info@leimena.org    +62 811 1088 854

Civis 001/2012

Pancasila: Dulu, Kini, dan Nanti

 

Di era Soekarno, Pancasila komponen pendukung revolusi nasional. Di masa Soeharto, lain lagi ceritanya. Pancasila itu sakti berdiri teguh menumpas komunisme. Zaman saya duduk di bangku sekolah, Pancasila adalah kalimat paling panjang dalam soal pilihan berganda. Lalu apa ceritanya kini dan kelak?

Pertempuran demi pertempuran telah dilalui demi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sama pentingnya dan berjalan bersamaan dengan berbagai pertempuran fisik itu adalah pertempuran di sektor ide. Pancasila pun terlibat di dalamnya dan tak sedikit diantaranya menumpahkan darah ke bumi pertiwi.

Ia terlekat dengan sang penggali, yaitu Soekarno dan kemudian memenangkan pertarungan pertama dalam sidang BPUPKI tahun 1945. Dengan mengungguli konsepsi dasar negara lainnya yang dikemukan Muhammad Yamin, Pancasila ditunjuk menjadi landasan berbangsa dan bernegara. Bagi Soekarno, Pancasila berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan Sosialisme-Komunisme Lenin di Uni Soviet, Nazisme di Jerman, dan San Min Chu I di Tiongkok.

Ia mengungguli komunisme yang digelorakan Muso di Madiun tahun 1948. Kemudian, tidak tergoyahkan oleh konsepi teokrasi ala Kartosuwiryo. Peran Soekarno amat besar dalam mengokohkan Pancasila dalam berbagai pergolakan politik tersebut. Tentu saja hal tersebut dilakukan paling tidak demi keberlangsungan rezim penguasa.

Namun demikian, hal ini juga menunjukan kokoh dan lengkapnya Soekarno. Ia tidak hanya seorang pemimpin politik, melainkan juga insan karismatik, simbol dari suatu ide dan pemikiran, yaitu Pancasila itu sendiri. Akhirnya, sang pemimpin besar revolusi tersebut meraih tempat di hati rakyat, walaupun carut-marut kondisi politik dan perekonomian saat itu.

Pancasila yang lekat dengan penguasa juga berhasil mengarungi badai transisi rezim di penghujung 1960-an. Soekarno tumbang, namun demikian, Pancasila tetap berjaya. Ia mengungguli pergerakan berdarah tanggal 30 September 1965. Rezim Soeharto mengokohkan Pancasila dengan menyimbolkannya sebagai kekuatan yang sakti. Pancasila digambarkan berhasil menang terhadap komunisme.

Berbagai media dipergunakan untuk menanamkan wacana tersebut di masyarakat, mulai dari peringatan rutin Hari Kesaktian Pancasila; penayangan film; dan pemberlakukan penataran P4 yang diselenggarakan secara luas di seluruh negeri. Lagi-lagi, Pancasila berkontribusi bagi keberlangsungan rezim penguasa. Kali ini 32 tahun lamanya.

Di lain pihak, masa orde baru juga menjadi saksi saat Pancasila “terpaksa” diamalkan melalui instrumen-instrumen top-down. Butir-butir pengamalannya ditetapkan secara kaku oleh rezim. Insan yang tidak berjiwa Pancasila harus menghadapi jeruji besi, atau bahkan tiba-tiba lenyap dari interaksi sosial di masyarakat. Pancasila jadi pelajaran membosankan di sekolah-sekolah, sebab penuh dengan hafalan, yang perlu ada di kepala sebab Ia menjadi prasyarat naik kelas. Padahal, dalam penyelenggaraan negara, Pancasila sama sekali terpenjara.

Rangkaian kondisi itu berubah menjadi malapetaka ketika Reformasi diusung tahun 1998. Pancasila terseok-seok mengarungi euforia reformasi. Kesaktiannya dianggap rekaan rejim penguasa saat itu. Pancasila kian terlupakan.

Belajar dari dua bapak bangsa, Soekarno dan Soeharto, harusnya menjadi kepentingan utama bagi rejim untuk menjadikan Pancasila sebagai wacana utama (hegemonic discourse) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini tentu kontras dengan apa yang terjadi sekarang. Pancasila dibiarkan hilang dari wacana publik, jarang dibicarakan.

Pancasila harus tetap disuarakan. Akan tetapi, hal tersebut harus terutama dilakukan demi persatuan Indonesia. Bukan lagi demi kekokohan rejim penguasa. Mendukung Pancasila harus menjadi wujud komitmen manusia-manusia di seantero Nusantara untuk bersatu dalam wadah NKRI.

Pancasila diharapkan kembali mampu melalui pertarungan ide di abad yang baru dengan tantangan alam demokrasi yang tumbuh di Indonesia. Konten propaganda Pancasila harus mampu mengkonstruksi suatu realitas sosial yang secara empirik hadir ditengah-tengah masyarakat. Kemudian, memperteguh komitmen masyarakat terhadap kelima silanya.

Realitas sosial yang diinginkan secara eksplisit tercantum dalam kelima sila.  Teokrasi, intoleransi dan kesulitan membangun tempat ibadah tentu bukan sesuatu yang ingin dilihat sila pertama. Penggunaan kekerasan bukan dan lemahnya penegakan hukum bukan pula realitas sosial yang berusaha diwujudkan sila kedua.

Kesenjangan pembangunan daerah barat dan timur Indonesia tentu bertentangan dengan semangat persatuan pada sila ketiga. Politik uang, kosongnya dan bahkan perkelahian di sidang paripurna di DPR tentu mencederai terwujudnya demokrasi substansial sesuai amanah sila keempat. Lebih lagi, korupsi yang nyata-nyata jauh dari realita sosial yang diharapkan terbentuk oleh sila kelima.

Keuntungan berkomitmen pada Pancasila harus dirasakan langsung oleh masyarakat Indonesia. Wacana kesaktian Pancasila era orba ditujukan untuk membuat Pancasila kokoh di tengah publik. Akan tetapi, setia pada wacana Pancasila yang sakti itu hanya berujung pada kebobrokan rejim yang digerogoti lingkaran setan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Kini, pemerintah dituntut piawai, menghadirkan dan menghidupkan Pancasila, bahkan menjadikannya wacana utama ditengah publik. Seiring dengan aktivisme di tataran wacana, pemerintah juga harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk rakyat yang telah setia berkomitmen melalui penciptaan realitas sosial yang diamanatkan Pancasila.

Semakin jauh Pancasila dari realitas sosial yang Ia harapkan terjadi, semakin lenyap pula kelima silanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saatnya mengambil peran aktif demi hidupnya Pancasila, demi Indonesia yang kekal dan abadi.

Penulis

Yeremia LalisangPengajar Tidak Tetap pada Departemen Hubungan Internasional  FISIP UI