Civis 002/2016
Radikalisasi dalam pengertian pendangkalan, sikap hitam-putih, mengedepankan kekerasan dan sering bernuansa haus akan kekuasaan duniawi, terjadi disetiap agama semenjak dahulu. Bukan hanya antar agama, tetapi juga “dalam rumpun” satu agama.
Sepanjang kurun waktu antara abad ke-X sampai abad ke-XV, berulang terjadi perang Salib antara penganut Kristen dan Islam disekitar Jerusalem/Darussalam. Kenangan kekejaman perang Salib masih terpateri dalam ingatan umat sampai sekarang.
Perang 30 tahun (1618 – 1648) antar penganut agama Kristen Protestan dengan Katolik di Eropa adalah salah satu perang yang sangat hancur-hancuran. Dengan prinsip cuius regio, eius religio (agamanya – negaranya), para penguasa memaksa setiap orang dalam wilayah mereka untuk menganut agama penguasa dan bertarung berebut wilayah.
Di beberapa bagian di Eropa, penganut “sekte” agama Kristen diburu dan banyak yang melarikan diri ke benua baru, Amerika.
Perang antara penganut Suni dengan Shiah telah berlangsung lama. Di wilayah Timur Tengah, melalui perang Yaman, Iraq dan Suriah, Saudi Arabia yang Sunni bertarung dengan Iran yang Shiah, baik untuk menyatakan aliran mana dan siapa yang paling benar, maupun untuk memperebutkan wilayah pengaruh di daerah strategis yang kaya minyak itu.
Agama di suatu tempat sering dianggap telah menyimpang ataupun tercemar oleh nilai-nilai dan tradisi setempat sehingga perlu dimurnikan. Kekerasan untuk “memurnikan” pengertian dan pelaksanaan ajaran agama telah terjadi sepanjang sejarah dan di berbagai tempat. Pembakaran atas nama agama terhadap mereka yang dituduh sesat dan bersekongkol dengan setan tercatat dalam sejarah. Tindakan sejenis juga terjadi di tanah air. Gerakan Wahabiyah pimpinan Tuanku Imam Bonjol di Sumatera bagian Barat abad XIX, yang terkenal sebagai perang Paderi, meninggalkan luka mendalam dikalangan Islam (tradisional) dan non-Islam di Utara Sumatera Barat, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara.
Pertikaian berdarah atas nama agama, atau lebih tepat dengan menggunakan agama, juga kerap terjadi. Pertikaian Ambon dan Poso yang menggegerkan itu diantaranya, sangat banyak membawa korban baik di pihak Kristen maupun Islam.
Sedikit lebih ringan, arus utama Kristen pernah juga menekan dengan keras penganut Saksi Jehova dan mendesak Pemerintah melarang gerakan itu, seperti juga sikap sebagian umat Islam atas penganut Shiah dan aliran Ahmadiyah. (bersambung)
Penulis
Drs. Jakob Tobing, MPA. President Institut Leimena; Program Doctorate – Van Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden; Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004 – 2008); Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945 (1999-2002); Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU, 1999-2002); Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI, 1999); Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu, 1992); Anggota Panwaslu (1987); Anggota DPR/MPR (1968 – 1997, 1999 – 2004).
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena