info@leimena.org    +62 811 1088 854

Civis Vol. 1, No. 1, Okt 2009


Pentingnya Kebebasan Beragama

 

Dasar kebebasan beragama di Amerika Serikat umumnya mengacu pada Bill of Rights yang merupakan penambahan pada konstitusi untuk melindung hak-hak dasar warga di AS. Namun ide dan konsep kebebasan beragama di Amerika Serikat sebetulnya dimulai dari sebuah dokumen kuno dan tidak dikenal, yang ditanda-tangani oleh 30 orang warga biasa tanggal 27 Desember 1657 (Kenneth T. Jackson, A Colony with a Conscience, New York Times). Para warga ini adalah penduduk kota flushing (yang sekarang menjadi Quenns, New York), yang pada waktu itu merupakan bagian dari koloni Belanda di Amerika. Karena itu, dokumen ini sekarang dikenal sebagai “the Flushing Remonstrance” yang isinya menyatakan hak untuk mendapatkan hati nurani dan kepercayaan di koloni tersebut.

Dokumen ini memiliki peranan penting karena beberapa alasan. Pada masa itu, dalam masa koloni yang berada di bawah otoritas Gubernur Belanda, Peter Stuyvesant, golongan Quakers dilarang berada di daerah itu oleh kalangan geraja Reformed Belanda. Gubernur Stuyvesant bahkan mengeluarkan UU yang memberi denda dan ancaman penjara pada siapapun yang berani mendukung golongan Quaker ini. Meskipun demikian, penduduk Flushing tetap berpegang teguh pada apa yang mereka yakini sebagai hak-hak sipil penduduk. Akibatnya, banyak dari mereka harus menghadapi ancaman penjara dan tekanan. Walaupun begitu, mereka tetap secara aktif dan artikulatif membela hak-hak fundamental dari para tetangga yang memiliki kepercayaan berbeda dengan kepercayaan mereka.

Tiga ratus lima puluh tahun kemudian, di sebuah negara demokrasi yang masih muda, yaitu Indonesia, kita menghadapi kejadian serupa. Tanggal 1 Juni 2008, Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama & Berkeyakinan (AKKBB) berusaha membela hak-hak golongan Ahmadiyah agar bisa hidup sebagai sebuah komunitas yang bebas di tengah masyarakat Indonesia yang mejemuk. Akibatnya, para aktivis AKKBB harus menghadapi kekerasan dan agresi. Kali ini ancamannya tidak datang dari pemerintah yang berkuasa, tapi dari kelompok masyarakat yang bergerak dengan kekerasan, yaitu front Pembela Islam (FPI). Meskipun FPI dianggap sebagai sebuah golongan radikal yang tidak mewakili pandangan dari mayoritas masyarakat Indonesia, tapi golongan ini telah melakukan apa yang dianggap benar oleh sebagian besar masyarakat, yaitu melenyapkan golongan yang dianggap “sesat”.

Pandangan ini telah mendapat persetujuan informal pula dari otoritas pemerintah dan para pemimpin agama. Peraturan pemerintah dalam bentuk SKB Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung, ditambah rekomendasi untuk menghapuskan Ahmadiyah dari Bakor Pakem (Badan Kordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat), dan fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan suatu fenomena yang jelas dari dibatasinya kebebasan beragama oleh otoritas politik dan sipil Indonesia. Selain itu, protes-protes yang disuarakan oleh sejumlah kalangan seperti Forum Umat Islam (FUI), lalu ditambah berbagai komentar di media dan internet, serta tulisan-tulisan di blog dan percakapan pada umumnya, mengindikasikan bahwa masyarakat secara umum setuju dengan dihapuskannya kelompok-kelompok yang dianggap “salah” atau “sesat”.

Masalah Kebebasan Beragama di Indonesia

Situasi ini jelas merupakan langkah mundur dari proses demokrasi di Indonesia, khususnya dalam area kebebasan politik dan sipil masyarakat. Ketika salah satu bagian dari masyarakat menekan yang lainnya, khususnya dalam sebuah kultur yang heterogen, hal ini menunjukan primordialisme dan sempitnya cara pikir yang dapat menghambat pertumbuhan suatu bangsa yang majemuk. Situasi ini bukan semata masalah golongan Ahmadiyah. Disangkalinya eksistensi dari sebuah golongan di dalam sebuah agama, akan dengan mudah berkembang menjadi penolakan dilakukannya berbagai aktivitas oleh agama-agama lain.

Sejak terjadinya transisi menuju demokrasi dari pemerintahan yang otoriter di jaman Orde baru, ujian bagi keberadaan Indonesia yang multikultural mulai muncul ke permukaan. Karena pemerintah tidak lagi menjaga “kedamaian” dengan tangan besi sepoerti dulu, maka masyarakat terpaksa mengatasi sendiri dampak-dampak dari perbedaan yang muncul di antara mereka. Dan tampaknya, Indonesia belum dapat melalui ujian ini dnegan baik.

Tahun 2008 Himpunan Warga Gereja Indonesia (HAGAI) mengadukan kasus kekerasan yang menimpa gereja-gereja ke Komnas HAM. Data Forum Komunikasi Kristiani Jakarta menampilkan bahwa antara tahun 1969 hingga 2006 dan 2007 saja, ada 67 jemaat yang telah menerima berbagai jenis ancaman (ANTARA News: Warga Gereja Mengadu ke Komnas HAM, 14 Januari 2008). Di Jawa Barat, tindakan gerombolan massa yang memaksa untuk menutup gereja dan kelompok-kelompok ibadah dapat terus berlangsung tanpa mendapat halangan berarti dari pemerintah.

Bahkan sampai kini, ketika SBY sudah akan memasuki masa tugasnya yang kedua sebagai presiden di tahun 2009, represi masyarakat terhadap rumah-rumah ibadah dan khususnya gereja, masih terus berlangsung. Di kota-kota yang terletak dekat dengan ibukota Jakarta seperti Tangerang, Bogor dan Bandung, berbagai kekerasan terjadi dengan nyata. Bahkan Tangerang termasuk daerah dengan tingkat represi yang cukup tinggi. Jakarta pun tidak lepas dari serangan kekerasan primordial ini, termasuk dengan terjadinya kasus penyerangan terhadap fasilitas pendidikan (Sekolah Sang Timur dan Sekolah Tinggi Teologia SETIA di Jakarta Timur). Masalah-masalah ini bukan hanya serangan pada sebuah agama, tapi pada kebebasan beragama secara umum.

Mengapa Kebebasan Beragama Penting?

Pada level yang lebih umum dalam sejarah dunia, agama telah menjadi daya dorong dominan yang membentuk kondisi-kondisi manusia maupun geopolitis. Para pencipta teori sosiologi klasik seperti Marx, Emile Durkheim, dan bahkan Webster, berpikir bahwa agama akan menjadi tidak signifikan lagi di jaman modern ini. Teori modernisasi dimana agama dianggap akan menghilang dengan adanya kemajuan modern telah terbukti salah. Sosiolog kontemporerterkenal Peter Berger kemudian memperbaiki pemikiran-pemikiran awalnya mengenai modernisasi. Ia menemukan bahwa modernitas tidak membuat masyarakat menjadi sekuler, tapi justru membuat masyarakat menjadi majemuk. Sosiolog Anthony Giddens setuju dan melihat bahwa “agama telah menjadi bagian utama dalam pengalaman manusia, yang mempengaruhi bagaimana kita menerima dan bereaksi pada lingkungan di mana kita tinggal.”

Arti penting agama dalam sejarah sangat besar di Indonesia. Pada kenyataannya, agama merupakan penanda paling penting dari identitas Indonesia. Perjalanan Indonesia menuju kebangsaan dan kemerdekaan berhubungan erat dengan berbagai kegerakan dan organisasi keagamaan. Sosiolog Jose Casanova menyatakan, sebagai kekuatan sosial agama berfungsi bak muka Janus (dewa mitologi Yunani yang memiliki dua muka-red). Dimana agama dapat menjadi sumber pemersatu atau sumber konflik, atau dasar bagi kemajuan atau kehancuran. Indonesia sebagai bangsa tidak bisa dianggap ada dengan begitu saja (taken for granted) karena Indonesia merupakan ide dan cita-cita bagi orang-orang yang terdiri dari berbagai agama, ras dan etnis yang berbeda. Kemajemukannya merupakan dasar bagi kesatuan dan ide dari konsep “Indonesia”.

Kedua, kebebasan beragama merupakan ukuran penting dari kebebasan-kebebasan lain yang terdapat dalam konstitusi dan hak-hak natural kita. Kebebasan beragama ini mencakup berbagai hak lain: hak untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat, hak untuk berkumpul, dan bahkan hak untuk memiliki properti maupun kekayaan. Semua hak ini terkandung dalam ide dari kebebasan beragama, dan merupakan sesuatu yang vital bagi muncul dan berkembangnya sebuah masyarakat sipil dalam negara yang demokratis.

Pada sisi yang lebih pragmatis, berbagai studi kuantitatif dan kualitatif telah menunjukan adanya korelasi yang besar antara kebebasan beragama, kemajuan sosial ekonomi, dan stabilitas politik. Studi kuantitatif oleh Brian J. Grim menunjukan negara-negara dimana kebebasan beragamanya tidak dibatasi, adalah engara-negara yang tingkat sosial ekonominya jauh lebih baik. Studi Mac Weber dalam Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism jgua menampilkan dampak dari agama pada sikap berekonomi,dan menujukan bahwa perkembangan ekonomi di dunia Barat erat hubungannya dengan kepercayaan religius dari kalangan Calvinis. Dasar ide ini diangkat Theodore Malloch yang menulsi bahwa “kebebasan beragama dan beraktivitas menciptakan kondisi-kondisi yang sehat bagi munculnya kompetisi dan aktivitas ekonomi.” Kebebasan beragama dan kebebasan pada umumnya menciptakan lingkungan yang mendukung para individiu untuk berpikir secara kreatif dan maju.

Kanari adalah burung yang sangat sensitif pada CO2. Karena itu, para penambang batubara sering membawa burung kenari ke dalam lokasi tambang. Selama burung kenari tersebut masih terus berkicau, maka para penambang tahu bahwa persediaan Oksiden masih mencukupi. Tapi jika seorang burung kanari sampai mati, maka evakuasi harus segera dilakukan sebab keadaan darurat sudah terjadi. Bagaimana kelompok-kelompok yang kecil dan yang berbeda diperlakukan di sebuah negara, merupakan indokasi dari seberapa besar kebebasan dari aspek-aspek lain di dalam negara tersebut (ilustrasi dari seminar Internasional Religious Freedom oleh Beckett Fund). Dengan kata lain, kebebasan beragama merupakan sebuah prasyarat yang penting bagi kemajuan dan kesehatan sosial politik di sebuah negara.**

Penulis

Tobias Basuki, MA adalah Director of Studies, Institut Leimena.