IL News 010/2015
Kemajemukan, termasuk dalam hal agama, telah menjadi ciri masyarakat di Indonesia sejak ribuan tahun yang lalu. Kemajemukan ini dapat bertumbuh subur karena adanya kebebasan untuk berbeda dan toleransi antar kelompok yang berbeda tersebut. Bahkan, kelompok-kelompok yang berbeda ini dapat saling bekerja sama. Tidak heran kalau bagi Soekarno, Pancasila dapat diperas menjadi “satu perkataan Indonesia yang tulen” yaitu “gotong royong”. Matius Ho dari Institut Leimena mengajak para mahasiswa memahami kemajemukan bangsa ini dalam lintasan sejarah Indonesia melalui kuliah umum berjudul “Kemajemukan dan Kebebasan Beragama di Indonesia: Kisah Sebuah Bangsa” di Universitas Kristen (UK) Petra, Surabaya, pada tanggal 8 Mei 2015. Kuliah umum ini juga menghadirkan Dr. Suhadi, dosen Agama dan Lintas Budaya dari Universitas Gajah Mada, dengan moderator Daniel Rohi dari UK Petra.
Pada abad ke-17 di wilayah koloni Massachusetts Bay (sekarang bagian dari Amerika Serikat), kaum Puritan yang merupakan mayoritas di wilayah itu merasa terganggu oleh iman kepercayaan Mary Dyer, seorang pengikut gerakan Quaker yang dianggap sesat oleh Puritan. Mary mengalami tekanan, siksaan, hingga akhirnya dihukum gantung hanya karena pemahaman imannya itu. Padahal kelompok Quaker dan Puritan adalah sesama Kristen. Kisah ini menjadi studi kasus untuk memahami pentingnya kebebasan beragama oleh para mahasiswa Universitas Kristen (UK) Petra dalam pelatihan yang diadakan di Surabaya, tanggal 8 Mei 2015, atas kerja sama Institut Leimena dan Badan Eksekutif Mahasiswa UK Petra. Dalam pelatihan yang difasilitasi oleh Budi Setiamarga dan Matius Ho dari Institut Leimena ini, para mahasiswa juga belajar mengenai prinsip-prinsip kebebasan beragama yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan dokumen-dokumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik.
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena