IL News 027/2018
Hari itu 10 November 2018. 19 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Bandung mengikuti kelas Pancasila dan Kewarganegaraan. Mereka berkumpul di kelas dan melebur dalam 4 kelompok yang masing-masing terdiri dari 4-5 orang. Mereka asyik berdiskusi, mempersiapkan diri dalam sebuah simulasi untuk memerankan proses pengambilan keputusan untuk meningkatkan kualitas belajar di kelas.
Setelah 10 menit, kelompok pertama maju ke depan kelas. Mereka menunjuk-nunjuk kelompok lain, memberikan perintah semaunya, dan memberikan ancaman jika perintah mereka tidak dituruti. Mereka memerankan sistem pemerintahan otoriter.
Masuklah kelompok kedua. Seorang dari mereka menduduki sebuah kursi. Tiga orang lainnya, datang memberikan usul kepadanya. Ia, yang bertahta di atas kursi, mengangguk-angguk, menerima usulan dari orang-orang. Pada akhirnya, ia memutuskan apa yang dikehendakinya. Mereka memerankan sistem sistem pemerintahan ala kerajaan.
Terakhir, masuklah kelompok ketiga. Mereka mengajak seluruh isi kelas untuk sama-sama memberikan usulan. Prosesnya lama, memakan waktu lebih lama dibandingkan kedua kelompok sebelumnya. Pada titik di mana keputusan masih sulit diambil, mereka bersepakat untuk melakukan pemungutan suara. Mereka memerankan sistem pemerintahan demokratis.
Bertolak dari simulasi ini, kelompok keempat bertugas untuk memaknai perbedaan dari ketiga sistem pemerintahan. Pada akhir kegiatan, Grace Emilia dari Sekolah Tinggi Teologi Bandung, serta Budi H. Setiamarga dan Puansari Siregar dari Institut Leimena, mengampu proses diskusi untuk menajamkan pemahaman peserta dalam proses belajar yang bertajuk “Peran Gereja dalam Masyarakat Demokratis” dan “Suara Anda Berharga”.
Foto Ilustrasi: http://gelanggangseni.blogspot.com
Di Indonesia, sistem pemerintahan yang berlaku adalah demokrasi. Namun, bukan sekadar demokrasi di mana setiap orang bertindak sebebasnya. Kebebasan dijunjung, tapi tetap berdasarkan hukum. Hal ini jelas tertuang dalam Konstitusi. Demokrasi di Indonesia juga demokrasi yang substansial, bukan semata karena suara terbanyak.
Sistem demokrasi yang berlangsung di Indonesia sejak 1998, telah membuka ruang bagi seluruh warga negara untuk berpartisipasi dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Gereja hendaknya menyadarinya, dan terlibat di dalamnya. Demokrasi, hendaknya menjadi pelita yang dimanfaatkan oleh gereja untuk mendatangkan terang bagi bangsa ini. Demokrasi, dimanfaatkan secara serius, salah satunya dengan memimpin pemimpin jujur yang dapat mengayomi semua.
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena