertinggal. Apabila di daerah tertentu tidak ada advokat, maka perlu pengaturan agar tenaga ahli hukum terdekat yang memenuhi kriteria dapat memberikan bantuan hukum di pengadilan. Sedangkan pelayanan bantuan hukum lainnya di luar pengadilan dapat juga dilakukan melalui kerjasama dengan notaris, lembaga bantuan hukum, atau universitas terdekat sesuai kebutuhan.

Komisi Nasional Bantuan Hukum sebagai lembaga yang independen dan efisien, agar tidak dibebani birokrasi yang besar.  Dengan demikian, dana bantuan hukum yang tersedia, dapat dipakai sebesar-besarnya untuk rakyat  yang memerlukan dan berhak menerima bantuan hukum.  Fungsi utama lembaga ini ialah menetapkan kriteria pemberi/penerima bantuan hukum, menjadi pusat informasi, mengelola dana bantuan hukum, menyalurkan serta mengawasi pelaksanaan bantuan hukum tersebut. Anggaran dan aktivitas lembaga ini harus dimaksimalkan untuk pemberian bantuan hukum, bukan untuk administrasi/birokrasi.

Pemberdayaan hukum di masyarakat harus menjadi salah satu program Komnas Bantuan Hukum, agar masyarakat semakin memahami hak dan kewajiban mereka di hadapan hukum, serta bagaimana memperoleh akses hukum dan keadilan.

Tobias Basuki, M.A.

Director of Studies, Institut Leimena

Sumber Foto:    www.kajianpustaka.com

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena