Policy Memo No. 003 Tahun 2010
oleh drs. Jakob Tobing, M.P.A.
Indonesia adalah negara kesatuan dan negara hukum. Pancasila dan UUD 45 berfungsi sebagai sumber hukum negara dan hukum dasar untuk setiap peraturan perundang-undangan. Semua peraturan perundang-undangan yang ada, mulai dari Undang-Undang sampai dengan Peraturan Desa, haruslah taat asas pada UUD 45. Namun kenyataannya, masih banyak ketidak sesuaian dan penyelewengan dari kerangka UUD 45 dan jiwa Pancasila tersebut.
UU no. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah memberi kerangka pembangunan hukum nasional yang mengikat semua lembaga yang berwenang dalam membuat peraturan perundang-undangan (peratun).
Dalam UU no. 10/2004 ini, hierarki hukum dibawah UUD 45 adalah UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah meliputi Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa/yang setingkat.
Sayangnya, UU no. 10/2004 ini belum dapat mencegah terbentuknya peratun-peratun yang tidak taat asas pada UUD 45. Misalnya UU tentang Pemerintahan Daerah yang antara lain mengatur bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) haruslah seragam dan langsung. Sementara UUD 45 mengatakan bahwa pilkada harus demokratis, dan otonomi daerah itu harus memperhatikan keistimewaan daerah (pasal 18B) dan kekhususan daerah (pasal 18A). Artinya, pilkada tidak diharuskan seragam maupun bersifat langsung, sepanjang memenuhi sifat demokratis.
Demikian juga dengan UU tentang TNI yang mengharuskan Presiden untuk meminta persetujuan DPR dalam menentukan panglima TNI. Presiden yang secara konstitusional adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI seharusnya memiliki wewenang penuh atas penunjukkan panglima TNI.
UU yang mengatur masalah otonomi juga terbentuk tidak sesuai dengan prinsip otonomi di dalam sebuah negara kesatuan. Ada suatu mispersepsi bahwa karena ada pemilihan langsung kepala daerah, maka kedaulatan berarti ada di tangan pemerintah daerah. Kedaulatan tidak di tangan kepala daerah. Kedaulatan diberikan oleh pemerintah pusat. Karenanya peraturan pada tingkat daerah tidak seharusnya melanggar asas dan kerangka yang ada yaitu Pancasila dan UUD 45. Namun masih banyak Peraturan Daerah yang tidak sesuai dengan UUD 45 dan bersifat diskriminatif dan/atau melanggar hak asasi manusia.
Oleh sebab itu, amat penting untuk kita mencermati UU no. 10/2004, yaitu apakah pasal-pasal dan ayat-ayatnya sudah cukup untuk menegakkan maksud undang-undang itu sendiri. UU no. 10/2004 memerlukan pengayaan dan penguatan substansi, agar ketentuan didalamnya memberikan kerangka yang kuat bagi pembuatan peratun di semua tingkatan yang taat asas pada UUD 45.
Pada dasarnya, prinsip yang harus dibangun dalam UU pembentukan peratun adalah mekanisme untuk mencegah terbentuknya peratun yang tidak taat asas. Mencegah adalah lebih baik daripada mengkoreksi.
Untuk itu, agar proses pembentukan peratun sesuai dengan UUD 45, perbaikan UU no. 10/2004 perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
Mempertegas pasal-pasal yang memuat proses bersama antara DPR dan Presiden dalam pembentukan Undang-undang, sehingga proses itu berjalan mendalam, dalam suasana musyawarah mufakat, taat asas kepada Pancasila dan UUD 45 serta tidak mengorbankannya demi transaksi politik.
Mengatur agar sebelum mencapai rapat paripurna, sebuah RUU telah melalui musyawarah mufakat antara DPR dan Presiden dalam tahap-tahap pembahasan sebelumnya. UUD 45 menegaskan bahwa RUU hanya dapat menjadi UU apabila DPR dan Presiden telah bersama-sama menyetujuinya. Jangan sampai RUU yang belum disepakati bersama dibawa ke pembahasan pada tingkat yang lebih tinggi.
Memberikan garis besar isi Peraturan Presiden mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah. Ketentuan Perpres itu juga harus meliputi tata cara pembentukan peraturan desa/yang setingkat. Perpres mengatur proses pembuatan Perda/Perdes dalam semangat yang sama dengan muatan UU Pembentukan Peratun.
Mengatur tata cara pengesahan dan pemberlakuan Perda/Perdes. Sebuah Perda/Perdes yang telah disahkan hanya dapat diberlakukan bila telah memperoleh persetujuan terlebih dahulu (stelsel aktif) dari Presiden. Tidak seperti sekarang, dimana sebuah Perda akan dengan sendirinya berlaku bila dalam waktu tertentu tidak ditentukan lain oleh Presiden (stelsel pasif). Dalam hal ini, Presiden dapat mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab itu kepada Mendagri dan selanjutnya kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku wakil pemerintah pusat di daerah. Ketentuan ini tidak cukup bila hanya termuat dalam Perpres. Tata cara itu adalah keharusan yang sesuai dengan lingkup kewenangan dan tanggung jawab Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tata cara pembentukan dan pemberlakuan Perda/Perdes termasuk dalam wewenang Presiden untuk mengontrol peratun (executive review), serta tidak mengurangi wewenang dan tugas peradilan (peradilan Tata Usaha Negara – PTUN) untuk menjaga kesesuaian Perda/Perdes terhadap UUD 45. Oleh karena itu, apabila seorang Kepala Daerah menyetujui pemberlakuan Perda/ Perdes yang tidak sesuai dengan UUD 45, masyarakat dapat menuntut, karena PTUN dapat dan wajib mengadilinya.
Menegaskan bahwa jenis dan bentuk peratun yang diakui dan berlaku-mengikat hanya yang ada di dalam UU Pembentukan Peratun tersebut. Bentuk-bentuk lain, seperti SKB (Surat Keputusan Bersama) dan sejenisnya, tidak merupakan peratun dan karenanya tidak mengikat.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa setiap peraturan perundang-undangan (peratun) haruslah mencerminkan nilai Pancasila, memelihara dan tidak mengingkari semangat kebangsaan Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, setara, bersatu, dan bekerja sama.
drs. Jakob Tobing, M.P.A. Presiden Institut Leimena dan mantan Ketua PAH I BP-MPR untuk Amandemen UUD 45 (November 1999 – Juli 2004) Sumber Foto: www.kpai.go.id
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena