info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis 005/2016

“Reformasi dengan kesempatan berpolitik yang terbuka luas menimbulkan banyak harapan untuk kehidupan nasional yang lebih adil dan demokratis. Banyak orang Kristen – warga jemaat dan juga kalangan pendeta — yang melibatkan diri dalam politik baik dalam partai politik yang sudah ada maupun yang baru, bahkan sejumlah orang mendirikan beberapa partai politik Kristen.

Mengemuka pada beberapa tahun terakhir pro-kontra terhadap keterlibatan parapendeta dalam “politik praktis”. Namun hal yang lebih mendasar tidak diwacanakan: apa panggilan gereja dalam dunia politik? Apa tujuan orang Kristen berpolitik? Bagaimana semestinya gereja berpartisipasi dalam kehidupan politik?”

Gereja Sebagai Struktur Mediasi

Menurut Peter Berger dan Richard John Neuhaus (1996), adanya struktur mediasi (mediating structures) sangat mendasar dalam sebuah demokrasi. Struktur mediasi ialah lembaga-lembaga yang berada diantara individu-individu manusia dalam kehidupan pribadinya dan lembaga-lembaga besar dalam kehidupan publik (Figure 1). Modernisasi telah menimbulkan jurang pemisah antara kehidupan pribadi/privat dan publik. Kehidupan publik diatur melalui lembaga-lembaga besar yang seringkali terasa asing bagi individu manusia yang ada di dalamnya.

Dalam topik pembahasan kita, contoh lembaga besar yang utama ini adalah Negara. Jika individu anggotanya tidak lagi menemukan makna pribadinya dalam Negara, maka hal ini akan menimbulkan krisis politik, karena Negara terasa asing bahkan bermusuhan. Oleh sebab itu, perlu ada struktur mediasi, yang dapat memberi tempat bagi individu menemukan makna kehidupan pribadinya, tapi sekaligus dapat menyampaikan makna dan nilai-nilai kehidupan ini kepada Negara. Struktur mediasi inilah yang menghasilkan dan menjaga nilai-nilai dalam masyarakat. Tanpa mereka, Negara akan mengambil alih fungsi ini dan menuju totaliterisme.

Maka untuk pertumbuhan demokrasi yang sehat, perlu ada lembaga-lembaga yang mendukung proses mediasi ini. Hilangnya proses mediasi ini dapat berakibat fatal terhadap demokrasi, seperti dikatakan Berger dan Neuhaus (1996):

“Tanpa kelembagaan yang handal untuk proses mediasi, tatanan politik akan terpisah dari nilai-nilai dan realita hidup masing-masing pribadi. Hilangnya landasan moral ini akan menyebabkan tatanan politik kehilangan legitimasinya. Jika ini terjadi, tatanan politik harus diamankan dengan kekerasan (coercion), bukan atas persetujuan (consent). Dan ketika ini terjadi, demokrasi hilang.”

Dalam hal ini, gereja ikut berperan sebagai struktur mediasi. Gereja membawa nilai-nilai moral spiritual dalam masyarakat. Gereja juga selalu berhadapan dengan realita kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dalam konteks negara Pancasila, lembaga-lembaga umat beragama lainnya juga perlu berfungsi sebagai struktur mediasi ini. Tanpa peran mereka, Negara dapat mengambil monopoli dalam menentukan dan menerapkan nilai-nilai hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, gereja harus menjaga independensi dari lembaga pemerintah dan lembaga politik lainnya, agar dapat berperan efektif sebagai struktur mediasi.

Ulasan Berger dan Neuhaus ini menunjukkan posisi dan fungsi gereja dalam penguatan demokrasi. Dalam kerangka tersebut, implementasi operasionalnya bisa beragam. Untuk menuju pendekatan operasionalnya, mari kita pertimbangkan dulu lingkungan eksternal dan internal gereja. (Bersambung)

(Disampaikan dalam Seminar Gereja dan Politik Pasca Orde Baru yang diadakan Yayasan Oase Intim di Makassar, 13 Februari 2012)

Penulis

Matius Ho, M.S.  Direktur Eksekutif Institut Leimena; Wakil Sekretaris Yayasan Akademi Leimena (2000-2005); Lulusan University of Wisconsin – Madison (USA) tahun 1997; dan London Institute for Contemporary Christianity (UK).

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena