✉ info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis 002/2013

Komplikasi Reformasi Dua Jalur

 

Tuntutan reformasi 1998 pada akhirnya diserap oleh MPR, lembaga yang menurut konstitusi yang berlaku berwenang melakukan reformasi sistem ketatanegaraan. Selanjutnya di MPR reformasi telah berproses dalam dua jalur. Yang pertama jalur amendemen UUD 1945, yang dipersiapkan oleh Panitia Ad-Hoc (PAH) Amendemen UUD 1945. Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan dengan kesepakatan awal untuk mempertahankan Pembukaan, bentuk negara kesatuan, dan sistim presidentil. Selanjutnya dilakukan pemahaman ulang atas pengejawantahan kedaulatan rakyat, mengubah MPR dari lembaga tertinggi negara pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat menjadi lembaga negara dengan kewenangan tertentu.

Ditegaskan bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD (demokrasi konstitusional). Indonesia adalah negara hukum (rule of law), menghormati hak asasi manusia, membangun mekanisme checks and balances, menegaskan kekuasaan kehakiman yang merdeka, pemilihan presiden langsung serta pemilu yang demokratis dan periodikal.

Yang kedua jalur reformasi melalui berbagai ketetapan MPR yang dipersiapkan PAH yang lain. Jalur ini bekerja dalam upaya untuk segera mengatasi berbagai gejolak politik, menegakkan demokrasi, keadilan dan kepastian hukum, dan bekerja atas dasar bahwa MPR adalah lembaga tertinggi negara.

Jalur pertama berlangsung empat tahapan. Berbagai gagasan perubahan terhadap UUD 1945 dibahas semenjak SU MPR 1999 dan diselesaikan bertahap pada SU MPR 1999, Sidang Tahunan (ST) 2000, ST 2001, sebelum akhirnya semua gagasan dituntaskan pada ST MPR 2002. Jalur ini menghasilkan UUD 1945 yang telah diamendemen. Perubahan atas UUD 1945 dilakukan dalam satu proses berkelanjutan yang terdiri atas empat tahap. MPR tidak melakukan 4 kali perubahan atas UUD 1945.

Jalur kedua juga menghasilkan berbagai ketetapan MPR tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, antara lain TAP III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang- undangan, TAP IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, TAP VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, TAP VII tentang Peran TNI dan Polri. Sebelumnya, Sidang Istimewa MPR November 1998 juga menghasilkan TAP XV/MPR/1998 tentang Otonomi Daerah.

 

Tidak Sinkron

 

Tidak semua materi yang dihasilkan oleh dua jalur reformasi MPR itu sinkron satu dengan yang lain. Akhirnya, ST MPR 2003 dengan TAP I/MPR/2003 menyatakan berbagai ketetapan MPR yang tidak sesuai dengan UUD 1945 yang telah diamendemen tidak berlaku lagi pada saat UU yang terkait terbentuk. Namun, perbedaan substansi antara UUD 1945 setelah amendemen dengan berbagai ketetapan MPR ada yang masih menimbulkan komplikasi pada praktek ketatanegaraan sampai sekarang.

Pada 2001, Pasal 24C UUD 1945 menyatakan kewenangan judicial review dilakukan oleh sebuah lembaga judisil, MK. Sebelumnya, MPR menetapkan, kewenangan uji konstitusionalitas ada pada MPR sebagai lembaga tertinggi yang berwenang membuat UUD (TAP III/ MPR/2000). Dengan terbentuknya UU No. 24 tahun 2003 tentang MK, maka sesuai TAP I/ MPR/2003, TAP III/MPR/2000 dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian pengujian UU tidak lagi dilakukan oleh lembaga politik (MPR) tetapi oleh MK. Sampai sekarang tidak (belum) ada komplikasi mengenai hal ini.

Melalui amendemen tahun 2000, Pasal 30 (2) UUD 1945 menegaskan usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistim pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Selanjutnya Pasal 30 (3), (4), dan (5) UUD 1945 membedakan tugas antara TNI dengan Polri dan memerintahkan pengaturan hubungan kewenangan dalam melaksanakan tugas.

MPR pada tahun yang sama menetapkan TAP VI/MPR/2000 yang memisahkan peran dan fungsi, maupun organisasi/kelembagaan TNI dan Polri. Jika ada keterkaitan antara kegiatan pertahanan dan keamanan, TNI dan Polri harus bekerjasama. Selanjutnya TAP VII/ MPR/2000 mengatur peran TNI dan Polri secara terpisah. Namun, TAP VI dan TAP VII itu tidak dilandaskan kepada sishankamrata.

TAP VII/MPR/2000 menegaskan pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dan Kapolri harus dengan persetujuan DPR. Pasal 4 UUD 1945 menyatakan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan Pasal 10 UUD 1945 menyatakan Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas TNI. Sehingga, jika dalam keadaan terpaksa atau darurat Presiden harus memberhentikan Panglima TNI atau Kapolri, yang notabene adalah bawahannya, Presiden harus meminta persetujuan DPR. Bisa diartikan, Panglima TNI dan Kapolri mempunyai dua atasan, Presiden dan DPR. TAP ini sudah tidak berlaku dengan diterbitkannya UU terkait, tetapi UU No. 2/2002 tentang Polri dan UU No. 34/2004 tentang TNI masih mengacu kepada TAP VI dan VII, bukan UUD.

Pasal 18 (1) UUD 1945 menegaskan hubungan hierarkis antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dan juga menegaskan baik provinsi, maupun kabupaten/kota memiliki otonomi dan tugas pembantuan diatur UU. Pasal 18A dan 18B menyatakan kekhususan, keragaman dan sifat istimewa diperhatikan, diakui dan dihormati dalam kerangka NKRI. Pasal 18 (4) menyatakan, pilkada dilakukan secara demokratis.

TAP XV/MPR/1998 menyatakan, penyelenggaraan otda tingkat I dan II dengan memperhatikan keadilan dan perimbangan keuangan, berdasar pada asas demokrasi dengan memperhatikan keanekaragaman daerah. TAP IV/MPR/2000 merekomendasikan pemberian otonomi bertingkat kepada provinsi, kabupaten/kota, desa/nagari/marga. Namun TAP XV/1998 dan TAP IV/2000 tidak menegaskan hubungan hierarkis antara Pemerintah Pusat dengan Provinsi dan Kabupaten/Kota.

UU No. 32/2004 menguraikan lebih lanjut tentang asas demokrasi dalam otda tetapi lebih mengikuti TAP MPR dan kurang kokoh membangun hubungan hierarkis pemerintahan dan kurang memperhatikan keanekaragaman daerah. Pilkada oleh UUD dinyatakan harus dilakukan secara demokratis dan harus memperhatikan keanekaragaman daerah. Namun, UU

32/2004 menyeragamkannya dengan pilkada langsung. Pemerintahan provinsi tidak diberi kewenangan, misalnya untuk mengendalikan kegiatan daerah tingkat II-nya.

Berbagai komplikasi dari dua jalur reformasi sudah terjadi dan telah cukup mengganggu perjalanan bangsa dan negara. Doktrin sishankamrata sebagai landasan pertahanan dan keamanan Negara harus ditegakkan. Sesuai dengan itu pembedaan tugas dan pemisahan organisasi TNI dan Polri harus ditata kembali. Pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dan Kapolri tidak perlu dengan persetujuan DPR, cukup meminta pertimbangan DPR.

Pelaksanaan otda harus diluruskan kembali sesuai dengan semangat memberdayakan daerah untuk mengembangkan potensi dan membangun kesejahteraan rakyat dan sekaligus dalam hubungan Pusat dan Daerah yang kokoh dalam sebuah negara kesatuan. Pilkada langsung harus ditinjau dan jangan diseragamkan (contoh kasus DIY). Sekarang, setelah lebih satu dasawarsa reformasi, waktunya untuk melakukan konsolidasi reformasi, memperbaiki berbagai kelemahan yang ada dan untuk meneruskan reformasi pada tataran yang lebih teknis-instrumental.

 

Artikel ini telah dimuat dalam rublik Opini, Harian Suara Pembaruan pada tanggal 4 November 2013, dengan judul “Komplikasi Reformasi Dua Jalur”

 

Penulis

Drs. Jakob Tobing, MPA. President Institut Leimena; Program Doctorate – Van Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden; Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004 – 2008); Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945 (1999-2002); Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU, 1999-2002); Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI, 1999); Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu, 1992); Anggota Panwaslu (1987); Anggota DPR/MPR (1968 – 1997, 1999 – 2004).

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena

Loading...