info@leimena.org    +62 811 1088 854

Civis 006/2016

Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia sebagai Amanat Pasal 32 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

 

Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Amandemen

Aspirasi agar kita memiliki UUD yang demokratis telah ada semenjak proses pembentukan UUD 1945 dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Aspirasi itu terus hidup sepanjang sejarah, baik pada masa UUD RIS 1949, masa UUDS 1950 dan dalam persidangan Konstituante 1956-1959. Disamping itu, aspirasi untuk tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945, dasar negara Pancasila dan bentuk negara kesatuan juga terus hidup.

Penyempurnaan UUD 1945 memperoleh momentum dan berlangsung di tengah berbagai dinamika dan tantangan politik. Krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter Asia 1997 telah mencetuskan krisis politik yang serius, lengsernya Presiden Suharto dan kemudian membukakan kesempatan dan menampilkan kepermukaan berbagai tantangan dan masalah, termasuk ketegangan hubungan Pusat dengan beberapa daerah dan kelemahan-kelemahan fundamental sistim politik dan pembangunan di segala bidang.

Di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia, terutama di daerah-daerah, berkembang sentimen bahwa kebijakan pemerintahan pada era Orde Baru sangat sentralistis, penuh dengan upaya penyeragaman. Kebijakan pembinaan bangsa yang bhinneka-tunggal-ika dianggap lebih menekankan ke-tunggal-an dan kurang menghargai ke-bhinneka-an. Sebagai reaksi, tumbuh sentimen federalisme, bahkan separatisme dikalangan sebagian masyarakat.

Suasana ini terpapar kedalam dan telah menjadi masukan untuk proses amandemen UUD 1945 melalui berbagai rapat dengar pendapat, pemberitaan media massa, kunjungan kerja dan seminar-seminar yang diselenggarakan oleh Panitia Ad-Hoc I MPR.

Pada sisi lain, juga mengemuka kekuatiran melihat pertumbuhan pembangunan nasional. Setelah mengalami rangkaian pelaksanaan Repelita, peringkat ekonomi Indonesia membaik tetapi krisis ekonomi membuktikan bahwa keterkaitan perekonomian kita dengan sumber daya sekitarnya (backward linkages) tidak cukup kuat sehingga mudah rontok.

Demikian pula sikap-mental tertentu yang tidak kondusif bagi pembangunan yang berkelanjutan, seperti yang ditulis oleh Prof. Koentjaraningrat, sikap-sikap kurang menghargai mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak berdisiplin murni dan tidak bertanggung jawab, berkembang di tengah masyarakat (Koentjaraningrat 1974).

Ada era dalam awal sejarah Indonesia merdeka dimana kepatuhan terhadap peraturan dianggap tidak patriotik dan kurang revolusioner.

Pada sisi lain, erosi nilai hidup seperti materialisme, konsumerisme dan bahkan hedonisme juga terjadi.

Dalam kaitan itu, seperti disimpulkan antara lain dalam simposium Cultural Values and Human Progress (Lawrence, E. Harrrrison & Huntington, Samuel P., 2000, Culture Matters,), ada keterkaitan yang kuat antara nilai budaya dengan performa politik dan ekonomi, bahkan dengan tindak korupsi ditengah sebuah bangsa.

Dengan perkataan lain, memperhatikan “budaya sehari-hari” manusia dan masyarakat Indonesia, masih banyak kekurangan dan kelemahan budaya kita, sehingga belum siap untuk mengemban kemajuan yang berkelanjutan yang diperlukan Indonesia untuk naik kelas dari negara belum maju menjadi negara maju. (Bersambung)

(Disampaikan pada Seminar Nasional Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, “Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia sebagai Amanat Pasal 32 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jakarta, 6 September 2016)

Penulis

Drs. Jakob Tobing, MPA. President Institut Leimena; Program Doctorate – Van Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden; Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004 – 2008); Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945 (1999-2002); Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU, 1999-2002); Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI, 1999); Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu, 1992); Anggota Panwaslu (1987); Anggota DPR/MPR (1968 – 1997, 1999 – 2004).

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena