info@leimena.org    +62 811 1088 854

Civis Vol. 2, No. 2, Agust 2010


Pancasila dan Otonomi Daerah

 

Dengan 17.000 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia.  Negeri ini juga memiliki penduduk yang jumlahnya terbesar ke-4 di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Selain itu Indonesia adalah negara yang paling banyak memiliki suku bangsa,  bahasa, dan dialek. Semua agama besar di dunia pun ada di Indonesia  dan jumlah pemeluk agama Islam di negeri ini adalah yang terbesar di dunia. Kemudian sejak awal abad ke-21, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia setelah India dan Amerika Serikat.

Namun Indonesia yang amat majemuk itu justru bersatu dalam satu kebangsaan Indonesia dan berdiam dalam satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itulah buah perjuangan pergerakan kebangsaan Indonesia yang dipimpin oleh para Bapak dan Ibu Bangsa (the Founding Fathers) yang mampu memahami nilai-nilai kebersamaan yang hidup dari masa ke masa di tengah-tengah masyarakat majemuk kita, yang kemudian oleh Bung Karno diberi nama Pancasila.

Kebangsaan Indonesia telah terbentuk melampaui sentimen primordial kesukuan, atau keagamaan, ataupun kedaerahan. Kita telah dipersatukan oleh sebuah gagasan masa depan yang berderajat tinggi oleh kesadaran hakekat kemanusiaan yang luhur. Dengan latar belakang yang amat beragam, namun memiliki satu kehendak bersama untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan dalam kebersamaan, kita telah menemukan identitas kita sebagai satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Nilai-nilai kebersamaan itu telah menjadi roh (Geist) eksistensi bangsa.

Tanpa berpegang teguh kepada nilai-nilai Pancasila itu, tidak mungkin persatuan dan kesatuan bangsa yang amat majemuk ini akan bertahan, baik di masa lalu maupun di masa mendatang. Nilai-nilai bersama itulah yang telah menjadi perekat kita, disadari atau tidak, yang menghindarkan bangsa yang amat majemuk ini dari perpecahan. Khususnya sewaktu menghadapi tekanan agresi kolonial Belanda, pemberontakan DII/TII dan PKI, gerakan separatis RMS, GAM dan OPM, maupun perang saudara PRRI/Permesta.

Bersama-sama sebagai sebuah keutuhan, nilai-nilai Pancasila itu telah terbukti merupakan kekuatan konvergen yang amat kuat, merangkum dan mempersatukan kita, mengalahkan potensi divergensi dan perpecahan yang juga terkandung di dalam setiap unsur keragaman kita.

Negara Kesatuan Republik Indonesia

Roh kebangsaan inilah yang telah menyebabkan setiap kita menghayati bahwa setiap jengkal tanah di negeri ini adalah tanah-air saya. Seluruh wilayah negeri ini adalah satu kesatuan (unitary), bukan sesuatu yang dipersatukan (united). Karena itu, yang terlebih dahulu ada dalam kesadaran identitas kebangsaan kita adalah negara Indonesia ketimbang provinsi, kabupaten, dan sebagainya.

Pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, setiap pejuang, darimanapun asalnya, berjuang untuk Indonesia merdeka, untuk keseluruhan negeri, bukan untuk sebagiannya. Demikian pula pada masa perang mempertahankan kemerdekaan. Yang dipertahankan oleh pejuang di Sumatera, di Kalimantan, di Sulawesi, di Bali, di Jawa, dan dimanapun juga,  adalah kemerdekaan Indonesia, bukan kemerdekaan pulaunya.

Demikian pula mobilitas horisontal pegawai negeri, angggota TNI dan POLRI, yang diikuti kalangan swasta, bergerak melampaui batas-batas provinsi dan kabupaten, turut memperkuat rajutan ke-bhinekaan kita dalam kesatuan bangsa.

Persoalan menjadi lain manakala mulai terasa ada yang kurang sreg dalam perkembangan negara. Tahun demi tahun kemajuan negeri ini mulai dirasa semakin tidak adil. Kurangnya pengalaman mengelola negara, tidak meratanya sumber-sumber kemajuan, termasuk sumber daya manusia dan sumber daya alam, terbatasnya kemampuan modal pembangunan dibanding yang diperlukan, dan sebagainya, telah menimbulkan kesenjangan antar daerah yang dekat dengan pusat kekuasaan dengan daerah-daerah yang jauh. Mulai ada yang merasa dianak-tirikan.

Kesempatan berkarir “anak daerah” tertutup oleh para pendatang dari daerah lain yang mempunyai latar belakang pendidikan yang lebih baik. Ada yang merasa kekayaan didaerahnya telah dikuras untuk kepentingan pusat sementara daerahnya diabaikan. Bahkan ada yang merasa kekhasan daerahnya mulai dilenyapkan dan diharuskan sama-seragam dengan daerah lain.

Hakekat kebangsaan Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, terasa telah dicederai. Yang selalu diutamakan dan ditekankan adalah persatuan dan kesatuan. Keragaman diabaikan, tidak dihargai, bahkan sering dicurigai. Jika ada yang menyuarakan kepelbagaian, maka jawabannya adalah tekanan kekuatan dan kekerasan. Sentralisasi kekuasaan amat terasa. Segala sesuatunya tergantung pusat. Dalam bahasa yang menyakitkan, mulai ada yang merasa dirinya telah terperangkap masuk ke dalam negara kesatuan dan kemudian tidak berdaya, tidak bisa keluar lagi.

Tetapi di tengah kekecewaan dan kemarahan itu, jiwa dan semangat kebangsaan Indonesia yang bertanah-air satu, Indonesia, sebenarnya tidak pernah pupus. Yang dituntut adalah agar di dalam negara kesatuan itu ada keadilan dan kebersamaan. Menghargai Bhinneka Tunggal Ika. Agar terjadi kemajuan pembangunan nusantara yang berimbang.

Pemberontakan PRRI/Permesta misalnya, bukanlah pemberontakan untuk mendirikan negara baru. Pemberontakan itu, yang telah memakan ribuan korban nyawa dan kerusakan lain yang amat besar,  adalah pemberontakan “setengah hati” untuk memaksa perubahan kebijakan mengelola daerah-daerah dalam bingkai negara kesatuan. Bahkan gerakan RMS, GAM dan OPM pun masih mengandung tuntutan koreksi hubungan daerah dan pusat dalam bingkai NKRI dalam perjuangan mereka. Lain halnya dengan pemberontakan DI/TII dengan NII-nya atau PKI dengan impian negara komunisnya. Mereka bertitik tolak dari konsep kebangsaan yang sama sekali lain.

Akhirnya, rasa kecewa itu berubah menjadi aspirasi dan tuntutan untuk memperbaiki hubungan pusat dengan daerah dan antar-daerah yang tumbuh dan terus berkembang. Konsep otonomi daerah, sebagai cara struktural guna mengurangi dan menghilangkan kesenjangan kemajuan pembangunan di daerah-daerah yang diyakini akan dapat mengatasi masalah, mulai didesakkan. Semakin lama semakin kuat dan tuntutan otonomi daerah telah menjadi bagian dari tuntutan reformasi dan demokratisasi tahun 1990-an. Daerah ingin diberikan kewenangan untuk mengurus dirinya sendiri, sesuai dengan kekhasannya masing-masing, untuk memacu pembangunan daerah.

Otonomi Daerah dan UUD’45

Pada masa proses amandemen UUD’45, topik otonomi daerah juga menjadi topik bahasan yang mendalam. Ada tanggung jawab moril untuk mencari jawaban atas rasa tidak adil dan ketidak-puasan yang dirasakan oleh (sebagian) daerah. Bahkan ada sebagian anggota MPR yang mewacanakan perubahan bentuk negara kesatuan menjadi negara serikat sebagai jawaban terhadap persoalan ketimpangan pusat dan daerah. Paling tidak mereka mewacanakan aspirasi itu agar tersalur ke dalam forum resmi, walaupun ide itu segera pudar. Secara aklamasi anggota MPR tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan dan memutuskan untuk memakai cara pemberian otonomi kepada daerah guna mempercepat penyelesaian ketimpangan yang terjadi.

Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, otonomi daerah menjadi ketentuan UUD’45. Apabila pada UUD’45 yang lama prinsip otonomi itu diterima selektif dan hanya tercantum dalam Penjelasan, maka dalam amandemen UUD’45 asas otonomi diterapkan dalam Pasal 18 dan diberikan kepada setiap daerah. Maksud diberikannya otonomi daerah itu adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sistem otonomi akan mendekatkan dan karena itu meningkatkan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat. Potensi masyarakat dan daerah akan lebih dapat direalisasikan. Daerah akan semakin berpeluang untuk mencari peluang penanaman modal di daerahnya. Demikian pula peran masyarakat dalam pembangunan akan lebih nyata dan sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing.  Di samping itu, kekhasan daerah akan berkembang memberikan sumbangan kepada kekayaan budaya Nusantara.

UUD’45 menegaskan bahwa otonomi daerah adalah pendelegasian sebagian kewenangan negara melalui undang-undang  kepada pemerintahan daerah untuk mengelola daerah bersama dengan tugas pembantuan dan tugas dekonsentrasi dan selaras dengan kekhususan dan keragaman daerah. Kewenangan otonomi daerah tidak berasal dari daerah itu sendiri, tetapi merupakan bagian dari kedaulatan nasional yang didelegasikan kembali kepada daerah melalui undang-undang.

Pasal 18 ayat (1) dengan tegas mengatakan bahwa daerah provinsi adalah bagian integral dari negara kesatuan, sementara daerah kabupaten dan kota adalah bagian integral dari provinsi. Masing-masing daerah itu mengatur sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dengan demikian, susunan hierarkis pusat dan daerah tetap eksis dan bentuk pelaksanaan asas otonomi di daerah tidak harus seragam.

Selama 10 tahun terakhir, pelaksanaan otonomi daerah telah memperlihatkan hasil-hasil yang pada umumnya positif. Misalnya, daerah-daerah seolah berpacu untuk mengembangkan daerahnya masing-masing. Pusat-pusat pertumbuhan baru bermunculan. Peningkatan kreativitas dan inisiatif dalam pemerintahan terjadi. Denyut gerak ekonomi bertambah cepat. Potensi sumber daya alam semakin cepat direalisasikan dan dimanfaatkan. Sumber daya manusia di daerah semakin berkembang. Masyarakat semakin proaktif terlibat dalam kegiatan pembangunan. Kesenian dan kebudayaan daerah mulai terlihat bangkit. Perasaaan diabaikan mulai surut.

Tetapi kita juga mengalami dampak negatif akibat pelaksanaan asas otonomi yang tidak selaras dengan UUD dan dengan jiwa kebangsaan Indonesia. Gejala daerahisme mulai muncul. Ada sentimen untuk membatasi kesempatan kerja dan usaha hanya untuk “putera daerah”. Jabatan pimpinan juga tidak boleh diisi oleh “pendatang”. Berbagai peraturan daerah yang bernuansa sempit, kedaerahan dan juga diskriminatif, seperti perda ekonomi yang tidak sejalan dengan undang-undang, perda syariah, dan sebagainya bermunculan. Line of command and coordination juga terganggu. Hubungan antara gubernur dengan bupati/walikota sering tidak mulus. Kalau didramatisasikan, seolah negara kesatuan Indonesia telah terurai ke dalam 300-an daerah tingkat II yang otonom.

Apa yang harus dilakukan?

Hal-hal positif yang telah dicapai melalui asas otonomi daerah perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Hal-hal yang negatif perlu diidentifikasikan lebih cermat untuk dihilangkan. Pada dasarnya, capaian-capaian itu perlu dicermati dengan kaidah-kaidah yang bersumber dari nilai dasar Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD’45 dan ukuran struktural dari pasal dan ayat UUD’45.

Ketentuan Pasal 2 ayat (3) yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum perlu nyata menjadi pegangan dalam menyusun ketentuan peraturan perundangan yang menyangkut pemerintahan daerah. Pasal 1 ayat (3) itu mengandung arti antara lain bahwa UUD’45 adalah hukum tertinggi yang harus dijadikan acuan dan ditaati oleh setiap peraturan perundangan, termasuk peraturan daerah.

Pasal 18 UUD’45 khususnya ayat (6) yang berbunyi: “Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”, hendaknya tidak ditafsirkan terlepas dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 45 tersebut dan segala ketentuan yang diatur di dalam Pasal 18, 18A, dan 18B, bahkan dengan seluruh isi UUD’45.

Oleh karena itu segala peraturan perundangan dan kebijakan yang :

-menyebabkan terganggunya keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia,

-melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa,

-merusak kerukunan dan toleransi agama, adat-istiadat dan budaya,

-mengganggu kesatuan ekonomi nasional, dan

-tidak menghargai kekhasan dan keragaman daerah,

harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Selanjutnya, diperlukan mekanisme supaya semua peraturan perundangan dan kebijakan dapat terbentuk sesuai dengan prinsip negara hukum, yaitu semua peraturan perundangan harus sesuai dan tidak menyimpang dari UUD’45 yang terdiri atas Pembukaan, Pasal, dan Ayat. Untuk itu, UU no. 10/2004 tentang “Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” dan UU no. 32/2004 tentang “Pemerintahan Daerah” perlu disempurnakan.

Revisi terhadap UU no 10/2004 diperlukan supaya:

1.Tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dapat mencegah terbentuknya peraturan yang tidak sesuai dengan UUD’45.

2.Terdapat ketentuan yang efektif untuk membatalkan peraturan perundangan yang pernah terbentuk yang menyimpang.

3.Terpeliharanya keutuhan “line of command and coordination” di dalam penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah secara vertikal dan horisontal.

Perlu juga dinyatakan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, daerah harus mengikuti proses dan ketentuan undang-undang yang khusus (lex specialis) mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.**

Penulis

Drs. Jakob Tobing, MPA. President Institut Leimena; Program Doctorate – Van Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden; Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004 – 2008); Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945 (1999-2002); Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU, 1999-2002); Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI, 1999); Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu, 1992); Anggota Panwaslu (1987); Anggota DPR/MPR (1968 – 1997, 1999 – 2004).