info@leimena.org    +62 811 1088 854

Civis Vol. 3, No. 2, Okt 2011


Bahaya Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah: Suatu Tinjauan Sosiologis

Pengantar

Sejak proklamasi kemerdekaan lebih dari enam puluh tahun silam, bangsa Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mencapai cita-cita kemerdekaan tersebut, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.  Banyak “kemajuan” yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia dalam kurun waktu lebih dari setengah abad itu. Namun demikian, masih banyak pula masalah krusial yang belum terpecahkan di negeri ini. Salah satu persoalan penting itu adalah adanya kesenjangan “kemajuan” antar wilayah; ada wilayah yang telah sangat “maju” (developed) sementara ada banyak pula wilayah di negeri ini yang masih sangat “terbelakang” (underdeveloped). Tingkat “kemajuan” ini ditunjukkan oleh berbagai indikator seperti kondisi infrastruktur transportasi, komunikasi, pendidikan, kesehatan, ekonomi, olah raga dan kesenian, dll.  Kesenjangan ini terlihat pula dari segi “kualitas” manusianya seperti tingkat pendidikan dan ketrampilan, harapan hidup, gizi anak, dan seterusnya seperti yang terangkum dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM).  Demikian pula dengan pendapatan per kapita maupun tingkat kemiskinan penduduknya, menunjukkan adanya kesenjangan antar wilayah di Republik ini.

Makna dan dampak sosiologis

Ketika kita membicarakan ketimpangan pembangunan “wilayah”, itu bukan hanya wilayah geografis semata, melainkan mencakup penduduk atau komunitas yang menghuni wilayah geografis tersebut. Membicarakan “wilayah” berarti membicarakan kelompok-kelompok sosial yang berada di wilayah tersebut. Oleh sebab itu, secara sosiologis, ketimpangan “kemajuan” antar wilayah merupakan suatu bentuk kesenjangan atau ketidakadilan sosial.

Sementara itu, ketidakadilan sosial itu sendiri merupakan salah satu akar penyebab dari konfik sosial. Oleh sebab itu, kesenjangan pembangunan antar wilayah mengandung bahaya laten karena dapat memicu konflik sosial.  Kesenjangan “kemajuan” antar wilayah ini menjadi semakin berbahaya dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia, mengingat kondisi bangsa kita yang amat beragam.

Seperti diketahui, bangsa Indonesia memiliki tingkat keragaman yang besar dalam berbagai aspek, sehingga dikenal sebagai bangsa yang majemuk (Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Cetakan ke 9), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,1995). Oleh sebab itu, semboyan yang amat terkenal sejak dulu, yakni Bhinneka Tunggal Ika, menggambarkan dengan tepat karakteristik bangsa Indonesia. Dari segi suku/etnis, penduduk Indonesia terdiri atas ratusan etnis. Hildred Geertz, misalnya, mengatakan bahwa di Indonesia terdapat lebih dari tiga ratus etnis dengan keunikan budayanya masing-masing ( Geertz, Hildred, “Indonesian Cultures and Communities” dalam Ruth T. McVey (ed), 1963. Indonesia. Human Relations Area Files Inc. New Haven, Connecticut, USA).

Dari segi agama, masyarakat Indonesia menganut berbagai agama, yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, bahkan “agama asli” pada suku-suku tertentu.  Negara Indonesia juga dikenal sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, karena terdiri dari 17.504 buah pulau (Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2009.

Berbagai pulau ini didiami oleh “penduduk asli” masing-masing yang juga bisa sangat beragam seperti yang ada di Pulau Kalimantan, Sumatra, dan Papua, misalnya.  Untuk beberapa kasus, penghuni pulau atau kepulauan tertentu juga bisa didominasi oleh suku/etnis tertentu dengan agama tertentu pula. Selanjutnya, tipe ekologi wilayah di Indonesia juga beragam, seperti pesisir/pantai, dataran rendah dan pegunungan. Sementara itu, pola adaptasi masyarakat sangat erat kaitannya dengan tipe ekologis (lihat misalnya  Geertz, Clifford, Agricultural Involution. University of California Press, Berkeley and Los Angeles, USA 1968).  Oleh sebab itu, kelompok sosial budaya di Indonesia juga beragam ditinjau dari segi tipe ekologisnya, seperti masyarakat di pegunungan, dataran rendah, pesisir, hutan, dan sawah.

Dengan karakteristik Negara dan bangsa Indonesia seperti itu, maka ketertinggalan suatu wilayah, apalagi jika wilayah tersebut berupa sebuah atau beberapa pulau tertentu, juga bisa berarti ketertinggalan kelompok sosial tertentu dengan identitas yang berbasis etnis dan/atau agama tertentu.  Dengan kata lain, untuk kasus-kasus tertentu, ketimpangan pembangunan antar wilayah sama dengan ketidakadilan antar kelompok sosial yang berbasis etnis dan/atau agama tertentu.

Tentu saja ini mengandung energi yang berbahaya secara sosiologis karena ia dapat memicu konflik sosial yang “dibumbui” dengan isu primordial berupa etnis dan/atau agama maupun identitas kedaerahan. Potensi konflik sosial yang berbasis sentimen kedaerahan semakin besar di era otonomi daerah belakangan ini. Di era otonomi daerah ini, muncul suatu kecenderungan penguatan identitas kelompok sosial yang berbasis daerah, yang terkadang juga disertai dengan identitas etnis bahkan agama. Munculnya sentimen yang menuntut agar kekuasaan di suatu daerah berada di tangan “putera daerah”, atau tuntutan agar rekrutmen tenaga kerja diprioritaskan bagi putera daerah, misalnya, merupakan perwujudan dari fenomena tersebut.

Dalam konteks seperti ini, maka ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat memicu disintegrasi sosial pada berbagai level.  Pada level Negara, kesenjangan pembangunan antar wilayah dapat memicu disintegrasi bangsa atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Bahaya disintegrasi Negara ini akan semakin besar jika ketertinggalan suatu daerah di satu sisi disertai dengan tersedotnya kekayaan daerah tertinggal tersebut ke pusat (wilayah maju) di sisi yang lain. Hal ini akan semakin memperkuat rasa ketidakadilan masyarakat di wilayah tertinggal itu.  Dalam keadaan demikian, maka tidaklah mengherankan jika muncul tuntutan yang semakin kuat dari daerah untuk merdeka atau melepaskan diri dari NKRI.

Kesenjangan tingkat “kemajuan” antar daerah juga mendorong migrasi penduduk dari wilayah yang “tertinggal” ke wilayah yang lebih “maju”. Hal ini mempunyai implikasi sosial yang tak kecil pula tentunya. Salah satunya adalah semakin bertambah banyak kelompok miskin yang berada di wilayah “maju” seperti di kota-kota besar.  Penduduk miskin di perkotaan ini rawan berbagai ketidakadilan dan eksploitasi.  Di sisi yang lain, kemiskinan juga dapat mendorong kriminalitas, radikalisme, dan konflik sosial di perkotaan.

Penyebab

Ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan tingkat “kemajuan” antar wilayah. Jeffrey Sachs (Sachs, Jeffrey D. The End of Poverty. How We can Make It Happen in Our Lifetime. Pinguin Books, USA 2005), misalnya, mengatakan bahwa ada delapan masalah pokok yang dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi suatu Negara itu terhenti bahkan menurun.   Kedelapan faktor tersebut adalah jebakan kemiskinan, kondisi fisik geografis, jebakan fiskal, kegagalan pemerintah, hambatan budaya, geopolitik, kurangnya inovasi, dan jebakan demografi. Pandangan Sachs ini nampaknya dapat pula diterapkan pada level yang lebih kecil dari Negara, misalnya tingkat propinsi, kabupaten, bahkan desa.

Teori modernisasi menekankan pada aspek nilai-nilai budaya dan etos kerja individual sebagai faktor penentu tingkat “kemajuan”. Di lain pihak, teori ketergantungan menekankan pola hubungan antar Negara (maupun antar Pusat dan daerah) yang menyebabkan ketimpangan “kemajuan” antar Negara (maupun antar Pusat dan daerah).

Dari berbagai uraian yang ada, faktor penyebab ketertinggalan suatu wilayah (atau Negara) ini dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar, yakni faktor internal dan faktor eksternal.  Faktor internal mencakup kondisi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia.  Sementara faktor luar mencakup pola hubungan dengan berbagai Negara (atau Pusat-daerah) maupun aturan-aturan internasional (maupun nasional).

Namun, seperti pernah saya kemukakan (Kinseng, Rilus A., Menggugat Kesenjangan Sosial. Artikel di Harian Suara Pembaruan tgl 23 Desember 2010), jika dikaji lebih dalam, maka sebenarnya kesenjangan sosial – termasuk ketimpangan antar wilayah (juga Negara) – merupakan produk institusi (kelembagaan). Dengan kata lain, ia merupakan sebuah konstruksi sosial (social construct).  Bukankah “kesepakatan” belaka yang mengatakan bahwa wajar kalau wilayah yang miskin sumberdaya alam dan manusia itu tertinggal? Sesungguhnya tidak harus demikian; wilayah yang kaya bisa membagikan kekayaannya sehingga wilayah yang miskin juga “maju”. Dengan demikian, ketimpangan “kemajuan” itu dapat diatasi melalui institusi yang didisain untuk menciptakan pemerataan.  Salah satu institusi penting tersebut adalah Undang-undang.  Dengan demikian, adalah sangat penting adanya Undang-undang yang memang didisain untuk menciptakan pemerataan atau keadilan sosial, baik pada tataran wilayah maupun individu di negeri ini.

Penutup

Sebagai penutup, saya ingin menekankan kembali bahwa dilihat secara sosiologis, maka ketimpangan kemajuan antar wilayah berarti sebuah ketidakadilan sosial. Padahal, ketidakadilan sosial merupakan salah satu akar penyebab dari konflik sosial yang sangat berbahaya, mulai dari unit sosial terkecil seperti keluarga hingga Negara dan bangsa.

Di lain pihak, secara sosiologis, ketidakadilan sosial – termasuk kesenjangan “kemajuan” atau pembangunan antar wilayah – sesungguhnya merupakan produk dari institusi atau sebuah konstruksi sosial. Oleh sebab itu, beragam institusi yang menyebabkan ketidakadilan sosial tersebut perlu didekonstruksi dan diganti dengan institusi yang menghasilkan keadilan sosial.  Undang-undang merupakan salah satu institusi sosial yang amat penting dan karena itu mestinya didisain untuk menciptakan keadilan sosial di negeri tercinta ini.**

Penulis

Dr. Rilus A. Kinseng adalah Dosen di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.