Civis Vol. 2, No. 1, Feb 2010
Bermula dari pengamatan Berger dan Neuhaus terhadap dampak modernisasi bagi masyarakat Amerika, kemudian lahirlah tesis bahwa modernisasi telah melahirkan dikotomi antara kehidupan publik dan privat. Di dalam kehidupan yang disebut kehidupan publik itu terdapat institusi terpenting yang mengatur masyarakat modern yaitu negara itu sendiri. Terdapat pula konglomerasi ekonomi, tenaga kerja yang besar, dan birokrasi yang terus berkembang mengatur berbagai sektor masyarakat yang sangat luas. Semua itu disebut megastruktur (megastructure).
Sementara itu, ada satu fenomena yang disebut kehidupan privat, suatu “cagar” yang dibiarkan begitu saja oleh megastruktur itu, tempat di mana para individu menjalani berbagai aktivitasnya yang membingungkan dengan hanya didukung oleh institusi-institusi yang sangat lemah. Bagi setiap individu dalam masyarakat modern, hidup adalah migrasi yang berlangsung terus menerus antara suasana publik dan privat itu.
Megastruktur memiliki tipikal mengasingkan, ia tak dapat diharapkan mampu memberi makna dan indentitas keberadaan individu. Hal itu hanya dapat direalisasikan dalam kehidupan privat. Sementara kedua suasana itu, publik dan privat, berinteraksi dalam banyak cara, di kehidupan privat para individu lebih banyak dibiarkan dalam ketidakmenentuan. Di sinilah diperlukan peran institusi penengah (mediating structure) sebagai mediator. Tanpa proses mediasi yang handal secara kelembagaan, tertib politik akan tercabut dari nilai-nilai dan realitas kehidupan individu. Dalam keadaan demikian, tertib politik akan kehilangan legitimasinya karena ia telah kehilangan landasan moralnya. Bila hal itu terjadi maka tertib politik itu akan ditegakkan melulu atas dasar paksaan, bukan atas dasar persetujuan, sehingga demokrasi pun lenyap. Salah satu institusi penengah itu adalah lembaga keagamaan.
Gugatan yang timbul dan tak terjawab oleh tesis Berger dan Neuhaus itu adalah, jika benar lembaga keagamaan “is a primary agent for bearing and transmitting the operative values of society,” bagaimana menjelaskan bahwa di negara seperti Indonesia, di mana lembaga keagamaan bukan hanya turut dipertimbangkan tetapi, dalam banyak hal, justru menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan publik dalam megastruktur yang bernama negara itu (melalui Departemen Agama), fenomena keterasingan makna dan identitas keberadaan individu tetap menjadi problem utama? Bagaimana bisa di negara di mana setiap orang, untuk membuktikan “keabsahan keanggotaannya” sebagai bagian dari publik, bahkan harus selalu “membawa Tuhan kemana-mana” (sebagaimana tercantum dalam KTP-nya), persoalan moralitas di ranah kehidupan privat tak kalah mencemaskan dari individu-individu yang hidup di negara-negara yang so-called kapitalis-sekuler itu?
Jika tergerusnya landasan moral suatu tertib politik menjadi titik tolak keprihatin yang disebabkan oleh tidak berperannya lembaga keagamaan sebagai struktur penengah, padahal menurut Berger dan Neuhaus lembaga keagamaan merupakan “a primary agent for bearing and transmitting the operative values of society,” maka untuk dapat menjalankan peran tersebut lembaga keagamaan itu sendiri harus terlebih dahulu hidup dengan dan sungguh-sungguh mempraktekkan operative values dimaksud. Jika, sebagai contoh, suatu lembaga kegamaan menyatakan bahwa korupsi adalah perbuatan amoral dan bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan umum, masyarakat harus melihat bahwa lembaga keagamaan itu sendiri bersih dari praktik amoral itu. Inilah bagian penting yang luput dari penelaahan kedua penulis.
Saya tiba-tiba teringat cerita tentang Jatila, anak seorang janda miskin dan tak terdidik yang tinggal di suatu dusun terpencil. Tatkala memasuki usia sekolah, Jatila merasa takut karena untuk menuju sekolah ia harus melewati hutan belantara yang lebat. Berkatalah sang ibu, “Mengapa takut, Nak. Jika melewati hutan itu dan engkau merasa takut, panggillah kakak Krishna, maka ia pasti akan datang menemanimu.” (Dalam keyakinan Hindu, Krishna, selain dikisahkan sebagai “manusia biasa”, adalah “personifikasi” Tuhan di dunia (awatara, avatar)).
Jatila menerima nasihat ibunya tanpa pertanyaan. Maka, setiap kali akan berangkat ke dan pulang dari sekolah ia pun memanggil Krishna dan Krishna benar-benar datang menemaninya. Jika teman-teman atau guru-gurunya bertanya, apakah ia tidak merasa takut setiap kali melewati hutan belantara itu, ia senantiasa menjawab jujur, “Tidak. Karena aku selalu ditemani oleh Kakak Krishna.” Teman-temannya, bahkan juga guru-gurunya, menganggap dia cuma mengkhayal: anak ini pasti berbohong, bukankah Krishna hanya ada dalam cerita sekian abad yang lalu?
Suatu ketika, untuk keperluan suatu upacara, sekolah menugasi semua murid agar membawa sekaleng susu. Jatila merasa sedih, sebab ia tahu sekaleng susu terlalu mewah untuk ukuran keseharian hidupnya yang sekedar untuk makan pun tak selalu tergenapi. Ibunya tak mungkin mampu menyediakan keperluan itu. Namun, bagaimanapun, ia tetap harus menceriterakan hal itu. Mendengar cerita dan kesedihan anaknya, sembari mengusap lembut kepala si anak, ibu yang sangat bersahaja namun bijak ini pun berkata, “Nak, janganlah engkau bersedih, mintalah pertolongan kakak Krishna.” Jatila pun melaksanakan nasihat ibunya sepenuh hati. Benar, Krishna datang dan memberinya sekaleng susu.
Sesampainya di sekolah, guru-gurunya – yang tahu persis keadaan diri dan keluarganya – bertanya darimana ia mendapatkan susu itu. Jatila pun bercerita apa adanya. Dan, dapat diduga, tak ada yang percaya. Bahkan, beberapa di antara mereka menuduhnya pencuri. Ini membuat Jatila sedih, juga marah, namun tak berdaya. Satu-satunya cara untuk membuktikan kebenaran ceriteranya hanyalah dengan mengajak guru-gurunya ke hutan belantara itu. Maka berangkatlah mereka ke sana. Sesampainya di tempat di mana biasanya Jatila bertemu dengan Krishna, Jatila pun memanggil-manggil Krishna. Sayang, meski telah dipanggil berkali-kali, yang dipanggil tak kunjung datang. Ini membuat guru-guru itu makin yakin kalau selama ini Jatila telah membual dan susu yang berhasil dibawanya ke sekolah itu adalah hasil curian. Jatila pun jadi lemas dan hanya bisa menangis, “Kakak Krishna, mengapa engkau tidak mau datang. Mengapa kakak membiarkan mereka menuduhku pembohong dan pencuri,” keluhnya sambil terisak. Manakala guru-gurunya, sambil mencibir, bersiap-siap membalikkan badan hendak meninggalkan Jatila yang putus asa, tiba-tiba terdengar suara, “Adikku Jatila, janganlah bersedih. Maafkan kakak tak bisa datang menemui guru-gurumu. Nanti, jika mereka telah memiliki hati sebersih dan setulus hatimu, pada saat itulah kakak akan datang menemui mereka.”
Fungsi lembaga keagamaan adalah bagaimana menjadi sosok Ibu, bukan sekadar sebagai sosok guru – dalam cerita kiasan di atas. Sehingga, dalam konteks Indonesia, masalah utama yang dihadapi bukanlah bagaimana lembaga keagamaan diberi peran sebagai struktur penengah untuk menjembatani kehidupan publik dengan kehidupan privat tetapi bagaimana menjadikan lembaga-lembaga keagamaan itu mampu membuat umatnya merasakan agama sebagai kebutuhan, bukan (sekadar) keperluan, sehingga terjelma dalam prilaku nyata kehidupan sehari-hari. Individu-individu yang merasakan agama sebagai kebutuhan menegaskan keberadaannya sebagai Jatila: menyatunya pikiran, kata-kata, dan perilaku yang tak pernah berbuat khianat kepada nilai-nilai moral yang diajarkan oleh agama.
Mahatma Gandhi pernah mengingatkan, kita harus membedakan pengetahuan seseorang di bidang rohani dari prestasi rohani seseorang. Jangan-jangan di situlah masalahnya: lembaga-lembaga keagamaan kita, selama ini, terlalu sibuk mengisi wilayah kognitif umatnya, sehingga agama (sebagai sumber utama operative values) lebih banyak “dihadirkan” sebagai discourse di ruang-ruang publik, bukan sebagai acuan pola pikir, ucap, dan laku yang menginternal secara individual dalam kehidupan privat umatnya yang kemudian terpancar hingga ke ruang publik.**
Penulis
I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. adalah Pengajar Hukum Internasional Publik pada Fakultas Hukum Universitas Udayana (Bali), Hakim Konstitusi RI 2003-2008.