Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menekankan kembali peran penting Pancasila dalam penegakkan hukum di Indonesia, yang perlu dipahami dalam konteks kemajemukan nilai budaya Indonesia melalui teori prismatika. Demikian disampaikannya ketika membuka Temu Wicara Peningkatan Pemahaman Berkonstitusi dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dengan Komunitas Pendidikan Tinggi Kristen di Hotel Gran Melia, tanggal 25-27 Maret 2011, yang diadakan atas kerjasama Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK dengan Institut Leimena. 180 peserta hadir dari 31 propinsi di Indonesia, terdiri dari pejabat rektorat dan dosen perguruan tinggi Kristen dan sekolah tinggi teologia, serta organisasi kemahasiswaan Kristen. Acara ini dibiayai sepenuhnya oleh MK untuk sosialisasi Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi.
Renungan dalam kebaktian pembuka dibawakan oleh Pdt. Kumala Setiabrata (Bendahara Umum Persekutuan Gereja-Gereja Di Indonesia). Kemudian dalam sambutannya, Presiden Institut Leimena (IL) Jakob Tobing menegaskan bahwa setelah amandemen empat kali (1999-2002), “jiwa dan semangat UUD 45 itu tetap, karena Pembukaan UUD 45 yang memuat nilai-nilai dasar Pancasila dan tujuan kita bernegara tetap dipertahankan.” Amandemen justru menyesuaikan isi pasal dan ayat UUD 45 dengan nilai-nilai Pembukaan UUD 45 tersebut. Tapi hasil amandemen ini akan sia-sia apabila masyarakat tidak secara aktif memahami dan menerapkannya. Oleh karena itu, usaha sosialisasi yang dilakukan Mahkamah Konstitusi ini sangat dihargai dan perlu didukung masyarakat luas. Setelah itu, dalam sesi “Hukum Progresif dan Keadilan Substantif”, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki mengingatkan bahwa “hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Hukum itu tidak untuk dirinya sendiri melainkan sesuatu yang lebih luas yaitu harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemanusiaan yang mulia.” Kemudian Hakim Konstitusi Harjono menjelaskan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia setelah perubahan UUD 45, misalnya kedaulatan rakyat yang tidak lagi “dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Keesokan harinya, sebagai Ketua PAH I BP MPR yang melakukan Amandemen UUD 45 (1999-2004), Jakob Tobing menguraikan bagaimana perubahan UUD 45 sebagai upaya memantapkan dasar dan falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tiga sesi berikutnya membahas kewenangan MK dalam pembubaran partai politik (oleh pakar hukum tata negara Dr. Ali Safaat), dalam menguji UU terhadap UUD (oleh mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan), dan dalam mengadili sengketa kewenangan lembaga negara serta pemakzulan Presiden (oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva). Malam harinya, Maruarar Siahaan mengajak peserta memikirkan peranserta dalam memberantas korupsi. Institut Leimena juga memperkenalkan program “Diskusi Warga”, sebagai bentuk tindak lanjut yang dapat dilakukan peserta untuk memperluas sosialisasi Konstitusi serta belajar menerapkan prinsip-prinsipnya dalam komunitasnya masing-masing.
MK juga berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum, yang mana dijelaskan oleh Hakim Konstitusi Akil Mochtar di hari terakhir temu wicara ini. Komitmen MK untuk mendekatkan diri ke publik dan untuk menuju “Court Excellence” ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar dalam sesi terakhir temu wicara ini. Untuk itu, Direktur Eksekutif IL Matius Ho mengajak seluruh peserta untuk mendukung komitmen MK ini dengan ikut mendorong pemahaman Konstitusi di masyarakat dengan menerapkan hasil temu wicara ini dalam komunitas lokal masing-masing. Temu wicara ini ditutup secara resmi oleh Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar. Pdt. Nus Reimas (Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia) memberikan renungan dalam kebaktian penutup.
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena