info@leimena.org    +62 811 1088 854

Para pembicara webinar internasional dalam rangka Hari Internasional untuk Melawan Ujaran Kebencian yang diadakan Institut Leimena dan Maarif Institute.

“Literasi Keagamaan Lintas Budaya merupakan praktik sangat penting dalam mempromosikan pemahaman, toleransi, dan kerja sama antar budaya. Melalui pemahaman lebih dalam tentang kepercayaan dan praktik keagamaan berbeda-beda, kita dapat membangun jembatan yang kokoh antar komunitas dan menciptakan dunia lebih harmonis.”

(Menko PMK, Prof. Dr. Muhadjir Effendy)

IL News 009/2023

Jakarta, IL News – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, menekankan pentingnya literasi keagamaan lintas budaya di tengah tantangan dunia menghadapi ujaran kebencian yang semakin merajalela dan sulit dikendalikan. Situasi dunia yang semakin terhubung secara digital juga menyebabkan penyebaran pesan kebencian menjadi sangat mudah sehingga bisa merusak kerukunan sosial.

“Saat ini dunia dihadapkan tantangan besar dalam bentuk ujaran kebencian yang semakin merajalela dan semakin sulit dikendalikan,” kata Muhadjir selaku pembicara kunci dalam webinar internasional yang diadakan Institut Leimena dan Maarif Institute pada Selasa (27/6/2023) malam.

Webinar ini digelar dalam rangka memperingati Hari Internasional untuk Melawan Ujaran Kebencian yang jatuh setiap tanggal 18 Juni sesuai ketetapan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Menko PMK menyatakan ujaran kebencian tidak hanya mempengaruhi stabilitas sosial, tapi juga menimbulkan kerusakan moral, mental, serta jiwa secara sistematis dan berkelanjutan. Pada gilirannya juga menciptakan perpecahan dan konflik di berbagai belahan dunia.

Dia juga menyebut pentingnya penguatan literasi digital dan penggunaan teknologi komunikasi dengan bertanggung jawab untuk memerangi fenomena sangat berbahaya berupa ujaran kebencian secara online.

“Literasi Keagamaan Lintas Budaya merupakan praktik sangat penting dalam mempromosikan pemahaman, toleransi, dan kerja sama antar budaya. Melalui pemahaman lebih dalam tentang kepercayaan dan praktik keagamaan berbeda-beda, kita dapat membangun jembatan yang kokoh antar komunitas dan menciptakan dunia lebih harmonis,” kata Muhadjir.

Jumlah pengguna internet di Indonesia yang terus meningkat menjadi tantangan dalam upaya untuk mengatasi informasi bermuatan hoaks dan ujaran kebencian. (Sumber: paparan Menko PMK)

Mantan Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Alwi Shihab, mengatakan pandangan agama yang berhaluan keras dan kaku telah menyebabkan derasnya arus pemikiran radikal yang mengarah bukan saja kepada intoleransi tapi juga terorisme. Menurutnya, pendekatan efektif untuk mencegah ujaran kebencian adalah memberikan edukasi melalui ajaran agama yang benar.

Alwi mengungkapkan keprihatinan atas fakta dari hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2018 menunjukan sebanyak 57% guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain.

“Data ini cukup mencemaskan mengingat guru berada di posisi strategis dan sangat penting dalam pembentukan nilai, pandangan serta perilaku siswa dan mahasiswa yang akan menjadi pemimpin bangsa di masa depan,” ujar Alwi yang juga Senior Fellow Institut Leimena.

Berangkat dari realita tersebut, ujar Alwi, Institut Leimena telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 17 institusi termasuk Maarif Institute, Majelis Pendidikan Dasar, Menengah, dan Pendidikan Non-Formal Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Masjid Istiqlal, dan kalangan universitas untuk mengadakan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang telah meluluskan lebih dari 5.000 guru sekolah/madrasah/pesantren sejak diadakan dua tahun lalu.

Associate Professor di Teachers College, Columbia University Dr. Amra Sabic-El-Rayess, menulis pengalamannya sebagai penyintas konflik dan kekerasan dari Perang Bosnia dalam buku “The Cat I Never Named: A True Story of Love, War, and Survival”.

Membangun Narasi

Associate Professor di Teachers College, Columbia University, Dr. Amra Sabic-El-Rayess, memimpin program Reimagine Resilience yang ditujukan untuk membangun ketahanan (resilience) melalui pembangunan narasi (storytelling). Dalam mencegah kekerasan yang ditargetkan, Amra menyebut pentingnya mengurai jalur-jalur menuju radikalisasi dan menyadari bagaimana seorang individu bisa teradikalisasi.

Amra mengembangkan teori educational displacement yang mengungkapkan bahwa radikalisasi biasanya dipicu dalam ruang-ruang sosial khususnya sekolah. Kondisi itu disebabkan minimnya pertukaran cerita atau dialog.

“Pada akhirnya menumbuhkan rasa tidak terhubung, keterasingan. Mereka merasa tidak didengarkan atau tidak dilihat oleh para pendidik, tidak merasa bagian suatu komunitas sehingga mereka mencari sumber-sumber alternatif. Di sinilah peran dari tenaga radikalisasi,” kata Amra.

Amra berupaya mengembangkan respons yang tepat dalam mengatasi keterasingan. Dia berangkat dari pengalaman pribadinya sebagai seorang Muslim Bosnia yang melarikan diri dari Perang Bosnia. Kisahnya untuk bertahan hidup selama 1.200 hari di bawah gempuran militer Serbia, tanpa akses dunia luar termasuk listrik dan makanan, dituliskannya dalam buku berjudul “The Cat I Never Named: A True Story of Love, War, and Survival”.

“Cerita ini menjadi cara saya mendidik generasi muda. Bagaimana saya memiliki ketahanan. Bahkan ketika dihadapkan dengan kebencian, kami membalas dengan rasa kasih sayang dan membangun komunitas yang tidak membalas kebencian,” lanjut Amra.

Profil Pelajar Pancasila merupakan ciri karakter dan kompetensi yang diharapkan bisa diraih peserta didik Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila.

Staf Ahli Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Bidang Hubungan Kelembagaan dan Masyarakat, Muhammad Adlin Sila, mengatakan pemerintah lewat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memperkenalkan Profil Pelajar Pancasila sebagai implementasi Kurikulum Merdeka.

“Bagaimana mencetak peserta didik selain dia beragama tentunya juga harus memiliki karakter yang berkebhinekaan global,” katanya.

Adlin mengatakan profil pelajar Pancasila dikembangkan baik secara pedagogik maupun aktivitas untuk mendorong perjumpaan lintas agama. “Setiap kegiatan didorong agar terciptanya perjumpaan yang positif,” lanjutnya.

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan hubungan antar agama sejak awal menjadi dasar pertimbangan penting untuk mendorong upaya bersama melawan ujaran kebencian.

Menurutnya, Resolusi PBB yang menjadi dasar penetapan Hari Internasional Melawan Ujaran Kebencian seharusnya menyadarkan bahwa ujaran kebencian tidak boleh dianggap remeh bahkan telah menjadi masalah global.

“Ibaratnya, ujaran kebencian itu seperti api yang harus secepatnya dipadamkan sebelum menjalar lebih jauh,” kata Matius.

Direktur Program Maarif Institute, Moh Shofan, mengatakan ujaran kebencian bisa berbentuk perundungan, hasutan online, atau kebencian terhadap ideologi-ideologi tertentu karena dianggap tidak sejalan dengan keyakinannya.

“Ini tentu mempunyai dampak luar biasa karena ujaran kebencian bisa memecah belah umat, merusak bangsa, bisa memporakporandakan persatuan Indonesia, antar agama, etnis, suku, bahasa, dan lainnya,” ujar Shofan.

Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, menyampaikan masyarakat saat ini dibanjiri informasi yang sangat masif. Itulah sebabnya, penting untuk berhati-hati dengan memiliki literasi digital mengenai mana informasi yang benar atu hoax termasuk ujaran kebencian. [IL/Chr]

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena

@institutleimena

Warganegara.org

@institutleimena

Warganegara.org

info@leimena.org

+62 811 1088 854