info@leimena.org    +62 811 1088 854

Menkumham RI, Prof. Dr. Yasonna Laoly, sebagai pembicara kunci bersama para narasumber yaitu Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof Nasaruddin Umar, Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Semuel Abrijani Pangerapan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Prof Siti Ruhaini Dzuhayatin, Managing Co-Chair International Religious Freedom Roundtable, Greg Mitchell, dan Vice President of Global Operations Institute for Global Engagement, James Chen, pada hari pertama Konferensi Internasional Virtual, Selasa (13/9) malam.

IL News 014/2022

 

Jakarta – Pada 13-15 September 2022, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama Institut Leimena mengadakan Konferensi Internasional Virtual bertema “Kebebasan Beragama, Supremasi Hukum, dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya”. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menkumham RI), Prof. Yasonna H Laoly, sebagai pembicara kunci hari pertama, menyatakan kebebasan beragama di Indonesia merupakan hak yang bersifat mutlak dan termasuk hak non-derogable, tidak dapat dilanggar, sebagai hak asasi manusia (HAM) fundamental.

“Kebebasan beragama itu sendiri merupakan hak yang bersifat mutlak dan berada dalam forum internum, serta merupakan wujud dari inner freedom (freedom to be) dan karenanya termasuk hak non-derogable, tidak dapat dilanggar, sebagai hak asasi manusia yang fundamental sebagaimana Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,” kata Yasonna dalam konferensi via zoom yang diikuti sekitar 3.000 orang, Selasa (13/9) malam.

Menkumham mengakui kebebasan beragama masih menghadapi tantangan ketika dianggap sebagai hak eksklusif oleh sekelompok orang. Indonesia mempunyai pengalaman panjang dalam mempraktikkan kebebasan beragama. Namun, isu kebebasan beragama semakin berkembang sekarang pada masa reformasi seiring meningkatnya penghormatan terhadap HAM.

“Kita juga menghadapi tantangan ketika hak kebebasan beragama dijadikan hak eksklusif yang hanya boleh dinikmati oleh sekelompok orang, tanpa menghormati hak orang lain untuk memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda,” kata Yasonna.

Situasi itu, ujarnya, memerlukan penanganan yang komprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan berdasarkan agama dan kepercayaan yang berbeda. “Di sinilah hukum dan the rule of law menjadi penting peranannya untuk menjaga ketertiban umum dan mengatur kehidupan dan kebebasan beragama di Indonesia,” tandas Yasonna.

Yasonna menegaskan Indonesia adalah negara hukum yang dijiwai Pancasila sehingga jaminan perlindungan bukan hanya diberikan kepada orang tetapi juga agama itu sendiri. Selain itu, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia tidak menerapkan Hukum Islam (Syariah Law) secara nasional karena masih mewarisi civil law dari Belanda, serta dalam beberapa hal menerapkan hukum adat dan hukum agama untuk penduduk beragama Islam.

“Sebagai negara yang menganut prinsip supremasi hukum, penyelesaian permasalahan kehidupan beragama dari kelompok tertentu harus diselesaikan oleh negara dengan cara-cara melaksanakan hukum yang benar, bukan dengan tindakan main hakim sendiri seperti dilakukan organisasi-organisasi tertentu pada masa lalu. Jika ada masalah, laporkan, bukan mengambil tindakan sendiri,” kata menkumham.

Yasonna mengatakan jaminan kebebasan beragama di Indonesia telah diatur lewat perundang-undangan nasional antara lain Pasal 28E, 28J, dan 29 UUD 1945 dan Pasal 22 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Menurutnya, umat beragama harus mengedepankan apresiasi terhadap keragaman/pluralitas agar terwujud rasa kemanusiaan yang beradab (sila ke-2) dan memperlakukan manusia dengan adil (sila ke-5), dan kesatuan Indonesia (sila ke-3).

“Tidak manusiawi jika ada suatu kekerasan atau kejahatan yang bertujuan memaksakan agama kepada orang, karena namanya agama adalah sebuah keyakinan yang dipercayai oleh masing-masing orang,” lanjutnya.

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, dan Staf Ahli Bidang Sosial Kemenkumham RI, Mien Usihen, memberikan kata sambutan.

Agama sebagai Perwujudan HAM

Sementara itu, Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar, mengatakan setiap orang harus menyadari bahwa agama merupakan perwujudan HAM yang paling luhur. Oleh karena itu, tidak boleh ada paksaan di dalam agama, apalagi tindakan kekerasan. “Apabila ada penafsiran agama yang mengahalalkan segala bentuk kekerasan harus ditolak, karena agama terutama Islam yang saya kenal, tidak akan pernah memberikan toleransi pada kekerasan itu sendiri,” kata Nasaruddin.

Dalam konteks relasi negara dan agama, Nasaruddin berpendapat negara tidak boleh seenaknya melakukan intervensi berlebihan, sebaliknya agama juga tidak boleh melanggar aturan bernegara yang telah disepakati. “Inilah fungsi Pancasila yang mengatur jarak sosial antara wilayah agama dan wilayah negara,” katanya.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI, Prof Siti Ruhaini Dzuhayatin, mengatakan Indonesia sesungguhnya mengalami dua kali Proklamasi. Proklamasi pertama pada 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda) adalah titik awal yang mentranformasi jati diri bangsa Indonesia dari komunalitas etnoreligius (etno-religious communality) menjadi masyarakat bangsa yang modern (modern nation society) dengan nilai-nilai keterbukaan, inklusif, dan egaliter. Cita-cita itulah kemudian dibawa saat pendirian negara Indonesia pada Proklamasi kedua, 17 Agustus 1945.

“Dengan kesepakatan modern state, maka negara diciptakan berbasis supremasi hukum agar tetap dapat memproteksi secara seimbang kebebasan berekspresi termasuk agama,” kata Ruhaini.

Sekretaris Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Slamet Santoso, mengatakan pentingya masyarakat memiliki budaya digital yang sehat, termasuk dalam hal kebebasan meyakini dan mengekspresikan agama secara positif, serta kewajiban menghormati agama orang lain.

Narsumber internasional yaitu Managing Co-Chair, International Religious Freedom (IRF) Roundtable, Greg Mitchell, dan Vice President of Global Operations, Institute for Global Engagement (IGE), James Chen, memaparkan pengalaman mempromosikan kebebasan beragama di sejumlah negara.

IRF telah melakukan pendekatan kerja sama lintas agama selama 12 tahun dengan mengedepankan pelibatan kooperatif dan membangun ruang diskusi informal yang dipimpin oleh masyarakat sipil. Sedangkan, IGE yang berbasis di Washington DC sejak tahun 2000, aktif melakukan program untuk menumbuhkan rasa hormat kepada keragaman dan perbedaan di Vietnam, Uzbekistan, Myanmar, Laos, dan Tiongkok.

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan kebebasan beragama dalam kerangka rule of law artinya di satu sisi kebebasan beragama adalah hak yang dilindungi oleh Konstitusi Indonesia, UUD 1945, dan berbagai instrumen hukum internasional. Di sisi lain, kebebasan beragama adalah tanggung jawab pemerintah bersama seluruh warga negara yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab dan hormat terhadap yang lain, terutama yang berbeda agama dari kita. [IL/Chr]

Anda bisa menyaksikan tayangan Konferensi Internasional hari pertama bertema “Kebebasan Beragama dan Supremasi Hukum” pada tautan di bawah ini:

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena