Civis Vol. 3, No. 2, Okt 2011
Inkonsistensi Perundangan-Undangan dan Akibatnya Terhadap Tujuan Negara
Salah satu tujuan negara Republik Indonesia berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan dapat tercapai salah satunya dengan cara melaksanakan pembangunan dalam berbagai bidang. Sebagai \negara hukum maka pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia haruslah mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena salah satu ciri dari negara hukum adalah pemerintah berdasarkan hukum. Namun dengan keadaan yang ada saat ini tujuan negara sepertinya akan sulit terealisasi karena masih banyak terdapat inkonsistensi antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain.
Negara dan Tujuan Negara
Negara adalah pengorganisasian masyarakat dalam suatu wilayah tertentu, dimana yang mengorganisasikannya adalah orang-orang yang dipilih oleh masyarakat itu sendiri untuk melaksanakan fungsi dan tujuan pengorganisasian tersebut.
Beberapa tujuan Negara menurut para ahli hukum (Max Boli Sabon, Yohanes Hartono, et.all, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, APTIK, Jakarta, 1989, hlm.94-95) :
1. Machiavelli
Tujuan Negara adalah terciptanya kemakmuran dan persatuan.
2. Immanuel Kant
Tujuan Negara adalah menegakkan hak dan kebebasan warganya, yang berarti bahwa Negara harus menjamin kedudukan hukum individu dalam Negara itu.
3. Dante Alleghiera
Tujuan Negara adalah menciptakan perdamaian dunia, dengan cara menciptakan undang-undang yang seragam bagi seluruh umat manusia.”
Berdasarkan definisi tujuan Negara di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Negara ada karena ada masyarakat dalam suatu wilayah tertentu yang memilih sebagian wakilnya untuk mengkoordinir mereka dengan tujuan melaksanakan suatu tujuan tertentu, dimana tujuan tersebut bertujuan untuk menciptakan kemakmuran dan persatuan, melindungi hak dan kebebasan warganya dengan cara menciptakan undang-undang.
Tujuan Negara Republik Indonesia berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah:
- “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
- memajukan kesejahteraan umum,
- mencerdaskan kehidupan bangsa,
- melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Sebagai Negara hukum maka pelaksanaan tujuan Negara Republik Indonesia yang dilaksanakan oleh aparat dan lembaga Negara harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Negara Hukum
Pelaksanaan tujuan negara Republik Indonesia oleh aparat dan lembaga-lembaga negara dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini dikarenakan Indonesia adalah negara hukum. Keberadaan Negara hukum erat kaitannya dengan adanya konsep “rule of law” yang menyatakan bahwa penegakan hukum sebagai dasar bagi segala sesuatu. Menurut The International Commission of Jurists, Negara Hukum harus melaksanakan hal-hal sebagai berikut (Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2009, hlm.199-200) :
- “Negara harus tunduk kepada hukum;
- Pemerintah menghormati hak-hak individu;
- Peradilan yang bebas dan tidak memihak.”
Selain itu, Koninjenenbelt mengatakan bahwa kriteria-kriteria suatu Negara Hukum adalah:
- Pemerintahan menurut hukum;
- Perlindungan HAM;
- Pembagian kekuasaan;
- Pengawasan kekuasaan oleh badan peradilan.
Berdasarkan kriteria-kriteria di atas, jelas bahwa Indonesia adalah Negara hukum, karena dalam melaksanakan tujuan Negara pemerintah melandaskan segala perbuatan dan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada.
Beberapa Ke-inkonsistenan Peraturan Perundang-undangan
Salah satu contoh inkonsistensi peraturan perundang-undangan adalah seperti yang dikatakan oleh OC Kaligis di hadapan peserta Kongres III Ikatan Alumni Universitas Katolik Parahyangan, Bandung (http://www.ocklaw.com/index.php?option=com_content…id) adalah :
“Salah satu diantaranya Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa salah satu hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keabsaan apapun adalah hak untuk hidup. Kenyataannya, hukum pidana nasional masih mengenal hukuman mati.
Pasal 28 I ayat (1) juga bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2), yang memungkinkan adanya pembatasan terhadap semua hak asasi manusia melalui undang-undang, termasuk hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1), sehingga sebetulnya tidak ada hak yang penuh atau absolute karena selalu dapat dibatasi atau dikurangi oleh undang-undang tertentu.”
Di atas adalah contoh inkonsistensi yang terdapat pada Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan salah satu contoh ke-inkonsistenan dalam undang-undang adalah pengaturan hak tanggungan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dengan pengaturan Hak Tanggungan yang berada dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pasal 1 angka 1 UUPA menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Sedangkan hak tanggungan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan tidak terbatas pada tanah, hal ini berarti definisi hak tanggungan dalam Undang-Undang Hak Tanggunan mendapat perluasan dari definisi sebelumnya yang didefinisikan oleh UUPA. Permasalahannya adalah hukum jaminan/ tanggungan diatur dalam buku 3 KUH Perdata. Pembaharuan pertama dalam hukum jaminan ini dilakukan oleh UUPA. Akan tetapi UUPA belum mengatur mengenai hak tanggungan. Hal ini terlihat dari Pasal 57 yang menyatakan bahwa sebelum terbentuknya Undang-Undang Hak Tanggungan, maka tetap diberlakukan ketentuan yang ada dalam KUH Perdata. Baru pada 1996 diundangkanlah Undang-Undang Hak Tanggungan (Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996) yang mengatur mengenai hak tanggungan.
Dengan diundangkannya undang-undang hak tanggungan maka ketentuan mengenai Hak tanggungan yang diatur dalam buku 3 KUH Perdata dan ketentuan mengenai hipotek sebagaimana tersebut dalam buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan demikian Undang-Undang Hak Tanggungan lahir sebagai realisasi dari amanat yang digariskan oleh Pasal 51 UUPA. Oleh karena itu, sudah selayaknya ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan mengacu kepada ketentuan yang terdapat dalam UUPA. Namun kenyataanya Undang-Undang Hak Tanggungan yang lahir karena realisasi dari Pasal 51 UUPA malah bertentangan dengan UUPA itu sendiri.
Penyelesaian Masalah
Untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, pembuat Undang-Undang dalam membuat Undang-Undang seharusnya melihat kembali kepada tujuan dari keberadaan hukum. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia. Mengayomi berarti melindung manusia baik itu secara pasif maupun secara aktif. Perlindungan pasif adalah perlindungan yang ditujukan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan pelanggaran hak, sedangkan perlindungan aktif adalah bertujuan untuk menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi.
Selain itu, Sunaryati Hartono mengatakan bahwa salah satu fungsi hukum dalam pembangunan adalah “Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan.” Ketertiban dan keamanan tidak akan tercapai apabila terdapat pengaturan yang berbeda untuk hal yang sama. Oleh karena itu, pembuat undang-undang harus memperhatikan kedua teori di atas. dengan memperhatikan kedua teori di atas diharapkan inkonsistensi perundang-undangan yang dibuat dapat diminimalkan.
Bagi Undang-Undang yang inkonsisten namun telah ada, maka kita harus kembali mengingat mengenai hierarkis perundang-undangan dimana peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
- UUD 1945
- Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
- Peraturan Pemerintah (PP)
- Peraturan Presiden (Perpres)
- Peraturan Daerah (Perda)
Hierarkis perundang-undangan mengatakan bahwa segala peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, hal ini sesuai dengan asas hukum yaitu lex superior derogate legi inferiori dimana undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan undang-undang yang lebih rendah.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan terhadap undang-undang yang telah ada namun bertentangan dengan undang-undang yang sederajat ataupun yang berada di atasnya adalah dengan melakukan judicial review, dimana kita dapat meminta baik itu kepada Mahkamah Agung ataupun Mahkamah Konsistusi untuk mereview perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan perundang-undangan lainnya. Selain itu, dalam rangka mencapai tujuan Negara, masyarakat dan aparat harus berperan aktif apabila mengetahui ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dan tidak menyalah gunakan peraturan perundang-undangan tersebut untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok tertentu.**
Penulis
Ocktavianus Hartono, S.H. adalah Dosen Fakultas Hukum di Universitas Kristen Maranatha (Bandung, Jawa Barat).