info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 2, No. 1, Feb 2010


Sebelum lebih lanjut membincangkan bagaimana menggagas politik Indonesia berdasarkan Pancasila, beberapa pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah:  ”Masihkah kita berkomitmen pada NKRI? Bagaimana pandangan dan pemaknaan kita terhadap Pancasila yang disepakati sebagai landasan NKRI? Mengapa politisasi agama membahayakan masa depan NKRI? Lalu seperti apa wujud politik Indonesia berdasarkan Pancasila?

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga yang cukup kompeten baru-baru ini (2008) menyimpulkan temuan yang bagi saya sangat menyejukkan. Temuan itu menyebutkan, 70% masyarakat Indonesia memandang Pancasila sebagai rumusan final ideologi negara, dan mereka tidak setuju pada upaya-upaya pendirian negara Islam atau formalisasi syariah.

Penelitian sebelumnya dalam bentuk jajak pendapat dilakukan oleh Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Makassar (2001) tentang Agenda Permasalahan dan Persiapan Pemberlakuan Syariat Islam di Sulawesi Selatan memperlihatkan temuan yang signifikan. Temuan itu, antara lain menjelaskan, agenda paling mendesak untuk ditangani berkaitan dengan rencana pemberlakuan syariat Islam di Sulsel adalah persoalan pemahaman masyarakat tentang syariat Islam. Karena itu, program utama yang harus dijalankan menurut responden adalah upaya sosialisasi pemahaman syariat Islam. Temuan ini jelas menunjukkan bahwa pemahaman mayoritas umat Islam sendiri masih kabur terhadap konsep syariat Islam atau paling tidak mereka perlu penjelasan lebih rinci tentang apa yang dikehendaki dengan syariat Islam.

Lebih menarik lagi, ternyata tidak sampai setengah dari responden beragama Islam setuju terhadap rencana pemberlakuan syariat Islam di kawasan itu. Selebihnya memperlihatkan sikap ragu-ragu, tidak setuju, dan tidak menjawab. Sementara responden non-Muslim seluruhnya menyatakan sikap tidak setuju atas rencana tersebut. Karena itu, hasil  survey merekomendasikan agar aspirasi tentang rencana pemberlakuan syariat Islam di Sulawesi Selatan ditanggapi dan dipahami secara hati-hati. Hal itu dimaksudkan agar rencana tersebut tidak mengganggu tatanan sosial serta keutuhan berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks ini, hasil penelitian PPIM tahun 2001 mengungkapkan, kultur politik Islam atau orientasi terhadap nilai-nilai Islam dapat dilihat dari dua perspektif, yakni orientasi nilai-nilai politik simbolik Islam dan orientasi atas politik Islam sebagai tuntutan legal spesifik. Menarik untuk dicatat bahwa sejumlah penelitian mengungkapkan mayoritas umat Islam mendukung nilai-nilai politik Islam, tetapi sebaliknya kurang setuju terhadap tuntutan legal spesifik atau tuntutan formalisasi politik Islam.

Meskipun penelitian itu mengungkapkan, mayoritas Muslim Indonesia (58%) menyatakan dukungan mereka terhadap pembentukan pemerintahan Islam di bawah kepemimpinan ulama, bahkan sebagian besar (61%) masyarakat Islam setuju kalau negara mewajibkan pelaksanaan syariat Islam. Akan tetapi, ketika pengertian syariat Islam dielaborasi dalam pengertian yang lebih konkret dan lebih operasional, timbul sejumlah interpretasi dan penafsiran yang sangat beragam, dan seringkali berbeda satu sama lainnya, bahkan tidak jarang saling berkontradiksi.

Suatu fakta yang tidak dapat dibantah bahwa mayoritas umat Islam menghormati Al-Qur`an, Sunah, dan syariat Islam. Tetapi ketika ketiga kata kunci tersebut mulai dijelaskan dalam konsep-konsep yang operasional, muncul pandangan dan sikap yang beragam. Lebih kecil lagi dukungan terhadap gagasan  bahwa pemilu hanya untuk memilih partai Islam. Dukungan yang sama kecilnya dikemukakan terhadap gagasan perlunya penegakan hukum rajam bagi pezina, hukum potong tangan bagi pencuri, penghapusan bunga bank, dan perlunya pengawasan polisi terhadap pelaksanaan salat wajib dan puasa Ramadan. Juga menarik dicatat, hanya segolongan kecil Muslim yang mendukung ide perlunya muhrim bagi perempuan bila bepergian jauh atau larangan bagi perempuan berkhalwat atau berdua-duaan dengan laki-laki bukan muhrimnya. (Informasi lebih jauh mengenai hasil penelitian ini lihat laporan penelitian PPIM yang diadakan pada 16 propinsi di Indonesia)

Pertanyaan yang muncul, mengapa formalisasi syariat dianggap problematik? Sebagai seorang Muslim, penulis yakin dan percaya sepenuhnya bahwa apa yang disyariatkan Allah, sebagai pencipta kepada manusia pasti merupakan tuntunan yang luhur dan ideal sesuai dengan kebutuhan manusia. Persoalannya, apa yang disyariatkan Allah itu selalu bersifat umum sehingga perlu dielaborasi dalam aturan yang bersifat operasional dan spesifik sesuai kebutuhan dan kondisi manusia atau masyarakat yang akan menggunakannya. Dengan ungkapan lain, tuntunan agama dalam bentuk nas-nas Al-Qur`an dan hadis Nabi masih perlu diterjemahkan dan ditafsirkan ke dalam bahasa masyarakat penggunanya.

Di sinilah problematikanya! Disadari atau tidak, setiap terjemahan dan tafsiran terhadap nas-nas Al-Qur’an dan hadis Nabi selalu rentan mengalami bias kepentingan: teologis, politis, ekonomi, sosiologis dan mungkin juga geografis. Hal itu wajar saja karena para musafsir adalah anak zamannya. Mereka sulit melepaskan diri sepenuhnya dari pengaruh situasi dan kondisi sosio-kultural, historis dan politis yang terjadi di sekitarnya. Kelahiran berbagai mazhab fikih, mazhab tasawuf, mazhab teologi, mazhab filsafat dan berbagai aliran politik dalam Islam menjelaskan hal itu dengan sempurna.

Untuk mereduksi kemungkinan bias dalam penafsiran tersebut, ulama usul fiqhi telah menyusun berbagai kaidah fiqhi atau metode istinbath berdasarkan pemahaman terhadap prinsip umum dalam nas Al-Qur’an. Di antaranya kaidah berkaitan dengan muamalah, seperti kaidah al-ashlu fi al-asyya’ al-ibahah (hukum asal dari segala sesuatu adalah kebolehan). Artinya, sepanjang tidak ditemukan dalil melarang atau mengharamkan, maka sesuatu itu hukumnya mubah atau boleh. (Kaedah ini disusun, antara lain berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat berikut: al-Baqarah (2): 29, al-Jasiyah (45):13 dan al-A’raf (7): 32.)

Selain merumuskan kaedah istinbat, sebagian ulama merumuskan tujuan pokok syariat (maqashid al-syariah) di antaranya adalah keadilan dan kemaslahatan manusia. Setiap bentuk istinbat hukum harus mengakomodasikan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan bagi manusia. Sebab, hukum dibangun untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan, sama sekali bukan dutujukan bagi kepentingan Tuhan. Tuhan tidak memerlukan apa pun dari manusia karena Dia adalah Zat yang Maha Kuasa dan Maha sempurna. Kaidah-kaidah istinbat tersebut dirumuskan dalam rangka mewujudkan nilai-nilai Al-Qur’an sebagai petunjuk abadi dalam segala aspek hidup dan kehidupan manusia.

Selain itu, dalam ilmu usul fikhi terdapat pembahasan tentang qath’iy dan zhanniy. Qathi’i sering dimaknai sebagai nas-nas yang pasti, jelas dan tegas maknanya dalam mengemukakan hukum suatu persoalan. Sebaliknya, zhanni, adalah nas-nas yang masih membutuhkan penafsiran dan penjelasan. Para ulama sepakat bahwa persoalan yang belum ditegaskan ketentuan hukumnya dalam nas atau nas yang mengaturnya bersifat zhanniy maka hukumnya dapat berubah sesuai dengan perubahan dan perkenbangan zaman. Selanjutnya, dalam pesoalan-persoalan yang telah ditegaskan hukumnya oleh nas yang bersifat qath’iy, maka umumnya ulama tidak membolehkan perubahan penafsiran untuk disesuaikan dengan tuntutan dan perubahan kondisi.

Akan tetapi, masalahnya menjadi rumit karena para ulama tidak sepakat terhadap nas-nas mana dikategorikan sebagai qath’iy dan zhanniy. Akibatnya, muncul perbedaan pendapat ulama dalam menentukan nas qath’iy dan zhanniy. Suatu nas dinilai qath’iy oleh ulama tertentu, ternyata dinilai zhanniy oleh ulama lainnya, demikian sebaliknya. Hal ini terjadi karena penentuan qath’iy dan zhanniy terhadap sebuah nas merupakan ijtihad ulama, tidak ada jaminan benar secara absolut.

Menarik dicatat bahwa perbedaan ulama dalam menentukan qath’iy dan zhanniy sebuah nas sudah terjadi sejak masa awal Islam. Adalah Umar ibn Khattab, sahabat dan sekaligus Khalifah Rasyidin yang ketiga menunjukkan keberaniannya berijtihad yang hasilnya seringkali menyalahi pendapat mainstream. Berbeda dengan kebanyakan ulama, Umar ibn Khattab berani mengubah ketentuan hukum dari suatu nas (termasuk nas yang dinilai qath’iy sekali pun), jika kondisi atau kemaslahatan masyarakat menghendakinya. Karena itu dimasanya, beliau tidak memberlakukan hukum potong tangan bagi pencuri, pembagian harta rampasan perang, dan penentuan talak tiga dalam perceraian semata-mata atas dasar alasan kemaslahatan publik.

Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa formalisasi Syariat Islam menghendaki ijtihad dalam rangka istinbath hukum. Masalahnya, siapa yang memiliki otoritas dalam ijtihad? Atas dasar apa dan berdasarkan legitimasi apa? Kemudian, dalam aspek apa saja formalisasi syariat tersebut akan diimplementasikan? Apakah juga termasuk dalam pelaksanaan hukum jinayat, seperti pelaksanaan hukum cambuk, rajam, dan qishas? Terakhir, apakah dalam perumusan dan pengambilan keputusan publik itu juga melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, termasuk kaum perempuan? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa sangat bervariasi, tergantung siapa yang menjawab dan untuk kepentingan apa. Oleh karena itu, menjadi sangat problematik jika membakukan syariat Islam ke dalam hukum positif.

Persoalannya kemudian apa yang dimaksudkan dengan syariat?  Belajar dari sejumlah negara yang memberlakukan syariat, seperti Saudi Arabia,Taliban, Maroko, Nigeria terbukti bahwa apa yang mereka klaim sebagai syariah tidak lain adalah arabisme dan hukum pidana. Sementara di beberapa wilayah Indonesia yang akhir-akhir ini menggagas Perda Syariah, membatasi pemaknaan syariat pada hukum pidana, hukum keluarga, dan hukum kesusilaan. Fenomena ini menurut analisis sejumlah pakar merupakan imbas dari politik Wahabisme Internasional yang merambah seluruh dunia Islam, tak terkecuali Indonesia. Monopoli pemaknaan syariat oleh kelompok Wahabi ini membawa kepada pemahaman keislaman yang apologetik, politis, bahkan teroristik. Karena itu ke depan sangat penting upaya-upaya pemaknaan progresif syariat dalam konteks sistem politik modern Indonesia, kalau tidak konsep syariat akan menjadi fosil yang dilupakan orang.

Hal ini perlu karena sebagian besar umat Islam, termasuk di Indonesia  mengidentikkan syariah dengan fikih. Syariat berbeda dengan fikih. Syariat adalah nilai-nilai ideal, sebaliknya fikih hanyalah upaya manusia dalam memahami nilai-nilai ideal tersebut. Yang pertama bersifat sakral sedang yang kedua bersipat relatif dan profan. Syariat memberikan inspirasi bagi lahirnya fikih politik yang lebih kontekstual. Dimensi syariat yang terbuka dan membebaskan sesungguhnya merupakan modal besar untuk merancang bangun perubahan-perubahan yang mendasar bagi terwujudnya keadilan dan kasih sayang dalam sebuah sistem dan tata pemerintahan modern. Diperlukan upaya-upaya serius reinterpretasi dan revitalisasi atas syariat sehingga kompatibel dengan kebutuhan modern.

Kekhawatiran masyarakat, tak terkecuali kalangan Muslim sendiri terhadap upaya-upaya pemberlakuan syariat Islam bukan tanpa alasan. Sebab, data-data historis sejarah Islam menunjukkan bahwa isu syariat Islam seringkali hanya dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh sebagian elite demi mengejar ambisi pribadi atau golongan. Oleh karena itu, ketika Kemal Attaturk tampil sebagai penguasa di wilayah Turki, program prioritasnya adalah menghapus institusi khalifah. Alasannya sederhana saja bahwa selama ini institusi itu kerap kali digunakan untuk menjastifikasi kepentingan politik dari kelompok penguasa dengan dalih agama.

Dalam kondisi seperti itu, agama tidak lagi ditempatkan sebagai sistem penyangga moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, lewat para pemeluknya. Akan tetapi, agama telah digeser dan dipaksa memainkan perannya secara berlebihan dalam urusan negara. Agama kemudian dijadikan legitimasi oleh penguasa untuk mengabsahkan kebijakan-kebijakan yang seringkali malah bertentangan dengan nilai agama. Dalam berpolitik, bendera agama acap kali dikibarkan oleh partai-partai politik untuk sekedar menguras suara pemilih sebanyak-banyaknya. Tentu saja kondisi seperti ini bertentangan dengan idealitas agama karena tidak sesuai dengan nilai dasar yang diperjuangkan agama itu sendiri, yakni mewujudkan masyarakat yang bermoral dalam arti seluas-luasnya.

Karena itu, perjuangan untuk implementasi syariat Islam di Indonesia hendaknya dilakukan dengan mewaspadai gejala-gejala yang dikhawatirkan tadi. Akan lebih baik bila perjuangan tersebut didahului dengan upaya sungguh-sungguh menata kehidupan sosial dan politik umat Islam melalui program-program pemberdayaan yang manfaatnya segera dirasakan secara konkret, seperti pemenuhan kebutuhan vital masyarakat berupa air bersih dan listrik, serta penyediaan fasilitas publik berupa rumah sakit, angkutan umum, dan taman-taman rekreasi. Demikian juga pendidikan gratis dan peningkatan pendapatan ekonomi bagi keluarga tidak mampu sehingga pada gilirannya nanti masyarakat terbebaskan dari musuh-musuh agama yang paling menakutkan dan paling menyesatkan, yaitu ketidakadilan, kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan dan ketertindasan.**

Penulis

Prof. Dr. Siti Musdah Mulia adalah profesor riset bidang Lektur Agama dan Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace).