info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 3, No. 2, Okt 2011


Delineasi Unit Pemerintahan Daerah Tertinggal: Kabupaten atau Propinsi ?

 

Pilihan kabupaten dan bukan propinsi sebagai unit pemerintahan penerima otonomi daerah melalui sistem desentralisasi fiscal sesuai dengan Undang-undang No 24 dan No 25 tahun 1999, kemudian direvisi melalui dua Undang-undang No. 34 dan No. 35 tahun 2004 dengan pilihan unit delineasi kabupaten dan kota. Akan tetapi fungsi dan peranan provinsi agaknya mengambang. Unit mana yang paling cocok dalam pembangunan di daerah tertinggal?

Pilihan delineasi (jurisdiksi) kabupaten dalam otonomi daerah memiliki kelebihan dan kekurangan. Kalau tingkat kabupaten sebagai representasi daerah dalam konsep ekonomi kemungkinan kurang tepat. Alasannya dampak keuntungan ekonomi yang tercipta dari desentralisasi fiscal dan investasi sepenuhnya tidak dapat dinikmati oleh masyarakat kabupaten bersangkutan.   Artinya dampak eksternalitas (spill over effect) atas biaya dana manfaat tidak seutuhnya hadir dan dapat diraih oleh kabupaten bersangkutan.  Kebanyakan (kabupaten) tidak dalam kategori kondisi ekonomi “self contained economy”, di mana kasus kebocoran ekonomi (economic leakages) bersifat positif atau negatif mangalir ke daerah tetangga atau luar negeri.

Masalah kebocoran ekonomi ini berakar pada unit administrasi dengan pilihan kabupaten sebagai unit ekonomi, dan pemerintahan besar  kemungkinan tidak berada dalam skala ekonomi optimum. Ada beberapa, tapi tidak semua kabupaten memenuhi syarat optimum sebagai unit pembangunan.  Kondisi kabupaten seperti ini menunjukkan walaupun ada investasi (misalnya infrastruktur dan investasi lainnya), keuntungannya belum tentu dinikmati penduduk lokal dan bahkan dapat disedot oleh daerah (kabupaten) lain. Misalnya bila satu kabupaten membangun infrastruktur akan tetapi tidak diawali  dengan pengembangan beragam kegiatan ekonomi yang memadai, maka manfaat ekonomi akan tersedot keluar oleh daerah tetangga yang lebih baik. Kalau demikian, maka ide percepatan pembangunan di tingkat kabupaten sebagai unit pembangunan dapat saja tidak tepat sasaran dan lambat berkembang. Disamping itu dua Undang-undang otonomi sekarang kurang memberi ruang yang begitu besar (insentif) untuk menjalin kerjasama dan koordinasi pembangunan antar kabupaten. Tingkah laku birokrasi (bureaucratic behavior) kabupaten melihat kepentingannya sendiri.

Kelebihan pilihan unit kabupaten adalah ia memiliki struktur dan aparatur pemerintahan yang relatif lengkap dan sumberdaya manusianya cukup memadai. Akan tetapi, provinsi lebih memiliki aparatur kepemerintahan dan sumber daya manusia yang lebih baik, namun tidak memperoleh kekuatan otonomi yang sekuat di tingkat kabupaten dan kota. Dari sisi kondisi SDM ini, pilihan tingkat propinsi menjadi unit pemerintahan yang otonomi dapat dibuat sebagai daerah tertinggal. Alasan yang kuat lainnya adalah masalah spill over effect secara berantai antar kabupaten (dan kota) lebih mudah mengakomodasi dan mengkoordinasi utamanya dalam sistem dan kelembagaan serta program pembangunan pemerintah. Kelemahan pilihan provinsi sebagai representasi daerah adalah terlalu luas sehingga “span-control side” dan implementasi pembangunan terlalu besar.

Kembali lagi pada pilihan kabupaten sebagai representasi daerah diperkuat lagi oleh kenyataan penduduk dengan keberagaman agama, suku, adat istiadat dapat teramati dari kemajemukan aspirasi masyarakat, kedalam mana program pembangunan daerah dapat terstruktur ke arah menampung aspirasi bawah (grass root). Implikasinya efisiensi layanan public mencerminkan gagasan pembangunan yang dimotori dari bawah (lokal) lebih mungkin dan langsung mencapai sasaran.  Implikasinya, membangun ditingkat kabupaten dapat mewadahi kepentingan daerah.

Dalam perjalanan desentralisasi (2001-2011) pengalaman pembangunan ekonomi menunjukan tidak memadainya wewenang otonomi yang diberi ke tingkat provinsi. Sehingga SDM yang lebih baik atau cukup memadai ditingkat provinsi, tidak dapat dimobilisasi seluruhnya membangun daerah. Terlihat ada ketidak-mampuan (akibat wewenang yang vakum: wakil pusat atau representasi daerah) mengkoordinasikan kegiatan pemerintahan antar kabupaten dan kota.  Sudah bukan rahasia lagi, sering bupati tidak dapat dikoordinasi dan disinergikan. Semakin sering terjadi konflik antar kabupaten tanpa adanya penyelesaian politik yang tuntas. Sebagai contoh, di bidang perikanan di mana nelayan tidak diijinkan menangkap ikan di perairan kabupaten lain, pengelolaan daerah aliran sungai, pelabuhan udara dan jalan raya.

Kelebihan pilihan kabupaten sebagai representasi daerah dari sudut alokasi fiskal dan dana dekonsentrasi (dana via dinas-dinas) dinilai lebih mungkin mencapai rakyat di kecamatan dan desa dibanding dengan provinsi.  Akan tetapi, apa yang perlu dilakukan adalah hak otonomi provinsi utamanya dipilihkan kekuatan perencanaan dan koordinasi dan integrasi serta evaluasi dan monitoring beragam kegiatan. Walaupun demikian, alokasi fiskal masih tetap dapat dipertahankan karena mencerminkan aspirasi publik dari bawah dan alasan efisiensi pelayanan publik. Oleh sebab itu pemberian hak otonomi provinsi diberikan dalam sinergi kebijakan, koordinasi dan peningkatan kapasitas birokrasi daerah.

Sebagai kesimpulan, memilih kabupaten sebagai jurisdiksi delineasi percepatan pembangunan daerah memiliki beberapa keunggulan.  Pertama, desentralisasi fiscal dengan tujuan layanan masyarakat bawah (grass root) yang lebih efisien, dan lebih mungkin mencapai sasaran aspirasi masyarakat bawah. Kedua, kabupaten sebagai unit pemerintahan telah memiliki struktur pemerintahan dengan tradisi kedinasan dan program seperti : program demokratisasi telah membuat unit kabupaten dalam suatu satuan teritorial politik, yang dapat menyerap aspirasi ragam kehendak penduduk. Sementara itu, pengalaman dari implementasi dua Undang-undang otonomi daerah sangat perlu direvisi untuk memberi ruang, fleksibilitas dan kekuatan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan pembangunan daerah.**

Penulis

Prof.  Mangara Tambunan, Ph.D. adalah Anggota Dewan Penyantun Institut Leimena dan Guru Besar Tetap Institut Pertanian Bogor (IPB).