info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 2, No. 2, Agust 2010


Salah Tafsir Pancasila yang Mendasari Pelembagaan Diskriminasi Terhadap Perempuan

 

Apa hubungannya penafsiran Pancasila terhadap dilembagakannya diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia?  Tulisan berikut ini merupakan telaah mengenai hal ini yang bersumber dari wawancara dengan Andy Yentriyani – Komisioner dari Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), serta Laporan Pemantauan Kondisi Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 Propinsi yang bertajuk “Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi Dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia”. Laporan pemantauan ini dikeluarkan oleh Komnas Perempuan pada Februari 2010.

Lilis Lindawati (36) bekerja sebagai karyawati di sebuah rumah makan di kawasan Rawabokor, Tangerang – Jawa Barat. Saat menunggu angkutan umum untuk pulang setelah bekerja sekitar pukul 20.00, ia ditangkap petugas tatib Tangerang yang sedang menggelar razia karena dianggap sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Lilis memperlihatkan KTP-nya dan menyatakan dirinya bukan PSK. Tapi usahanya sia-sia karena pada saat itu ia tidak bisa memperlihatkan surat nikahnya. Telepon genggamnya disita dan ia tidak diperbolehkan menelepon suaminya, seorang guru yang bernama Kustoyo.

Keesokan harinya Lilis disidang, lalu divonis 4 hari penjara dengan denda Rp 1.000,-. Alasannya, ia tidak mampu menghadirkan saksi yang menguatkan keterangan bahwa dirinya bukan PSK. Usai persidangan, Lilis berhasil meminjam telepon seluler dari seorang PSK dan dengan sembunyi-sembunyi menelepon suaminya. Begitu ditelepon, Kustoyo segera datang tapi gagal membawa pulang istrinya.

Lilis dianggap PSK berdasarkan Perda Nomor VIII tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran yang diberlakukan oleh Pemkot Tangerang. Dalam Pasal 4 Ayat 1 Perda itu dinyatakan “setiap orang yang perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, lapangan-lapangan, atau di warung kopi.”  Demikian rangkuman laporan dari berbagai media massa pada bulan Maret 2006.

Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2009, Lilis Indawati, korban salah tangkap dalam pelaksanaan Perda Tangerang tentang Prostitusi itu, akhirnya meninggal dunia dalam kondisi sakit-sakitan dan miskin akibat peristiwa yang ia alami. Komnas Perempuan mencatat Perda Tangerang tersebut sebagai salah satu perda diskriminatif yang mengriminalkan perempuan.

Dari pemantauan oleh Komnas Perempuan, antara tahun 1999 – 2009 terdapat 154 kebijakan daerah yang diskriminatif di Indonesia, dengan 63 di antaranya diskriminatif terhadap perempuan. Kebijakan-kebijakan tersebut menjadi sarana pelembagaan diskriminatif, dilihat dari tujuan maupun sebagai dampaknya.  Disebut ‘pelembagaan diskriminatif’ karena inisiasi dan implementasi kebijakan ini tidak saja membiarkan praktik diskriminasi terus hidup di masyarakat, tetapi juga memunculkan situasi dimana lembaga negara menjadi penggagas dan pelaku langsung tindak diskriminasi terhadap warga negaranya.

Klasifikasi Perda Diskriminatif

Kategori Jumlah
Kriminalisasi perempuan 38
Kontrol terhadap tubuh perempuan 21
Pembatasan kebebasan beragama bagi komunitas Ahmadiyah 9
Pengaturan ibadah / kehidupan keagamaan 82
Pengaturan buruh migran 4
Jumlah 154

 Sumber: Atas Nama Otonomi Daerah (Komnas Perempuan), 2010

Pelembagaan diskriminatif terjadi karena diutamakannya demokrasi prosedural dalam proses perumusan kebijakan. Praktik pengutamaan demokrasi prosedural terjadi ketika keabsahan kebijakan daerah dinilai semata-mata pada sejauh mana proses perumusannya memenuhi aspek teknis prosedural, meskipun mengabaikan substansi berdemokrasi.  Demi sekedar memenuhi aspek teknis prosedural, maka terjadilah eksploitasi ketidaksempurnaan mekanisme partisipasi dan akuntabilitas publik, serta tirani ‘kehendak mayoritas’ lokal.

Eksploitasi Ketidaksempurnaan Mekanisme

Eksploitasi mekanisme terjadi antara lain dengan tidak adanya mekanisme dengar pendapat yang memberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapat secara bebas. Dengar pendapat yang semestinya menjadi ruang perdebatan publik justru menjadi ajang menekan atau intimidasi untuk menghakimi pihak-pihak yang menolak dan kritis terhadap kebijakan daerah. Mereka yang menentang atau menolak dengan mudah diberi stigma “tidak bermoral atau tidak beragama.”  Ruang partisipasi publik ini bahkan dipersempit lagi dengan dibiarkannya proses intimidasi terhadap kelompok yang berbeda pendapat berlangsung di ruang sidang pembahasan rancangan kebijakan.

Dalam lembaga eksekutif dan legislatif pun tidak ada mekanisme untuk memastikan keragaman pendapat publik yang dapat menjadi bahan pertimbangan yang sungguh-sungguh dalam proses akhir penetapan kebijakan. Mereka yang berada di akar rumput  hampir tidak diberikan akses sama sekali untuk bisa terlibat. Dengan kata lain,  mekanisme dengar pendapat hanya dijadikan alat untuk menunjukkan ketaatan kepada asar prosedur, tanpa memperhatikan makna substantif dari pendapat masyarakat.

Tirani “Kehendak Mayoritas” Lokal

Sementara itu, tirani kehendak mayoritas lokal terjadi ketika suatu kebijakan daerah dibangun demi pencitraan dengan menggunakan identitas agama tertentu. Dasar pembenarannya adalah bahwa mayoritas berhak untuk mendominasi seluruh sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Padahal pandangan ini menyalahi konstitusi yang memberikan jaminan hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan untuk setiap warga negara tanpa kecuali. Jaminan ini juga telah ditegaskan kembali dan UU No. 32 tahun 2004 Pasal 28 (a) tentang Pemerintahan Daerah yang melarang penerbitan kebijakan daerah untuk keuntungan satu kelompok tertentu atau pun mendiskriminasi warga negara lain, dalam hal ini termasuk kelompok minoritas yang ada di daerah itu.

Lebih dari dua per tiga dari kebijakan-kebijakan diskriminatif yang dipantau oleh Komnas Perempuan (106 kebijakan), menggunakan peristilahan serupa dalam rumusan landasan pemikiran maupun muatan, yang menyatakan bahwa maksud penerbitan kebijakan adalah sebagai “salah satu perwujudan dari pelaksanaan ajaran agama” atau untuk “meningkatkan iman dan taqwa”.  Sementara lebih dari setengahnya secara spesifik menyebutkan bahwa tujuan kebijakan tersebut adalah untuk “mewujudkan karakter daerah yang Islami” , termasuk di antaranya 7 kebijakan daerah tentang aturan busana dan 13 kebijakan daerah yang mengriminalkan perempuan dalam aturan tentang prostitusi.  Rumusan-rumusan maksud dan tujuan dari kebijakan itu mencerminkan keberlangsungan politik pencitraan di daerah tersebut.

Politik pencitraan adalah suatu langkah politik, termasuk melalui penerbitan kebijakan, yang menciptakan sebuah citra semata untuk mengedepankan sebuah citra tandingan terhadap stigma atau citra tertentu yang dianggap tidak menguntungkan daerah. Sering kali politik pencitraan ini menggunakan simbol-simbol identitas agama tertentu ataupun dengan mengedepankan satu interpretasi tunggal dari agama tersebut. Konsekuensinya, kelompok masyarakat yang tidak ikut mengusung simbol tersebut, terutama dialami oleh kelompok minoritas berdasarkan agama dan budaya, menjadi terpinggirkan.

Karena hanya mengedepankan niat pencitraan, apalagi digunakan sebagai politisasi identitas, kebijakan-kebijakan itu tidak diimbangi dengan kemampuan yang sungguh-sungguh menjawab kebutuhan-kebutuhan tantangan nyata daerah. Hal ini sejalan dengan kecenderungan politik pencitraan yang kental dengan kepentingan politik identitas, yaitu memobilisasi dukungan masyarakat dengan menggunakan simbol-simbol idenitas agama, suku, ras, atau gender untuk kepentingan politik dalam proses perebutan kekuasaan atau penundukan lawan.

Pada tatanan praktisnya, perempuan-lah yang paling mengalami diskriminasi akibat hal ini. Dari kebijakan tentang busana, misalnya. Ketika busana dijadikan tolak ukur moralitas, maka perempuan yang dijadikan simbol moralitas komunitasnya, menjadi pihak yang pertama-tama dibebankan untuk tunduk pada aturan tersebut. Perempuan yang menolak untuk patuh, selain mendapatkan hukuman formal juga akan berhadapan dengan sanksi soial berupa pengucilan. Perempuan tidak berani menyatakan penolakan itu secara terbuka karena khawatir akan dihakimi masyarakat sebagai perempuan yang tidak bermoral dan bahkan dituduh melawan ajaran agamanya.

Menurut Andy Yentriani, Komisioner Komnas Perempuan, legitimasi kebijakan dengan menggunakan  alasan agama ini kerap terjadi dengan menggunakan Pancasila sebagai dasar fondasinya. Oleh para pembuat kebijakan tersebut, Pancasila ditafsirkan secara hierarkis, dimana sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dianggap mendahului empat sila yang lainnya.  Karena itu, mereka yang kritis atau menentang kebijakan daerah yang memakai simbol agama dianggap komunis atau atheis. Kebijakan daerah diskriminatif pun dianggap konstitusional dengan alasan ini.

Padahal, berdasarkan Laporan Pemantauan Komnas Perempuan, hampir seluruh narasumber dari kelompok akademis, organisasi masyarakat, tokoh agama, serta tokoh masyarakat yang kritis mengemukakan bahwa pihak yang diuntungkan dari kebijakan-kebijakan diskriminatif tersebut hanya para penggagas kebijakan tersebut. Apalagi jika mengingat temuan data kuantitatif dari daerah-daerah yang menerapkan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif:

  • ·Dari 16 kabupaten yang dipantau, 13 mempunyai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di bawah rata-rata nasional dan 9 mempunyai angka kemiskinan yang lebih tinggi dari median nasional.
  • ·Lima kabupaten (Tasikmalaya, Cianjur, Lombok Timur, Hulu Sungai Utara, dan Bulukumba) mempunyai angka PDRB di bawah batas 30% terendah di antara seluruh kabupaten yang ada.
  • ·Empat kabupaten (Lhokseumawe, Lombok Timur, Dompu, Pangkajene) mempunyai angka kemiskinan di atas batas 30% tertinggi di antara seluruh kabupaten di Indonesia.
  • ·Persentase perempuan sebagai kepala keluarga di 16 kabupaten itu lebih tinggi dari rata-rata nasional yaitu 16,8% dibandingkan 12,2% rata-rata di tingkat nasional.
  • ·Secara konsisten, kabupaten-kabupaten yang dipantau dengan angka kemiskinan yang lebih tinggi dari median nasional dan dengan persentase perempuan kepala keluarga yang lebih tinggi dari rata-rata nasional, memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG) di bawah batas 30% terendah di antara seluruh kabupaten di Indonesia.

Data ini menunjukkan bahwa kaum perempuan yang merupakan penopang penting dalam kehidupan ekonomi keluarga di kabupaten-kabupaten ini terpaksa bekerja dalam situasi yang kurang kondusif untuk mereka. Pada gilirannya, kondisi ini berdampak pada seluruh prestasi kabupaten dalam memenuhi standar kehidupan dan penghidupan yang layak.

Apa yang Dapat Dilakukan oleh Masyarakat?

Melihat fakta-fakta ini, apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat?  Menurut laporan Komnas Perempuan, 80 dari 154 kebijakan yang diskriminatif ini diterbitkan nyaris serentak, yaitu antara 2003 dan 2005. Menarik pula untuk diketahui, sejumlah kebijakan diskriminatif ini mempunyai rumusan yang sangat mirip sehingga terkesan telah berlangsungnya proses penjiplakan.

Walaupun UU tentang Pemerintahan Daerah yang pertama lahir tahun 1999, implementasi terhadap UU ini baru terjadi pada pengujung 2001, setelah berbagai peristiwa konflik bersenjata dan kekerasan massal mulai mereda. Puncak penerbitan kebijakan-kebijakan diskriminatif pada tahun 2003 dan 2005 mungkin dapat dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari fenomena pascakonflik yang sarat diwarnai oleh konflik antar golongan yang berlainan agama maupun antar kelompok yang dicap ‘pendatang’ vs ‘asli’.  Pada tahun 2006, jumlah kebijakan-kebijakan diskriminatif mulai menurun, mungkin sebagai akibat dari besarnya reaksi masyarakat sipil di tingkat nasional.

Dengan kata lain, masyarakat (khususnya organisasi-organisasi masyarakat sipil) perlu secara konsisten melakukan berbagai dialog, baik yang bersifat filosofis paradigmatik, maupun dialog kerja yang praktis dan kontekstual antara berbagai elemen masyarakat untuk memahami keunikan Pancasila. Sebab seperti yang dinyatakan oleh Eka Darmaputera, “keunikan Pancasila tidak terletak pada sila-silanya yang dianalisa secara terpisah-pisah, tetapi justru pada saling keterkaitan antara sila-sila tersebut. Tetapi dalam saling keterkaitannyalah, dan dengan cara bagaimana mereka saling terkait itulah, Pancasila menjadi sesuatu yang “unik”.

Selain itu, masyarakat pun perlu mengkritisi kembali keberadaan perda-perda diskriminatif yang dapat menindak seseorang secara pidana. Pasca amandemen, UUD’45 telah secara eksplisit menyatakan dalam Pasal 28J ayat (2) bahwa pembatasan hak dan kebebasan seseorang hanya dapat diatur oleh undang-undang. Ini berarti peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (termasuk Perda) seharusnya tidak boleh mengatur hal tersebut.

Lalu sesuai dengan rekomendasi Komnas Perempuan, masyarakat pun perlu:

Pertama: melakukan pemantauan secara berkelanjutan terhadap perumusan dan pelaksanaan kebijakan daerah dengan menggunakan hak-hak konstitusional sebagai standar ukuran penilaian, dan sigap mengajukan tuntutan uji materi terhadap setiap kebijakan yang diskriminatif.

Kedua: meningkatkan kualitas dan cakupan pendidikan politik, termasuk pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah, dengan fokus pada jaminan-jaminan konstitusional dan untuk membangun resiliensi masyarakat terhadap bahaya politisasi identitas.

Terakhir, segenap elemen masyarakat dan lembaga negara  perlu bersama-sama membangun konsensus nasional yang tegas dan utuh tentang pemisahan ranah negara dari agama, tentang jaminan perlindungan bagi warga negara minoritas, serta tentang hubungan antara pemerintah nasional dan daerah, yang diterjemahkan secara konsisten dalam seluruh sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia.**

Penulis

Grace Emilia, M.A. adalah Director, Communications & Marketing  Institut Leimena.