info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis 001/2012

Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, Pancasila adalah dasar dan ideologi bangsa dan negara. Ia telah menjadi rumah bagi bangsa Indonesia yang majemuk.

Pancasila menjadi dasar dan ideologi negara baik pada masa perjuangan mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan melawan penjajah Belanda, pada masa Indonesia menjadi negara serikat, pada masa Indonesia menganut sistim parlementer, pada masa mengatasi pemberontakan, maupun pada masa pergolakan politik pergantian era orde lama ke era orde baru dan era orde baru ke era reformasi, dari era demokrasi terpimpin ke era demokrasi konstitusional sekarang ini.

Pancasila telah terbukti sebagai kekuatan bangsa untuk mengatasi berbagai tantangan, baik separatisme maupun fundamentalisme agama dan komunisme. Fakta sejarah itu menjadi saksi betapa Pancasila dan eksistensi bangsa dan negara Indonesia berpadu dan saling menopang.

Dasar dan ideologi itu terkristalisasi dalam lima sila Pancasila yang bertaut satu dengan lainnya (organis) yaitu:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa,

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,

3. Persatuan Indonesia,

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan dasar untuk mengatur semua penyelenggaraan yang terbentuk dalam sebuah negara dan adalah sumber tertib hukum Indonesia.

Sebagai ideologi, Pancasila adalah kristalisasi konsep dasar mengenai kehidupan yang dianggap baik yang kita cita-citakan sebagai suatu bangsa. Ia mencakup norma bernegara, cita-cita negara, dan tujuan negara serta pedoman hidup bernegara (lightstar atau lichtstern).

Sebagai ideologi, Pancasila tergolong sebagai ideologi positif, karena memberi semangat, dorongan dan arahan kepada bangsa untuk bersama-sama melawan keterhinaan dalam penjajahan, untuk memulihkan harkat manusia, mengatasi penderitaan kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakadilan, sebagai perwujudan tujuan bernegara sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

Sifat ini amat berbeda dengan ideologi negatif seperti komunisme, nazisme/fasisme, talibanisme, dan sejenisnya, yang mengatur kehidupan secara total, mutlak, dogmatik dan kaku. Dalam ideologi negatif, manusia, dengan segala potensi kreatif dan inisiatif-nya, kurang bahkan tidak dihargai. Ideologi menuntut ketertundukan mutlak warga terhadap penafsir ideologi, yaitu penguasa.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, adalah hari jadi bangsa Indonesia. Sebelum itu bangsa Indonesia tidak ada, yang ada adalah ratusan suku berbeda yang berdiam di ribuan pulau-pulau Nusantara, yang berbicara dalam ratusan bahasa dan dialek yang berlainan dan menganut berbagai agama dan kepercayaan, yang dipaksa-satukan dibawah penjajahan Belanda.

Sebelum 17 Agustus 1945, tidak ada Negara Indonesia. Yang ada adalah wilayah bekas ratusan kerajaan yang ditaklukkan dan dipaksa-satukan dibawah penjajahan Belanda dan Jepang.

Kemerdekaan, enyahnya penjajah, membawa harapan dan kesempatan untuk memulihkan harkat manusia yang terjajah dan membangun, mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin.

Tetapi kemerdekaan itu, hilangnya kuasa penjajah, juga memperhadapkan bangsa yang baru dengan permasalahan yang disebabkan kemajemukan yang telah berakar dari masa ratusan tahun sebelumnya, yaitu masalah memelihara persatuan dan membangun kemajuan.

Untuk itulah diperlukan suatu tali-rasa persatuan, norma dasar hidup bersama dan cita-cita yang diimpikan bersama, agar diatasnya dapat dibangun kekuasaan pemerintahan yang mengayomi dan memajukan.

Dalam pidato 1 Juni 1945, secara jenius Ir. Sukarno menawarkan konsepsi yang dikenal sebagai Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Indonesia merdeka. Beliau menegaskan bahwa sila-sila itu adalah kearifan masyarakat Nusantara yang telah dihidupi masyarakat Nusantara selama ratusan bahkan ribuan tahun. Dengan jelas dan rendah hati beliau menegaskan bahwa dirinya bukan menemukan hal baru tetapi sekedar menggali dari khasanah budaya Nusantara. Tetapi harus diakui bahwa beliau mampu dengan jernih memilah nilai-nilai fundamental itu dari kemajemukan masyarakat kita.

Demikianlah pada 18 Agustus 1945, Pancasila dimeteraikan sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia dan menjadi dasar dan ideologi Indonesia, pada saat UUD 1945 ditetapkan.

Diterimanya Pancasila sebagai dasar Negara telah mempersatukan bangsa yang majemuk ini untuk hidup bersama dalam satu Negara dan mencegahnya dari perpecahan. Menerima Pancasila sebagai sumber nilai dan norma moral bagi pengelolaan kehidupan bersama, baik dalam berbangsa maupun bernegara menjadikan bangsa yang majemuk ini merasakan berada dan berkehidupan dalam rumah sendiri.

Salah satu karakter utama Pancasila sebagai ideologi yang berakar pada pandangan hidup bersama adalah karakter inklusif.  Merangkul warga masyarakat yang berbeda-beda dalam kebersamaan dan kerjasama serta tidak mempertentangkan masyarakat dalam perbedaan mereka. Bhinneka tunggal ika.

Sebagaimana dipraktekkan oleh nenek-moyang kita, nilai-nilai fundamental itu selalu diperlakukan secara utuh sekaligus dinamis. Sila-sila saling memberi makna dan batasan terhadap yang lain (kesatuan organis). Oleh karena itu tidak tepat untuk lebih menonjolkan salah satu sila diatas sila yang lain. Ke-lima sila itu tidak tersusun dalam urutan hierarkis.

Menerapkannya selalu disesuaikan dengan perkembangan dan keperluan. Tetapi ada dua prinsip yang diperhatikan. Yang pertama bahwa setiap tindakan, termasuk peraturan dan program, tidak bertentangan dengan salah satu dari ke-lima sila itu. Yang kedua adalah tindakan itu membawa kemajuan.

Itulah keterbukaan Pancasila. Selalu dimungkinkan penerjemahan yang sesuai  dalam keadaan yang selalu berkembang (eksplisitasi-kontekstual). Hal mana dapat dimungkinkan bilamana terbangun suasana yang mengutamakan dialog dan musyawarah (deliberasi).

Sebagai gambaran tujuan bernegara, Pancasila juga memiliki karakter mendorong kerjasama lintas perbedaan guna mencapai tujuan bernegara itu. Oleh sebab itu setiap kebijakan dan tindakan yang bertentangan dengan sikap inklusif merangkul, bahkan mempertajam perbedaan dan menghambat apalagi memecah kerjasama adalah tindakan dan kebijakan yang tidak sesuai dengan Pancasila.

Kesadaran dan sikap seperti diatas, tidak hanya berlaku pada tataran negara, tetapi juga ditengah masyarakat. Oleh karena itu warga, termasuk warga gereja, perlu menghayati hidup dalam kebersamaan lintas agama dan lintas suku/etnis, saling menghargai, mau dan mampu bekerjasama, dan menjauhkan diri dari sikap menyendiri (eksklusif).

Penulis

Drs. Jakob Tobing, MPA. President Institut Leimena; Program Doctorate – Van Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden; Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004 – 2008); Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945 (1999-2002); Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU, 1999-2002); Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI, 1999); Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu, 1992); Anggota Panwaslu (1987); Anggota DPR/MPR (1968 – 1997, 1999 – 2004).