Civis 006/2016
Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia sebagai Amanat Pasal 32 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan yang diadakan
Perubahan pertama yang berkaitan dengan faktor budaya adalah dalam pengorganisasian pemerintahan daerah pada Pasal 18. Pasal 18 diubah dan 2 pasal baru, Pasal 18A dan 18B ditambahkan.
Dengan mengacu pada sistim induk, bahwa Republik Indonesia adalah negara kesatuan, Pasal 18A dan Pasal 18B memberi ruangan agar pengorganisasian pemerintahan daerah sebagai sub-sistim mengindahkan kekhasan termasuk hak-hak tradisional daerah.
Sesuai dengan prinsip negara kesatuan, perhatian atas kekhasan daerah itu diatur melalui undang-undang, tidak ditetapkan sendiri oleh daerah yang bersangkutan. Undang-undang itu, menurut UUD pasal-pasal 20 (2) dan 22D dipersiapkan bersama oleh DPR, DPD dan Presiden, yaitu perangkat pemerintahan tingkat nasional/Pusat.
Sehubungan dengan itu perlu dicatat kekeliruan yang pernah terjadi. UU no. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menyeragamkan cara pemilihan kepala daerah termasuk Kepala Daerah/Gubernur DI Yogyakarta. Barulah kemudian, dengan UU no. 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, kekeliruan itu diperbaiki.
Sebenarnya, selama pembahasan perubahan UUD 1945, gagasan yang berkembang tentang cara pemilihan kepala daerah tidak mengharuskan pilkada langsung secara seragam, tetapi UUD menetapkan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat (4)).
Ketentuan itu memungkinkan adanya kekhasan dalam tata-cara pemilihan kepala daerah, seperti untuk DI Yogyakarta dan daerah-daerah lain. Pada waktunya, apabila perkembangan sosial-politik masyarakat menghendaki, dapat dilakukan pilkada langsung. Tetapi UU no. 32/2004 telah mengatur semua pilkada dilaksanakan secara langsung. Hal ini sempat menimbulkan keresahan dan suasana politik yang tidak kondusif.
Perubahan berikutnya terdapat pada pasal-pasal 18A s/d 18J tentang Hak Asasi Manusia dan BAB XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan.
Ketentuan pada pasal-pasal itu menunjukkan bahwa UUD 1945 menganut pengertian kebudayaan dalam arti luas, yang meliputi cara hidup sekelompok orang – perilaku, keyakinan, nilai-nilai dan simbol-simbol yang mereka lakoni, umumnya tanpa mempertanyakannya, dan yang diteruskan melalui komunikasi dan dengan cara meniru dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pembahasan dalam kesempatan ini berdasarkan pemahaman itu. Perubahan judul BAB XIII dari Pendidikan menjadi Pendidikan dan Kebudayaan memberi pesan perlunya usaha untuk membangun budaya melalui pendidikan, yaitu usaha sengaja dan terencana untuk menanamkan pada warga dan masyarakat, budaya yang akan menopang bangsa Indonesia untuk maju.
Itulah sebabnya juga istilah “pengajaran” yang dipergunakan pada UUD 1945 yang semula, yang lebih mementingkan materi seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, diganti dengan istilah “pendidikan”, yang disamping mengajarkan materi ilmu juga membentuk sikap mental, moralitas dan kebiasaan yang baik.
Pasal 31 ditujukan untuk memperbaiki kapasitas dan kualitas orang dengan mewajibkan semua warga mengikuti pendidikan dasar dan memerintahkan negara wajib membiayainya.
Pasal 32 dimaksudkan untuk meningkatkan dan memantapkan kebudayaan agar mampu berkompetisi dan berprestasi di tengah era globalisasi.
Dengan perubahan itu, termasuk ketentuan baru dalam Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, maka untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, kita menggunakan pendekatan pembangunan substantif, dimana tiap-tiap orang dan seluruh masyarakat dimampukan untuk merealisasikan potensinya serta negara harus aktif dan efisien mengatur alokasi sumber-sumber, guna mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan (Bandingkan dengan Amartya Sen 2009). (Bersambung)
(Disampaikan pada Seminar Nasional Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, “Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia sebagai Amanat Pasal 32 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jakarta, 6 September 2016)
Penulis
Drs. Jakob Tobing, MPA. President Institut Leimena; Program Doctorate – Van Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden; Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004 – 2008); Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945 (1999-2002); Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU, 1999-2002); Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI, 1999); Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu, 1992); Anggota Panwaslu (1987); Anggota DPR/MPR (1968 – 1997, 1999 – 2004).
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena