Ketua MK: Penegakan Hukum Lepas dari Sukmanya
Jakarta, MK Online – Implementasi UUD 1945 merupakan bagian dari penegakan hukum. Dan, penegakan UUD 1945 sekarang ini, sudah terlepas dari sukma hukum itu sendiri, yaitu moral dan keadilan. Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Moh. Mahfud MD, dalam sambutan acara Temu Wicara bertema “Peningkatan Pemahaman Berkonstitusi, dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,” pada Jumat (16/9), di Hotel Lumire, Jakarta. Menurutnya, hukum sekarang ini hanya diberlakukan sebagai pasal-pasal, tidak diberlakukan sebagai kristalisasi dari nilai moral, etika, dan berkeadilan sebuah UUD.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh MK kerja sama dengan Institut Leimena itu dihadiri oleh Sekretaris Jendral MK Janedjri M. Gaffar, Pimpinan Institut Leimena Jakob Tobing, dan dihadiri juga sejumlah Pendeta yang di antaranya Andreas Yewangoe, Robinson Nainggolan, Pimpinan Nasional PGI, PGLII, PGPI, serta ratusan Guru Sekolah Menengah Kristen dari 33 provinsi di seluruh Indonesia.
Lebih lanjut Mahfud MD mengatakan bahwa hukum yang tidak bermoral sebenarnya bukan hukum, karena hukum tersebut tidak berkeadilan, termasuk dalam pasal-pasal dalam UUD tersebut. “Karena dalam pasal-pasal itu, hukum bisa dipermainkan. Orang salah bisa dijadikan tidak bersalah, padahal dia salah,” katanya.
Kalau hukum hanya dianggap sebagai pasal-pasal, menurut Mahfud MD, UUD bisa dibuat apa saja. Tetapi, orang yang pernah belajar hukum tahu makna dari adanya pasal-pasal dalam UUD 1945, yang mana hukum adalah kristalisasi dari nilai moral, etika, dan berkeadilan. “Jadi kalau UUD-nya bagus harus bersumber dari sini, yaitu nilai moral, etika, dan berkeadilan. Bukan cuma dibaca pasal per pasal,” terangnya.
Dalam kesempatan tersebut Mahfud MD juga menegaskan bahwa suatu negara atau bangsa akan dinilai sebagai bangsa yang berperadapan rendah manakalah tingkat kesadaran konstitusinya rendah. Peradaban suatu bangsa bisa diukur dengan cara bagaimana menghargai dalam hidup berkonstitusi. Kalau konstitusi dilanggar, berarti tidak beradap. “Dan, itu akan membuka celah-celah untuk terjadinya kehancuran,” jelasnya.
Terkait UUD 1945 yang berlaku sekarang ini, menurut Mahfud MD, meskipun sudah diamandemen tetapi semangatnya tetap sama. ”UUD 1945 sekarang ini secara ideologis dan secara subtantif sama dengan UUD sebelum perubahan. Perubahan dilakukan hanya memperjelas apa-apa yang terjadi pada saat tahun 1945,” jelasnya.
Terhadap pendapat sebagian dari masyarakat yang mengatakan bahwa setelah UUD 1945 diubah, negara ini menjadi tidak ”karuan”. Pernyataan tersebut, menurutnya, bukan soal UUD, tetapi soal lain. Ia melihat adalah hal yang wajar jika ada kritikan terhadap perubahan UUD 1945 karena tidak mungkin sebuah UUD disetujui oleh semua orang.
“Secara teoritis, UUD adalah sebuah kesepakatan. Namanya kesepakatan pasti sebagian kecil menuai kritik, dan tidak akan pernah ada UUD itu yang sempurna. Kesempurnaan UUD itu bukan karena dia baik atau betul, karena UUD itu disepakati, dan secara prosedural kesepakatan itu sah,” tegas Mahfud.
Lebih lanjut Mahfud MD mengatakan bahwa bilamana sudah disepakati secara prosedural, maka UUD 1945 mengikat tanpa pandang bulu dan berlakunya harus dipaksakan oleh negara. “Apabila tidak dipaksakan, maka tidak akan berjalan suatu negara. Dan, jika mau diubah, tempuh prosedural lagi, itu cara hidup berkonstitusi, cara hidup beradap,” terangnya.
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena