info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 1, No. 1, Okt 2009


Kekristenan dan Kekerasan Agama

 

I. Pendahuluan

Kekerasan agama selama berabad-abad merupakan kejahatan terburuk yang telah mengisi peradaban manusia. Sesuatu yang paradoks, karena agama mengajarkan nilai-nilai luhur, tetapi  agama juga bertanggung jawab terhadap terjadinya kerusakan di muka bumi ini. Dalam editorial bukunya, “Violence and the Sacred in the Modern World”, Marl Juergensmeyer menyatakan:

Violence has always been endemic to religion. Images of destruction and death are envoked by some of religion’s most popular symbols, and religious wars have left through history a trail of blood. The savage martyrdom of Hussain in Shiite Islam, the crucifixion of Jesus in Christianity, the sacrifice of Guru Tegh Bahadur in Sikhism, the bloody conquest in the Hebrew Bible, the terrible battles in the Hindu epics, and the religious wars attested to in Sinhalese Buddhist chronicles indicate that in virtually every tradition images of violence occupy as central a place as portrayals of non-violence (Juergensmeyer 1992:1).

Melalui pernyataannya Juergensmeyer seakan-akan percaya atau mengajak pembacanya untuk percaya bahwa sumber utama konflik dan kekerasan dunia adalah agama, sekalipun dia sendiri tidak menyatakan dengan jelas pandangannya tentang hal itu.

Di Indonesia sendiri, kekerasan yang terjadi atas nama agama sangat kita rasakan. Wahid Institue melaporkan adanya peningkatan kekerasan agama di Indonesia. Tercatat ada 232 kasus berkenanan dengan kekerasan agama di 2009, sedangkan di 2008 dilaporkan ada 197 kasus (Adianto P. Simamora, Cases of religious violence up: Report, dalam The Jakarta Post, Edisi: 21 Agustus 2009).

Integrasi agama dan kekerasan memang bisa terjadi dalam banyak situasi, John D’Mello memaparkan setidaknya ada 3 alasan mengapa hal itu bisa terjadi (John D’Mello, The Hijacking of Religion: Unmasking Violence Discourse, dalam Jnanadeepa: Pune Journal of Religious Studies Vol.6 No. 1,2003:101):

1.Agama memberikan bahasa, mitologi, ilustrasi yang bisa digunakan oleh para pemimpin politik atau politik keagamaan untuk memotivasi umatnya melakukan kekerasan.

2.Agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat; oleh sebab itu apabila para pemimpin politik menggunakan agama, berdasarkan agama yang mayoritas, untuk mengkonstruksi sebuah identitas nasional, maka pintu terhadap kekerasan akan terbuka lebar.

3.Agama bisa digunakan secara politis untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan, ekonomi atau perkara material lainnya.

Tulisan ini akan membahas akar masalah terjadinya kekerasan agama berdasarkan teori dari John D’Mello dan bagaimana gereja harus bersikap di dalam situasi yang seperti ini.

II. Kekerasan Agama Berdasarkan Teori John D’Mello

II.1. Kekerasan dan Intepretasi Agama

Perlu disadari bahwa faktor kekerasan agama tidak hanya dipicu oleh faktor eksternal seperti kepentingan politik, ekonomi dan sosial.  Faktor internal juga dapat memberikan kontribusi yang besar. Masalah interpretasi merupakan salah satu masalah utama yang bisa mendorong umat beragama melakukan tindak kekerasan.

Di dalam sejarah kekristenan banyak tindakan kekerasan yang dilakukan oleh gereja karena kesalahan dalam melakukan penafsiran terhadap Kitab Suci. Orang-orang yang tekstualis memahami apa yang tertulis di dalam Alkitab secara literal dan menerapkannya di dalam konteks yang berbeda. Proses eksegese yang sebenarnya diabaikan sehingga mereka gagal untuk mendapatkan makna dari apa yang tertulis dan memusatkan perhatian terhadap teks secara mentah tanpa melakukan penggalian apapun.

Salah satu contoh yang memalukan adalah Perang Salib yang merupakan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh gereja pada periode 1095 – 1291. Perang ini direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen , dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci ” dari kekuasaan Muslim . Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai “tentara gereja”. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat meninggal dunia.

Perang yang meniru model penguasaan tanah Kanaan di Perjanjian Lama ini sudah jelas merupakan produk dari kegagalan gereja dalam melakukan intepretasi Kitab Suci secara benar. Akibatnya kesalahan tersebut merembet ke faktor-faktor eksternal seperti politik, ekonomi dan kekuasaan. Jemaat gereja yang pada jaman itu tidak diperkenankan memiliki Alkitabnya sendiri dengan naif mempercayai para pemimpin agama mereka dan bergabung dengan pasukan perang salib.

Hal yang sama terjadi dengan praktek perbudakan di Amerika yang dilakukan secara legal pada tahun 1654 sampai 1865. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia tersebut dilegalkan dengan ayat-ayat Alkitab yang menunjukkan bahwa orang-orang yang hidup di jaman PL dan PB pun melakukan praktek perbudakan.

Jajang Jahroni seorang peneliti dari Jaringan Islam Liberal juga memaparkan kesalahan yang sama terjadi di Islam khususnya di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan, dia mengambil kesimpulan bahwa perilaku kekerasan agama di Indonesia berkorelasi positif dengan pemahaman agama yang tekstual. Ajaran-ajaran agama tentang kekerasan baik itu berasal dari Alqur’an, seperti kebolehan suami memukul istri bila ia mangkir dari kewajibannya (Q.S. 4: 34-35), maupun Sunnah seperti hadis yang menyatakan anak perlu diperintahkan salat ketika berumur tujuh tahun, dan boleh dipukul (bila tidak salat) ketika berumur sepuluh, adalah sedikit contoh dari ajaran Islam tentang perlunya kekerasan.

Survei menunjukkan bahwa orang yang bersedia merusak gereja yang tidak memiliki izin berjumlah 14,7%, mengusir kelompok Ahmadiyah 28,7%, merajam orang berzina 23,2%, perang melawan non-muslim yang mengancam 43,5%, menyerang atau merusak tempat penjualan minuman keras 38,4%, mengancam orang yangg dianggap menghina Islam 40,7%, jihad di Afghanistan dan Irak 23,1%, dan jihad di Ambon dan Poso 25,2%. Sementara untuk bentuk tindakan kekerasan yang bersifat domestik, diperoleh tingkat kesediaan berikut: mencubit anak agar patuh pada orangtua 22%, memukul anak di atas sepuluh tahun agar salat 40,7%, suami memukul istri jika tidak melakukan kewajibannya 16,3%.

Jajang Jahroni menolak untuk mengatakan bahwa agama merupakan sumber dari kekerasan akan tetapi pemahaman yang tekstualis terhadap Kitab Suci agama tersebut bisa menjadi variabel yang paling signifikan dalam mendorong timbulnya perilaku kekerasan agama. Di samping mendorong perilaku kekerasan agama, tekstualisme dan Islamisme juga berkorelasi positif dengan perilaku kekerasan umum dan kekerasan negara. (Jajang Jahroni, Tekstualisme, Islamisme dan Kekerasan Agama, dalam: Islamlib.com, 07 Agustus 2008)

II.2. Agama dan Identitas

Tidak dapat dipungkiri bahwa agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat dalam diri seseorang. Agama profetik seperti Islam dan Kristen, cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas mereka terancam. Persaingan antar agama yang memicu konflik sangat mudah terjadi apabila salah satu kelompok merasa identitasnya terancam.

Potensi ini menjadi semakin besar ketika para pemimpin politik berusaha mengkonstruksi identitas negara berdasarkan agama tertentu yang mayoritas. Di satu sisi itu bisa menimbulkan arogansi dari kelompok pemeluk agama yang mayoritas dan perasaan terancam dan terintimidasi yang dirasakan oleh kelompok minoritas.

Dalam pandangan Said Agil Sirojd agama mempunyai dua kecenderungan yakni pertama, kecenderungan esensial yang berasal dari lubuk hati manusia yang paling dalam dan kedua, kecenderungan sekunder yang berasal dari proses historis kehidupan masyarakat dalam menjalankan agamanya. Kecenderungan agama sekunder dapat dilihat dalam bentuknya yang tradisional, dogmatis, ritualistik, institusinalis, dan legal. Sedangkan kecenderungan agama esensial dapat dilihat pada bentuknya yang liberal, spiritual, moral, internal, individual, dan humanis (Said Agil Sirodj, Reposisi Terhadap Dialog antar Umat Beragama, dalam Opini harian Kompas, Edisi : 18 Februari 2004).

Apabila kecenderungan agama yang sekunder mengalami gangguan berupa tekanan dan intimidasi dari kelompok agama lain, maka konflik tidak bisa dihindari. Pemikir Pos-Strukturalis Jacques Derrida, menawarkan investigasi politik terhadap kekerasan atas nama agama atau agama tanpa agama sebagai bentuk kekerasan yang tidak terkendalikan yang menyertai kembalinya agama dalam maknanya yang paling kaku. Hefner mengingatkan bahwa kekerasan bisa terjadi karena negara memanfaatkan agama, atau bisa pula agama memanfaatkan negara. (Thomas Santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama, (Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2002:1).

Namun demikian, sejarah kekristenan telah membuktikan bahwa semakin dekat gereja secara institusi dengan politik pemerintahan semakin bobrok kondisi keagamaannya. Usaha-usaha untuk mebentuk negara Kristen telah dilakukan dan terbukti gagal. Calvin mencoba menciptakan sebuah kota yang ilahi di Geneva dan tidak berhasil. Demikian juga pada abad ke-4 ketika Konstantinus bertobat dan menyatukan gereja dengan negara, pada akhirnya itu pun mengalami kegagalan baik di dalam sisi pemerintah maupun gereja itu sendiri. Gereja pada akhirnya terlibat secara aktif dalam tindak kekerasan yang imoral dan melawan ajaran dari agamanya sendiri.

Di Indonesia pada saat ini kita sedang berhadapan dengan gerakan Islam fundamentalis yang berusaha untuk mendirikan negara Islam. Sudah terbukti bahwa itu merupakan salah satu sumber terbesar kekerasan agama yang terjadi di negara kita. Bukan hanya gereja atau kelompok agama lain yang dianggap sebagai musuh melainkan juga kelompok Islam lainnya yang tidak setuju dengan ide negara Islam tersebut. Akibatnya negara kita mengalami penderitaan yang sangat dalam. Muncul kecurigaan antara pemeluk agama dan memicu terbentuknya semangat separatis.

Dalam realitas negara kita sekarang ini, terorisme adalah bentuk paling nyata dari kekerasan politik-agama di Indonesia. Dalam konteks teologis, terorisme bisa mengambil bentuknya dari agama sebagai landasan dan alat untuk mendapatkan kekuasaan, sebagai tujuan dari teror tersebut.

II.3. Agama dan Politik

Dari jaman ke jaman, hubungan antara agama dan politik selalu dipertanyakan. Ketika agama menjadi begitu dekat dengan politik, baik itu diperalat maupun memperalat, agama kehilangan natur keilahian yang dimilikinya sehingga sangat mudah diselewengkan. Akibatnya agama tidak lagi menjadi hati nurani rakyat yang menyuarakan pembebasan atas berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan, sebaliknya agama akan berkembang menjadi kekuatan yang menindas dan kejam.

Inilah yang sedang diusahakan untuk terjadi di negara kita oleh sekelompok orang. Apabila melihat kepada sejarah, sebenarnya negara yang mencampur-adukkan agama dan politik seringkali gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai negara.

Namun di sisi lain apabila agama memisahkan diri dari kehidupan politik bermayarakat maka dia juga akan kehilangan fungsinya sebagai kompas yang menunjukkan arah berpolitik serta memberikan tuntunan yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral.

Agar agama dapat menjalankan peran moral tersebut, maka agama harus dapat mengatasi politik, bukan terlibat langsung ke dalam politik praktis. Karena bila agama berada di dalam kooptasi politik, maka agama akan kehilangan kekuatan moralnya.

III. Gereja Menghadapi Kekerasan Agama

Kekerasan agama yang dilakukan oleh gereja biasanya dilegitimasi oleh fakta sejarah bahwa Allah pun mengijinkan tindak kekerasan bagi orang-orang yang tidak percaya sebagai media penghukuman untuk menyatakan keadilan-Nya. Namun harus disadari sepenuhnya bahwa manusia bukanlah Tuhan yang bisa mengambil peran Allah untuk menjalankan penghukuman atas nama Allah. Keadilan yang dijalankan oleh manusia sekalipun dilakukan atas nama Allah, apabila berkaitan dengan kekerasan, sudah bisa dipastikan bahwa agama tersebut telah diselewengkan.

Bagaimana gereja menghadapi kekerasan yang menimpa dirinya? Jawabannya ada di dalam salib Kristus. Gereja diminta untuk meneladani Kristus. Penganiayaan adalah bagian dari berkat seperti yang disampaikan Yesus dalam khotbah di bukit (Matius 5:10-12). Yesus sendiri bisa dikatakan korban dari kekerasan agama Yahudi. Di dalam peristiwa penyaliban yang dilakukan oleh tentara Romawi karena konspirasi dari para pemuka agama Yahudi, gereja mendapatkan konfirmasi bahwa Tuhan telah menghentikan bentuk-bentuk kekerasan agama. Tuhan tidak datang ke dunia untuk membantai pasukan Romawi atau orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang menyalibkan Yesus. Sebaliknya, Tuhan melawan kejahatan itu dengan mati sebagai orang Yahudi dan mendorong para pengikut-Nya untuk mengasihi musuh mereka serta mendoakan siapa pun yang menganiaya mereka. Bahkan dalam kisah salib ini, mereka yang dimintakan pengampunan bukan hanya mereka yang melakukan tindak kekerasan kepada pengikut agama, melainkan mereka yang melawan Allah sendiri juga mendapatkan pengharapan akan pengampunan tersebut.

Namun demikian, kekristenan tidak boleh kehilangan keunikannya di dalam Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Oleh sebab itu orang Kristen harus memperluas visi penghakiman Allah sampai pada saat kedatangan Kristus yang kedua. Di dalam Perjanjian Baru khususnya Kitab Wahyu, terdapat banyak deskripsi tentang keadilan final Allah yang akan dinyatakan pada saat akhir jaman. Pada saat itu Dia akan memberikan keselamatan kekal, kehidupan di dalam sorga bagi orang benar yang percaya kepada Kristus dan sebaliknya penghukuman kekal bagi yang tidak percaya. Tugas kekristenan pada saat ini bukan menjalankan hukuman dan bertindak sebagai Allah yang menghakimi dunia, melainkan menjalankan hukum kasih dan menyerahkan penghakiman sepenuhnya kepada Allah sendiri. Dengan demikian kekerasan yang dilakukan oleh gereja terhadap umat yang tidak percaya sangat bertentangan dengan esensi dari kekristenan itu sendiri.**

Penulis

Dwi Maria Handayani, MTh. adalah dosen STTB (Sekolah Tinggi Teologia Bandung).