info@leimena.org    +62 811 1088 854

Policy Memo No. 008 Tahun 2011

oleh Tobias Basuki, M.A.

Kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan hak konstitusional yang bukan tanpa batas. Hak ini berbeda dengan hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).

Ada beberapa masalah pokok yang menjadi urgensi revisi UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Pertama, alasan normatif, karena UU No. 8 tahun 1985 tentang Ormas sudah tidak lagi sesuai dengan sistem pemerintahan demokratis Indonesia saat ini.

Kedua, banyaknya pelanggaran-pelanggaran hukum yang menyangkut atau dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas). Semenjak reformasi, ormas berkembang pesat dalam jumlah, fungsi, serta intensitas aktifitas dan perannya dalam negara. Ormas banyak mengambil aktif hak konstitusionalnya untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, tetapi dalam aktifitasnya masih  tidak seimbang dalam melaksanakan kewajibannya. Kerap terjadi penyalahgunaan (misuse) ormas sebagai sarana penggelapan uang dan penyimpangan (abuse) ormas sebagai wadah gerakan radikal dan disintegratif terhadap kesatuan bangsa.

Pelanggaran ormas yang paling sering terjadi dan sulit ditangani adalah penindasan hak-hak konstitusional warga  oleh ormas-ormas yang berlindung dibalik hak konstitusionalnya dan juga nilai-nilai agama sesuai pandangannya sendiri.  Dan juga, banyaknya UU lama yang inkonstitusional yang dijadikan “tongkat penggebuk” oleh ormas. Pelanggaran ormas yang berulang kali ini meresahkan masyarakat dan mengurangi kepercayaan publik terhadap negara.

Salah satu contoh adalah kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Hak konsitusional kebebasan beragama JAI seakan tidak diindahkan  karena dinilai menodai agama berdasarkan UU No. 5 tahun 1969 tentang Penodaan Agama. Sementara ormas radikal seperti FPI, dengan berlindung dibalik kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat dan “kebebasan beragama”-nya, seringkali melakukan aksi intimidatif dan juga kekerasan tanpa konsekuensi yang tegas terhadap pelaku dan organisasinya.

FPI yang mengambil hak ormas untuk berkecimpung di ranah publik/negara seakan-akan tidak dapat disentuh hukum. Pertama, karena ketidak-jelasan status FPI sebagai ormas atau kelompok agama, dan juga status hukumnya sebagai ormas. Kedua, perangkat hukum dan pengaturan yang masih belum  jelas mengatur  aktifitas kelompok masyarakat (ormas) dalam ranah publik/negara.

Karena itu beberapa hal pokok diperlukan dalam revisi UU No. 8 tahun 1985:

Definisi ormas perlu diperjelas dan disertai kewajiban dan pengaturan yang tegas serta mengikat secara hukum bagi kelompok masyarakat yang mengambil hak sebagai sebuah ormas. Definisi serta kewajiban ormas yang jelas dan spesifik sangat penting karena posisi unik ormas serta hak istimewanya untuk masuk ke dalam ranah negara sebagai ujung tombak dari civil society. Definisi ormas dalam UU yang lama terlalu umum, sehingga ormas tidak dapat dibedakan dari kelompok masyarakat secara umum. Selain definisi ormas yang tepat dan jelas, perlu ditentukan lingkup dan batas yang tegas mengenai jenis dan bentuk aktifitas serta konsekuensi hukum bagi pelanggarannya.

Ormas sebagai bagian civil society berfungsi sebagai penghubung ranah privat dengan ranah negara, sehingga dalam sebuah masyarakat yang majemuk dan demokratis, ormas wajib bercirikan:  

  1. Ormas bertujuan publik dan berkenaan dengan kepentingan masyarakat luas, karenanya harus memegang prinsip-prinsip pluralisme dan kemajemukan. Organisasi yang berpaham radikal serta berusaha memonopoli fungsi dan partisipasi politik dalam masyarakat tidaklah sesuai sebagai ormas dan natur masyarakat Indonesia yang majemuk dan demokratis.
  2. Ormas bersifat independen dan non-politis, yang artinya tidak merupakan bagian dari pemerintah dan juga tidak berupaya untuk memperoleh kekuasaan dalam negara. Meskipun demikian, Ormas dapat berperan dalam ranah politik dengan mengupayakan konsesi-konsesi, perubahan kebijakan, reformasi lembaga, solusi masalah, advokasi keadilan, dan akuntabilitas pemerintah dalam ranah negara.
  3. Ormas bersifat nirlaba dan tidak berkecimpung dalam ranah pasar (market).
  4. Hak berserikat dan berkumpul bagi masyarakat umum dan ormas perlu dibedakan. Berserikat dan berkumpul secara internal (inward looking) berbeda dengan kegiatan berserikat dan berkumpul bagi ormas yang masuk dalam ranah publik dan ranah negara. Kegiatan ormas dalam ranah negara masih perlu diatur secara tegas karena permasalahan lapangan yang dijelaskan sebelumnya. Apabila ormas tersebut terlibat dalam  pelanggaran-pelanggaran konstitusional warga lainnya,diperlukan mekanisme pertanggung jawaban hukum bagi ormas sebagai organisasi, tidak hanya pelaku perseorangan.
  5. Paradigma sentralistis dalam hubungan ormas dan pemerintah dalam UU yang lama perlu diubah. Di UU No. 8 tahun 1985, wewenang pembubaran ormas ada di tangan pemerintah. Wewenang tersebut sebaiknya ada di tangan pengadilan untuk menjaga objektifitasdan prinsip checks and balances. Kedua, paradigma yang mengarahkan / mengesankan ormas sebagai subordinat pemerintah/negara (state) perlu diubah dari UU yang lama.

Pada dasarnya, UU tentang Organisasi Masyarakat perlu menjaga keseimbangan antara pemajuan hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dan kewajiban serta pembatasan-pembatasan pelanggaran ormas.

Tobias Basuki, MA adalah research associate di Institut Leimena.

Sumber Foto:    www.republika.co.id

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena