info@leimena.org    +62 811 1088 854

Civis 001/2017

Berbagai aksi belakangan ini yang nyata-nyata berusaha mengganti Pancasila, mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia, hendak mengganti kedaulatan rakyat yang sungguh sudah kebablasan.

Indoktrinasi ajaran radikal dilakukan secara sistematis dan berlangsung lama, sudah merasuk jauh ke tengah masyarakat. Demikian pula latihan ala militer, bom Bali, teror Poso, pawai akbar mendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Bundaran HI (2014), bom Marriott, bom Sarinah, bom Kampung Melayu, dan lain-lain mengisi daftar panjang ancaman yang makin serius atas bangsa dan negara yang berdasar Pancasila dan UUD 1945.

Ada yang menganggap berbagai aksi itu adalah konsekuensi kebebasan berpendapat yang dijamin UUD 1945 setelah amandmen, sebagai akibat yang tidak diharapkan dari demokrasi. Salah kaprah ini dan pembiaran selama belasan tahun sejakreformasi telah memberi ruang tumbuh dan ruang gerak bagi berbagai paham yang menentang Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan wawasan kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika. Selanjutnya, ada yang berkomentar: lihatlah, demokrasi memang tidak bisa mengatasi gangguang seperti itu, tidak cocok, harus dicari cara lain, dan selanjutnya.

 

TUGAS BESAR MENUNGGU

 

Istilah demokrasi memang sering diartikan sebagai kebebasan berbuat apa saja. Namun, istilah demokrasi juga didaku berbagai pihak dalam arti dan maksud, seperti demokrasi mayoritarian, demokrasi liberal, demokrasi konstitusional bahkan hingga demokrasi rakyat seperti yang dikenal di negara sosialis kiri. Oleh karena itu, perlu jelas terlebih dahulu demokrasi yang dimaksud UUD 1945.

Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Ayat itu dengan tegas menautkan dalam satu tarikan napas kedaulatan rakyat (demokrasi) dengan konstitusi. Dengan demikiran, demokrasi dan hukum adalah dua muka dari satu koin yang sama, yang biasa disebut sebagai demokrasi konstitusional atau nomokrasi.

Dalam kerangka ini, demokrasi diatur oleh dan ditundukkan kepada hukum tertinggi dalam negara, yaitu konstitusi (Walter F Murphy, 2007). Tegas sekali bahwa UUD 1945 adalah hukum tertinggi, di mana semua peraturan perundang-undangan dan semua kebijakan bernegara secara hierarkis harus tegak lurus terhadap dan tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan dengan UUD tersebut (Han Kelsen, 1967).

UUD 1945 memuat Pembukaan yang menyatakan: pemerintahan adalah untuk melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah dan untuk memajukan kesejahteraan umum, membentuk susunan negara yang berkedaulatan rakyat, menegaskan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, serta pasal-pasal. Pasal-pasal adalah pengorganisasian nilai-nilai dasar Pembukaan itu ke dalam susunan bernegara, antara lain pasal-pasal menetapkan: Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, negara hukum, menghormati HAM, peradilan yang merdeka, sirkulasi kekuaasaan secara demokratis dan berkala, serta berbagai struktur dan prosedur bernegara.

Keseluruhan ketentuan UUD 1945 menjadi bingkai yang membentuk ruang yang luas di mana kehidupan berbangsa dna bernegara berlangsung. Dengan demikiran, hidup bernegara dan berbangsa kita tidak berlangsung dalam ruang hampa tanpa nilai, tetapi mengacu pada UUD 1945. Semua pihak, pemerintah dan rakyat, harus bahu-membahu menegakkan prinsip itu.

UU dan segala peraturannya membentuk acuan tata kerja yang seharusnya, memelihara ketertiban, mencari penyelesaian permasalahan, dan menjaga hak-hak asasi manusia agar UUD dapat ditegakkan sebaik-baiknya, bukan untuk mempersulit atau menghalangi penegakkan UUD.

DPR, oleh Pasal 20 (1) UUD 1945, diberi kewenangan dan tugas untuk memegang kekuasaan membentuk UU, Pasal 20 (2) menentukan bahwa untuk dapat jadi UU, setiap RUU memerlukan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Karena itu, baik DPR maupun Presiden secara sendiri-sendiri dan bersama-sama bertanggung jawab agar tiap UU harus sesuai dengan, bertunduk kepada, dan untuk melaksanakan perintah UUD 1945.

Kini disadari bahwa berbagai UU dan kebijakan yang ada berpotensi melemahkan kemampuan negara untuk menegakkan UUD 1945. Selain itu, berbagai UU dan kebijakan yang diperlukan untuk mengakkan UUD belum ada, belum dibuat. Itulah tugas besar bangsa ini sekarang: meluruskan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tak sesuai dan membentuk peraturan perundangan yang diperlukan untuk menjalankan perintah UUD 1945. Misalnya, UU No 17/2013 tentang Organisasi kemasyarakatan (Ormas) tidak mewajibkan ormas agar menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, sementara sanksi pembubarannya tidak mudah dilaksanakan.

Kita juga belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mumpuni, yang dapat secara dini mencegah dan jika diperlukan mengerahkan segenap kemampuan negara, termasuk TNI, untuk menangkal dan melumpuhkan terorisme. UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak cukup kuat untuk mencegah rencana dan untuk menindak terorisme.

(Artikel telah dimuat dalam Kolom Opini, Harian Kompas pada tanggal Selasa 6 Juni 2017 dengan judul “Menegakkan Konstitusi, Konsolidasi Demokrasi”).

 

Sumber foto: huffingtonpost.com

Penulis

Drs. Jakob Tobing, MPA. President Institut Leimena; Program Doctorate – Van Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden; Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004 – 2008); Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945 (1999-2002); Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU, 1999-2002); Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI, 1999); Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu, 1992); Anggota Panwaslu (1987); Anggota DPR/MPR (1968 – 1997, 1999 – 2004).

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena