info@leimena.org    +62 811 1088 854

Civis 005/2016

Dalam lingkungan eksternal, amandemen UUD 45 tahun 1999-2002 telah mengubah paradigma politik dari kedaulatan negara menjadi kedaulatan rakyat. Walaupun Pembukaan UUD 45 jelas menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia berkedaulatan rakyat, tapi dalam UUD 45 sebelum amandemen, Pasal 1 ayat 2 mengatakan:

“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”

Untuk Pasal 1 ini, Penjelasan UUD 45 yang lama menegaskan bahwa “Majelis ini dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara.”

Jadi sebenarnya UUD 45 yang lama memberikan mandat kepada Negarauntuk melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya. MPR—sebuah lembaga negara—bahkan “dianggap sebagai penjelmaan rakyat”. Akibatnya, kedaulatan rakyat digantikan oleh kedaulatan negara.

Namun kemudian, perubahan mendasar terjadi melalui amandemen UUD 45 tahun 1999-2002. Setelah amandemen, Pasal 1 ayat 2 berbunyi:

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Perubahan ini telah meruntuhkan monopoli MPR—mewakili Negara—atas kedaulatan. Rakyat kembali memperoleh kedaulatannya. Undang-Undang Dasar dikokohkan sebagai hukum dasar yang mengatur pelaksanaan kedaulatan rakyat ini. Sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3), maka seluruh hukum lainnya di Indonesia harus tunduk kepada UUD, termasuk kepada Pembukaan UUD yang berisi cita-cita Indonesia dan nilai-nilai Pancasila (Aturan Tambahan Pasal II).

Ada dua implikasi yang relevan bagi kita di sini.

Implikasi: Warga Negara Dengan Hak dan Kewajiban, Bukan Rakyat Tak Berdaya

Pertama, rakyat harus belajar bagaimana melaksanakan kedaulatannya menurut UUD. Percuma saja UUD mengembalikan kedaulatan rakyat, kalau rakyatnya sendiri tidak berbuat apa-apa. Itulah sebabnya, penting sekali rakyat belajar menjadi warganegara. Warganegara memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi Konstitusi. Sekarang ini bukan lagi saatnya rakyat berdiam diri serta menyerahkan semua masalah bangsa dan negara kepada pejabat-pejabat negara.

Fenomena orang beramai-ramai berusaha menjadi pejabat pemerintah atau wakil rakyat masih dipengaruhi paradigma lama. Seakan-akan perubahan baru dapat terjadi apabila memiliki jabatan negara. Padahal dengan perubahan UUD 45, rakyat adalah pemegang sahamatau pemilik negara ini. Pemerintahan adalah badan pengurus yang dipilih untuk mengelola negara ini. Rakyat perlu belajar hak dan kewajibannya sebagai warganegara, agar dapat ikut mengawasi dan mengendalikan badan pengurus ini. Pedoman utamanya: Undang-Undang Dasar. Rakyat yang bertindak sebagai warganegara inilah yang akan memperkuat masyarakat sipil. Maka kita perlu mendidik rakyat, termasuk warga gereja, menjadi warganegara. (bersambung)

(Disampaikan dalam Seminar Gereja dan Politik Pasca Orde Baru yang diadakan Yayasan Oase Intim di Makassar, 13 Februari 2012)

Penulis

Matius Ho, M.S.  Direktur Eksekutif Institut Leimena; Wakil Sekretaris Yayasan Akademi Leimena (2000-2005); Lulusan University of Wisconsin – Madison (USA) tahun 1997; dan London Institute for Contemporary Christianity (UK).

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena