Civis 004/2012
TB Simatupang: Saya Adalah Orang Berhutang
Kalau kepada anak-anak muda sekarang ditanyakan: siapakah tokoh TB Simatupang itu? Saya berani bertaruh sebagian besar hanya akan menjawab bahwa itu adalah nama sebuah ruas jalan yang cukup panjang di kawasan selatan Jakarta, tanpa pernah paham kenapa nama tokoh itu diabadikan sebagai nama jalan.
Saya berani bertaruh demikian tak lain karena mengacu pada hasil jajak pendapat yang dibuat oleh Litbang Kompas bertajuk “Nilai Kepahlawanan Makin Pudar” (Kompas, Senin 12 November 2012, halaman 5). Salah satu pertanyaan dalam jajak pendapat itu: Siapa tokoh yang dikagumi jiwa kepahlawanannya? Hasil survei menunjukkan: Presiden Soekarno (40,7%), RA Kartini (9,3%), Jenderal Sudirman (8,9%), Pangeran Diponegoro (3,8%), Ki Hajar Dewantoro (3,4%), Muhammad Hatta (2,9%), Abdurrachman Wahid (2,6%), Presiden Soeharto (2,4%), dan Bung Tomo (1,9%). Tidak ada disebut nama TB Simatupang.
Institut Leimena, Senin (12/11), menggelar acara “TB Simatupang Memorial Lecture: Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila”, hanya dua hari setelah kita mengenang Hari Pahlawan 10 November, yang makin hilang maknanya. Yang menyampaikan pidato antara lain: Ketua MK Mahmud MD, KH Salahudin Wahid, Prof. Dr Syafii Maarif, Jend (Purn) Luhut Panjaitan, dan Prof. Dr Adrianus Mooy.
Panglima Termuda
Letnan Jenderal (Purn) Dr Tahi Bonar Simatupang atau Pak Sim adalah lulusan Akademi Militer di Bandung, tahun 1942, lalu menjadi Kepala Staf Angkatan Perang pada 1949 di usia 29 tahun. Ia menggantikan Jenderal Sudirman yang sakit dan kemudian meninggal dunia. Dia ikut berperan dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia, terlibat dalam perang kemerdekaan maupun perjuangan diplomasi.
Karier militernya habis setelah terlibat dalam peristiwa “kudeta setengah hati” 17 Oktober 1952. Pada saat itu pemimpin TNI AD menentang kebijakan Bung Karno dengan menuntut pembubaran parlemen dan segera digelar pemilu. Akibatnya TB Simatupang, juga AH Nasution, dicopot dari jabatannya. Namun, ia baru benar-benar pensiun dari tentara pada 1959. Menurut ekonom Prof Dr Emil Salim masa tujuh tahun itu (1952-1959) menjadi masa yang berat untuk Pak Sim karena sebagai penasihat militer anjurannya tidak digubris sampai surat pensiun diterimanya.
Namun pada periode itu Pak Sim secara simultan mendalami ilmu perang, ideologi, dan teologi. Setelah pensiun pada 1959 dia aktif di Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI), Dewan Gereja-gereja se-Asia, hingga Dewan Gereja-gereja se-Dunia.
Ketika menjadi “orang sipil” inilah banyak lontaran pemikiran Pak Sim yang penting bagi bangsa ini, dan salah satunya adalah tulisannya “Pembangunan sebagai Pengamalan Pancasila” 31 tahun lalu. Pokok pemikirannya: pembangunan adalah kelanjutan dari sejarah perjuangan bangsa, pembangunan itu bukan sekadar modernisasi melainkan harus dijiwai oleh pengamalan lima sila dalam Pancasila.
Orang Berutang
Dalam otobiografinya, yang ditulis empat tahun sebelum meninggal dunia, 1 Januari 1990, Pak Sim menulis: “Segala sesuatu adalah milik kita, tetapi pada akhirnya semua yang kita miliki adalah milik Allah. Sehingga dalam cara kita memiliki segala sesuatu itu, kita membayar utang kita dengan melayani sesama kita dan dengan itu kita memuliakan nama Tuhan.”
Jasa dan pemikiran Pak Sim relevan untuk dimunculkan tak lain karena ada kegalauan bahwa 14 tahun reformasi terjadi kekosongan definisi, makna, dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, dan Pancasila mengarah hanya sebagai “dongeng sejarah”. Indikasinya adalah ketimpangan ekonomi yang parah, otonomi tanpa arah, fundamentalisme dan liberalisme menguat, hilangnya jati diri bangsa, yang kesemuanya mengarah pada krisis kebangsaan.
Momen ini baik untuk mengingatkan khususnya kepada banyak pemimpin politik hari ini yang lupa bahwa sesungguhnya mereka harus membayar utang kepada para pemilihnya dalam bentuk melayani mereka, dan bukannya malah mencuri. Jabatan dan posisi bukan kenikmatan, melainkan bekerja dan melayani, jadi sangat tidak patut kalau malah dipakai untuk korupsi.
Menurut Emil Salim, bila Pancasila diamalkan dengan baik, kita akan mampu bertahan sampai 100 tahun (yakni 2045) sebagai sebuah bangsa.
Namun kalau tidak, bangsa ini akan tinggal sejarah seperti Uni Soviet atau Yugoslavia. Untuk itu Bung Karno sudah mengingatkan ketika berpidato tahun 1958: A nation without faith cannot stand (sebuah bangsa tanpa kepercayaan takkan bertahan). Maka marilah melihat Pancasila harus utuh sebagai sebuah kesatuan dengan Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sebuah cita-cita, jangan hanya diambil sila per sila, sebab dia merupakan arah pembangunan bangsa ini.
(Sumber: Kolom Matahati, Jumat, 16 November 2012, http://SHNEWS.CO/MH.018)
Penulis
Kristanto Hartadi. Dewan Redaksi Harian Sinar Harapan.
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena