Civis 002/2012
Merawat dan Mengisi Proklamasi
Freedom House, organisasi nonpemerintah terkemuka dari AS, yang melakukan riset dan advokasi di bidang demokrasi, kemerdekaan politik, dan hak asasi manusia kembali menerbitkan laporan penelitian tahunan yang berjudul ”Countries at the Crossroads 2012”. Dalam laporan tersebut, dibanding penilian tahun 2010, skor Indonesia turun pada tiga dari empat kategori penilaian. Sistem penilaian menggunakan skor 0-7, dengan skor 7 menunjukkan kinerja terbaik.
Pada kategori penegakan hukum, skor Indonesia turun dari 3,17 pada 2010 menjadi 2,60 tahun ini. Skor pada kategori kebebasan sipil juga merosot dari 3,64 menjadi 3,09. Sementara skor pada kategori tindak antikorupsi dan transparansi melorot dari 2,96 menjadi 2,80.
Hanya skor di bidang akuntabilitas dan suara publik yang naik dari 3,54 menjadi 4,22. Namun, itu pun masih berada di bawah nilai 5, yakni standar minimum pemerintahan demokrasi yang dianggap efektif.
Indonesia disorot secara khusus karena telah terjadi penurunan kebebasan pers dengan peningkatan insiden serangan terhadap para wartawan. Kepemilikan media juga mengerucut pada kelompok-kelompok tertentu yang jumlahnya semakin sedikit.
Indonesia juga dinilai tidak sungguh-sungguh melakukan pemberantasan korupsi dan melakukan penyedotan sumber daya alam secara serampangan. Juga disebutkan keberadaan oligarki-oligarki ekonomi yang mampu memanipulasi kebijakan pemerintah.
Michael Buehler, asisten profesor ilmu politik di Northern Illinois University, menyatakan, Indonesia tak memiliki agenda komprehensif dalam menghadapi berbagai tantangan politik dan sosio-ekonomi.
”Alih-alih, sebagian besar elite politik mengandalkan pembelian suara dan berbagai bentuk korupsi politik lainnya untuk mengumpulkan dukungan dan pengaruh”, tulis Buehler, yang ditunjuk Freedom House untuk menyusun laporan tentang Indonesia.
Buehler juga menyoroti kegagalan negara melindungi kelompok-kelompok agama minoritas dan meningkatnya ketegangan antarpemeluk agama di Indonesia.
Laporan ini menjadi menarik dan sekaligus memprihatinkan, mengingat kita baru saja merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke enam puluh tujuh.
Mari Mulai Merawat
Laporan diatas adalah sebuah gambaran betapa kita lalai dalam merawat kemerdekaan yang sudah berusia 67 tahun. Dengan merawat berarti kita menjaga agar tidak dilanggarnya nilai-nilai proklamasi yang dinarasikan ke dalam Pembukaan UUD 1945: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”.
Merawat berarti kita turut serta memastikan agar persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia yang berdaulat terjaga dan terpenuhi. Kita tidak bisa tinggal diam ketika terjadi pelanggaran dalam bentuk intoleransi atas keberagaman suku, agama dan budaya yang kita miliki. Karena kita tahu bahwa ini adalah pelanggaran konstitusi yang menjadi fondasi kita dalam bernegara dan berbangsa. Kita terpanggil untuk segera ambil andil untuk memastikan pelanggaran tersebut tidak berkelanjutan. Karena pelanggaran konstitusi ini bisa saja terjadi di lingkungan tempat kita tinggal, bekerja, bersekolah dan berorganisasi.
Contoh yang paling nyata akhir-akhir ini adalah kekerasan intoleransi yang terjadi terhadap kelompok keyakinan tertentu. Sebut saja kasus kekerasan intoleransi terhadap kelompok Ahmadiyah di beberapa tempat di Indonesia, kasus Syiah di Sampang Madura, GKI Yasmin, serta beberapa peristiwa serupa lainnya. Tentunya kenyataan ini memberikan urgensi bagi kita untuk aktif dalam merawat kemerdekaan yang dicita-citakan para pendiri bangsa.
Kemudian Mari Mengisi
Merawat saja tidak cukup, kita juga ditantang untuk mengisi. Dengan mengisi tentunya kita tidak hanya bereaksi ketika terjadi pelanggaran atas nilai dan prinsip kebangsaan kita yang sudah final. Namun, kita sadar betul bahwa kemerdekaan merupakan ruang dan wadah yang masih harus terus diisi. Para pendiri bangsa ini sudah menyediakan kerangka dan visi besarnya, kita diberikan kesempatan untuk mengisinya.
Republik ini sudah 67 tahun, maka jelas tantangan dan dinamika persoalan bangsa berbeda dibandingkan dengan awal kemerdekaan. Dalam konteks inilah, sentuhan kaum muda untuk mengisi kemerdekaan dibutuhkan oleh bangsa kita. Ini adalah panggilan sejarah bagi kaum muda Indonesia masa kini. Bagaimana cara mengisinya ? Tentu setiap kaum muda punya gaya dan caranya masing-masing. Sesuai dengan profesi, keahlian, latar belakang dan potensi, setiap anak muda dapat berkontribusi maksimal dalam bidangnya masing-masing.
Sebagai contoh nyata adalah gerakan Indonesia Mengajar (IM). Menjawab tantangan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka, anak-anak muda lulusan terbaik dari universitas-universitas terbaik di Indonesia ini mendedikasikan waktunya selama setahun untuk mengajar di sekolah dasar di titik-titik terluar Indonesia.
Ini adalah contoh nyata kaum muda dengan potensi dan dedikasinya mengisi kemerdekaan. Tidak semua kita harus menjadi pengajar muda, kita bisa memberikan bakti kita kepada bangsa dalam bentuk yang lain, sesuai arah panggilan kita.
Johannes Leimena menekankan tentang konsep warga negara yang bertanggungjawab dalam alam kemerdekaan. Berikut adalah kutipan dari perkataan beliau; ”Dalam hal kecintaan, kesetiaan, ketaatan kepada dan pengorbanan bagi tanah air, bangsa dan negara, orang Kristen tidak dan tidak boleh kurang daripada orang-orang lain, bahkan ia harus menjadi teladan bagi orang lain sebagai pecinta tanah air, warga negara yang bertanggung jawab dan nasionalis yang sejati. Segala sesuatu ini adalah refleksi dari pada kecintaan, kesetiaan dan ketaatan pada Tuhannya, dengan pengertian, Soli Deo Gloria.”
Dengan merawat dan mengisi kemerdekaan akan menjadi bukti kepada generasi yang akan datang, bahwa kita adalah warga Negara yang bertanggung-jawab.
Penulis
Jan Ramos Pandia. Konsultan Pengembangan Kepemimpinan & Pegiat Komunitas ‘28