✉ info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis 004/2016

III. Konsolidasi Demokrasi

Dengan latar belakang demikian, berbagai kemajuan dan kekurangan seperti diatas, ke masa depan kita masih akan menghadapi 2 kemungkinan.

Pertama, kita berhasil  membangun sistim demokratis, menegakkan hukum, melanjutkan sustainable development, menuju Indonesia yang adil-makmur, menghormati HAM, bhinneka tunggal ika, berkehidupan beragama dan berkepercayaan yang bebas dan saling menghargai.

Kedua, kita terjerumus ke dalam kegamangan, kekacauan, kekerasan, radikalisme, terorisme, kehancuran sistem, diikuti perpecahan dan dorongan untuk kembali ke sistem lama ataupun otoritarianisme baru.

Kemungkinan apa yang akan terjadi sangat tergantung pada apa yang telah dan akan kita lakukan dan pada apa yang tidak kita lakukan sebagai bangsa.

Pertama, sistim demokrasi, dengan segala kekurangannya, tetap merupakan pilihan terbaik karena prinsip dasarnya adalah penghormatan terhadap harkat manusia.

Dalam hubungan itu kita membicarakan pentingnya melakukan konsolidasi demokrasi, agar kelembagaan dan prosedur bernegara kita, di tingkat nasional dan daerah, mengusung substansi dan perintah konstitusi.

Dari sekian banyak bidang yang memerlukan konsolidasi, atau juga disebut sebagai reformasi berkelanjutan kita memilih beberapa sebagai contoh.

Kita perlu turut berupaya membangun organisasi pemerintahan (organizational development – OD) agar birokrasi di segala sektor handal untuk melakukan tugas-tugas pelaksanaan program rutin pemerintahan dan program pembangunan sesuai prinsip-prinsip konstitusi. Birokrasi yang rapih dan handal akan menghadirkan perbaikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sekaligus meningkatkan efisiensi penggunaan sumber-sumber dan mencegah korupsi.

Juga perlu dilakukan pembenahan sistim kepartaian. Yang pertama dari sisi kualitas. Amandemen UUD 1945 telah meneguhkan partai politik sebagai instrumen konstitusi. Rekrutmen kepemimpinan dan penyerapan, penyampaian dan pengolahan aspirasi masyarakat dalam kehidupan bernegara dilakukan oleh partai politik. Perlu dibangun sistim agar kualitas dan integritas politisi dapat diperbaiki. Untuk itu, keuangan dan pembiayaan partai politik (yang memenuhi syarat) perlu didukung oleh negara dan merupakan objek pemeriksaan pemeriksa keuangan negara.

Dapat dikatakan bahwa partai politik yang menggerakkan sistem bernegara kita, walau pada umumnya penampilan partai politik mengecewakan kalau tidak menyedihkan. Banyak pejabat negara, anggota DPR, menteri, kepala daerah dan sebagainya, yang tidak mumpuni dan bermasalah. Sejumlah cukup besar terlibat tindak pidana korupsi dan sejumlah besar dikurung di penjara.

Oligarki partai perlu dicegah dengan sirkulasi kepemimpinan terbuka dan pendidikan kader politik merupakan keharusan. Hanya yang telah mengiikuti pendidikan kader politik yang dapat dicalonkan dalam pemilu. Dalam keadaan demikian, kancah politik kita akan diisi oleh para politisi yang punya idealisme dan siap karena telah menjalani pendidikan politik yang cukup.

Dari sisi jumlah, walaupun mendirikan partai politik adalah termasuk hak dasar warga negara, tetapi jumlah partai yang turut langsung berperan di lembaga negara harus dibatasi. Electoral threshold perlu dinaikkan, sedemikian sehingga jumlah partai yang duduk di DPR tidak banyak, tetapi tidak terlalu sedikit, sehingga partai-partai masih dapat mewadahi aliran politik masyarakat Indonesia yang amat majemuk itu.

Politik uang dalam pemilu dan pilpres/pilkada harus diperangi secara sistem. Pemilu menurut UUD hasil amandemen adalah instrumen konstitusi. Oleh karena itu, Undang-Undang harus menegaskan bahwa semua warga negara yang memenuhi syarat berhak dan wajib mengikuti pemilu. Tidak boleh terjadi warga dihalangi mengikuti pemilu. Di lain pihak, setiap pemilih harus datang ke TPS dan perlu ada sanksi bila tidak datang. Tetapi harus dijamin kebebasan dan kerahasiaan siapa yang akan dipilih atau dijamin juga hak dan kerahasiaannya bila tidak hendak memilih siapapun di TPS.

Selanjutnya adalah penegakan negara hukum, termasuk pembangunan dan konsolidasi kelembagaan. Baiklah kita camkan bahwa sebuah negara yang oleh konstitusinya ditegaskan sebagai negara hukum tetapi tidak mampu menegakkan hukum pada dasarnya bukan negara hukum. Demikian pula negara demokrasi tanpa penegakan hukum bukanlah negara demokrasi tetapi anarki dan akan segera runtuh.

Tetapi perlu dicatat bahwa untuk dapat menegakkan hukum tidak diperlukan sistem otoriter. Bahkan menegakkan hukum yang menghargai hak asasi manusia (rule of law) tidak mungkin dilaksanakan oleh pemerintahan otoriter. Pemerintahan otoriter hanya dapat menegakkan hukum sesuai dengan keinginannya (arbitrary – rule by law). Sementara negara-negara demokrasi yang maju menegakkan hukum dengan sungguh-sungguh dan tegas.

Pada tataran praktis, perangkat penegakan hukum memerlukan perombakan radikal dan pembangunan kapasitas yang maksimum, dengan tujuan langkah penindakan yang tegas dapat memberi dampak pencegahan yang kuat terhadap penyalahgunaan wewenang. Penyalah-gunaan wewenang dan korupsi dilingkungan penegak hukum harus diberi sanksi yang tegas dan lebih berat. Rekrutmen hakim di segala tingkatan, termasuk hakim pengadilan negeri, hakim agung dan hakim konstitusi perlu diperketat. Demikian juga jaksa.

Khusus kepolisian, yang berada di garis depan penegakan hukum, pendidikan dan latihannya perlu ditingkatkan. Jumlahnya diperbanyak (rasio jumlah polisi Indonesia lebih kecil misalnya dari Malaysia) dan anggaran operasional dicukupkan. Demikian pula payung hukumnya dilengkapi dan doktrin tugasnya dipertegas, jangan lentur sehingga tidak banyak membuat kebijakan lapangan. Penegakan hukum oleh kepolisian dan jaksa harus cenderung tegas dan kaku (legal-formal).

Pendekatan demikian akan mengembalikan kesadaran hukum dan disiplin sosial di tengah masyarkat, baik di pedesaan maupun di perkotaan, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.

Biarlah hakim di pengadilan yang menegakkan hukum dan keadilan dengan mempertimbangkan rasa keadilan dengan bijaksana.

Tidak berkelebihan dikatakan bahwa dalam masa 5 tahun ke depan, nasib demokrasi dan kelanjutan pembangunan ada di tangan kinerja penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, disamping para hakim.

Kita juga perlu melakukan reformasi besar-besaran dalam lingkungan kehakiman. Keberadaan Komisi Yudisial harus digunakan sebagaimana mestinya, sebagai lembaga yang melakukan pengawasan eksternal terhadap kekuasaan kehakiman sehingga kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam negara berdasar hukum itu  tidak tak tersentuh.

Menurut UUD 1945, KY tidak sekedar memberi rekomendasi sanksi atas pelanggaran hakim tetapi dengan tetap menghormati kemerdekaan kekuasaan kehakiman, UUD memberi wewenang kepada KY untuk bertindak, untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim (Pasal 24B ayat (1) UUD 1945).

Dalam pada itu kita perlu mencatat kinerja dan memberi salut pada KPK yang dengan segala kekurangannya memberi harapan akan adanya perbaikan, walau kelihatannya tindakan tegas KPK masih belum membuat jera para pelaku suap dan korupsi.

Seperti pengalaman sejarah kita pada tahun 1950-an, khususnya pada masa sistem parlementer dan Konstituante, kemarahan rakyat pada perilaku dan kinerja politisi pada waktu itu. Mereka sibuk berebut kekuasaan, kabinet jatuh-bangun, sibuk berbagi lisensi, mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, sedemikian sehingga telah membangkitkan sikap anti-partai dan bahkan merusak kepercayaan masyarakat pada sistim demokrasi.

Di tengah kekecewaan dan kemarahan rakyat itu, para pemimpi (dreamers) dan mereka yang memang ingin menegakkan sistem otoriter memperoleh momentum membuka jalan bagi pemerintahan anti partai dan otoriter pada masa lalu itu. Demikianlah demokrasi waktu itu telah berakhir. Tanda-tanda yang mirip juga terlihat sekarang.

Karena itu demokrasi harus ditopang oleh lembaga-lembaga negara, baik supra struktur seperti cabang-cabang kekuasaan negara yang efektif, maupun infra struktur masyarakat, termasuk LSM, media-massa, organisasi keagamaan, dan lain-lain, yang sadar.

Dalam konteks Indonesia, sistem demokrasi yang kita pilih adalah sistim demokrasi konstitusional, dimana demokrasi dan negara hukum itu menjadi satu, berkelindan (intertwined) satu dengan yang lain. UUD 1945 menegaskan bahwa demokrasi itu (kedaulatan rakyat) dikendalikan oleh konstitusi [Pasal 1 ayat (2)] dan konstitusi itu berdasar pada Pancasila (Pembukaan) dan menghormati hak-hak asasi manusia (Bab XA). Dalam menetapkan perundang-undangan, bukan kehendak mayoritas yang menjadi penentu tetapi kesesuaian dengan dasar negara Pancasila dan HAM yang harus dicapai melalui musyawarah [Pasal 20 ayat (2)]. Semua peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan konstitusi(Pasal 24C).

Demokrasi seperti itu adalah demokrasi deliberatif – demokrasi musyawarah. Dengan demikian demokrasi kita bukan demokrasi majoritarian. Selanjutnya, sistem kita bertumpu pada negara hukum, dimana rakyat dilindungi dari tindakan sewenang-wenang kekuasaan [Pasal 1 ayat(3)]. Termasuk terlindung dari kekuasaan yang tidak peduli terhadap nasib rakyat miskin dan terhadap mereka yang kurang beruntung, serta yang tidak mengacuhkan aspirasi sah rakyatnya.

UUD 1945 tegas memerintahkan negara untuk peduli terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat (Bab XIV), yang sekarang sering disebut sebagai hak asasi sosial manusia (social human rights). Oleh karena itu demokrasi kita bukan demokrasi kapitalis-liberal. Disamping itu, negara hukum kita memerintahkan negara dan pemerintah melindungi warganya terhadap tindak sewenang-wenang sesama warga [Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 28J].

Itulah dua fungsi lainnya negara hukum demokratis kita yang diperintahkan oleh konstitusi yang perlu diwujudkan.

Cukup banyak praktek bernegara yang masih jauh dari apa yang diperintahkan konstitusi. Dalam era demokrasi, masyarakat berkesempatan dan berkewajiban untuk turut menegakkannya.

(Disampaikan pada Forum Strategis Gereja dan Politik (FSGP), Jakarta, 7-9 April 2016)

Penulis

Drs. Jakob Tobing, MPA. President Institut Leimena; Program Doctorate – Van Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden; Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004 – 2008); Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945 (1999-2002); Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU, 1999-2002); Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI, 1999); Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu, 1992); Anggota Panwaslu (1987); Anggota DPR/MPR (1968 – 1997, 1999 – 2004).

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena

Loading...