info@leimena.org    +62 811 1088 854

Civis Vol. 3, No. 1, Jul 2011

Kebebasan Berserikat dan Berkumpul Secara Damai Serta Implikasinya

 

Pendahuluan

Reformasi yang berlangsung sejak tahun 1998 telah membawa Indonesia memasuki transisi dari Negara dengan sistem otoriter menuju Negara yang demokratis. 4 (empat) tahap Perubahan UUD 1945 telah meletakkan landasan bagi kehidupan bangsa yang menerapkan nilai-nilai dan prinsip demokrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar ideologi Negara yaitu Pancasila. Reformasi tersebut pada dasarnya menuntut sistem politik checks and balances, supremasi hukum, penghormatan HAM, menegaskan kebebasan berpendapat, serta kebebasan berkumpul dan berserikat.

Indonesia menegaskan diri sebagai satu Negara demokrasi, di mana kedaulatan rakyat yang berada di tangan rakyat dan sebelumnya dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dengan perubahan yang terjadi pada masa reformasi, kedaulatan yang berada ditangan rakyat tersebut dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat (2)). Sejalan dengan prinsip demokrasi demikian, perubahan UUD 1945 masih berlanjut dengan pemuatan hak-hak asasi manusia sebagai bagian dari Undang-Undang Dasar. Kebebasan berserikat dijamin sebagai salah satu hak asasi dalam UUD 1945, yang diatur dalam Pasal 28E ayat (3) dengan bunyinya bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan sesungguhnya juga mengatur tentang kebebasan berserikat tersebut dalam Pasal 28, tetapi di bawah Bab X tentang warganegara. Pasal 28 UUD 1945 sebelum perubahan berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

Perubahan UUD 1945 tidak menyentuh Pasal 28, tetapi mengadopsi norma baru dalam Pasal 28E ayat (3), karena Pasal 28 UUD 1945 dianggap tidak mengandung jaminan hak asasi manusia yang seharusnya menjadi muatan konstitusi Negara demokrasi (Jimly Asshidiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi, 2005). Oleh karena itu, pemuatan kembali hak berserikat dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, adalah untuk menegaskannya sebagai salah satu hak asasi manusia yang menjadi hak konstitusi, dan yang menjadi kewajiban Negara terutama Pemerintah untuk melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhinya (Pasal 28I ayat (4) UUD 45).

Freedom of Assembly/Association dan Freedom of Expression

Sangat penting untuk mendapat perhatian bahwa baik Pasal 28 maupun Pasal 28E ayat (3) menggandengkan dalam satu rangkaian antara hak berserikat dan berkumpul, dengan hak mengeluarkan pendapat. Pasal 28 merincinya dengan kemerdekaan “mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya…” , sedang Pasal 28E ayat (3) merumuskan dalam kalimat “…kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Perumusan ini erat kaitannya dengan sejarah instrumen hak asasi manusia universal bahwa kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression) diatur secara berangkai dalam satu pasal, sebagaimana ditemukan dalam Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Pasal 20 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights menentukan bahwa “everyone has the right to freedom of peaceful assembly and association”, sedangkan pengaturan dalam International Covenant of Civil and Political Rights, menyebut “the right of peaceful assembly” dalam artikel 21, dan “freedom of association” dalam artikel 22. Pengaturan secara demikian menunjukkan bahwa hak atas kemerdekaan berserikat tersebut erat berhubungan dengan hak kemerdekaan pikiran dan berpendapat. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul tersebut merupakan salah satu ekspresi pendapat dan aspirasi atas idée yang disalurkan dengan cara bekerja sama dengan orang lain yang memiliki idée dan aspirasi yang sama (Jimly Asshidiqie, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005).

Meskipun tidak disebut secara tegas dalam Konstitusi Amerika Serikat dan Amandemennya, freedom of association dan freedom of assembly dianggap merupakan bagian yang integral dari freedom of expression, sebagaimana diakui dalam putusan-putusan pengadilan. Dikatakan bahwa ada kaitan erat antara kebebasan berserikat dan berkumpul dengan kebebasan untuk mengekspresikan gagasan, pikiran pendapat dan keyakinan (Asshidiqie, 2005).

Hak Berkumpul/Berserikat Secara Damai

Baik Pasal 20 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights (UDHR) maupun International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR), masing-masing merumuskan bahwa hak berkumpul dan berserikat tersebut haruslah yang bersifat damai, dengan menyebut bahwa “the right to freedom of peaceful assembly and association”, dan “the right of peaceful assembly”. Hal demikian haruslah diartikan bahwa hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul yang dihormati, dijamin dan dilindungi oleh hukum dan konstitusi, haruslah kebebasan berserikat yang bertujuan dan berlangsung secara damai. Kebebasan berkumpul dan berserikat yang menjadi unsur yang sangat esensial dalam suatu masyarakat yang demokratis, dan yang berkaitan erat dengan kebebasan menyampaikan pendapat dan pikiran, adalah untuk memajukan dan menyejahterakan masyarakat. Unsur penting kesejahteraan tersebut tampak dalam interelasi antar individu dan kelompok masyarakat satu dengan lainnya serta individu atau kelompok dengan Negara, dalam satu suasana tentram, tertib dan terjamin di bawah pengaturan suatu sistem hukum yang efektif dan adil. Dalam suasana tertib, aman dan berkeadilan demikian kemajuan dan kesejahteraan masyarakat didorong oleh kebebasan menyatakan pendapat dan pikiran melalui perkumpulan dan organisasi yang terbentuk secara bebas haruslah berlangsung dengan damai. Kebebasan berserikat dan berkumpul yang tidak dilakukan dengan damai dan melanggar hak dan kebebasan orang lain, akan menjadi potensi pelanggaran hukum dan konstitusi, yang pada gilirannya tidak memajukan perdamaian dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dan justru bertentangan dengan demokrasi itu sendiri yang justru menjadi sumber legitimasi kebebasan berserikat itu sendiri.

Tafsir Atas Kebebasan Berkumpul/Berserikat Secara Damai

Hampir seluruh instrumen hak asasi manusia secara universal menyebut bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul yang dimiliki oleh warga dan masyarakat merupakan kebebasan yang harus damai – peaceful, atau dilakukan peacefully. Seorang hakim menyatakan bahwa gagasan pemerintahan yang berbentuk republik menjamin satu hak bagi warganegara untuk berkumpul secara damai membicarakan urusan-urusan Negara dan mengajukan petisi bagi penyelesaian keluhannya (Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human Rights Law, National, Regional and International Jurisprudence, Cambridge University Press 2006). Kehadiran kelompok warga dalam jumlah yang besar untuk melakukan unjuk rasa dan meminta perhatian akan tuntutan yang dikomunikasikan, meskipun diberi jaminan tentang sifatnya yang damai, namun kehadiran kelompok besar orang yang berada secara fisik di ruang publik yang mengharapkan suatu perdebatan dan penyelesaian akan satu persoalan, tetap saja menimbulkan kemungkinan akan terjadinya kekerasan. Kebebasan demikian dapat terjadi dalam bentuk pertemuan yang berlangsung secara lebih tertutup dan tidak bergerak ataupun yang bergerak. Para pelaksana unjuk rasa sebagai wujud kebebasan berserikat demikian, dapat melaksanakan penyampaian pendapat tanpa kuatir akan tindakan kekerasan secara fisik yang mungkin akan dilakukan kelompok lain yang menjadi lawan, jika menyangkut masalah kontroversial yang berpengaruh kepada masyarakat (Jayawickrama, 2006), sepanjang mereka dapat melaksanakannya dengan damai menurut hukum yang berlaku.

Perlindungan atas hak dan kebebasan berserikat dan berkumpul untuk menyatakan pendapatnya hanyalah diberikan sepanjang pelaksanaan hak dan kebebasan tersebut dilakukan secara damai. Pembatasan hak asasi yang diperkenankan dalam konstitusi atau UUD 1945 dapat dilihat dalam Pasal 28J ayat (2) yang menentukan bahwa pembatasan tersebut dilakukan dengan undang-undang hanya dengan tujuan untuk untuk (i) melindungi dan menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain, (ii) memenuhi tuntutan yang adil atas dasar pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.

Instrumen HAM internasional menyebut pembatasan yang hampir sama, ketika disebutkan bahwa “No restrictions may be placed on the exercise of this right other than those imposed in conformity with the law and which are necessary in a democratic society in the interests of national security or public safety, public order, the protection of public health or morals or the protection of rights and freedoms of others” (Pasal 21 ICCPR, Pasal 11 European Convention for the Protection of Human Rights and Fudamental Freedoms (ECHR) dan Pasal 15 American Convention on Human Rights). Meskipun dirumuskan secara berbeda, ECHR juga menentukan adanya pembatasan sebagai pencegahan terjadinya kekacauan atau kejahatan. Pembatasan demikian pada dasarnya merupakan pembatasan yang diperlukan atas hak dan kekebasan berkumpul dan berserikat tersebut, sebagai hal yang sah dan memberi dasar pada kepolisian, angkatan bersenjata dan pemerintah untuk menegakkan pembatasan yang sah tersebut (Jayawickrama, 2006)

Kepatuhan dan ketaatan terhadap semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang dirumuskan secara konsensual dan demokratis, menjadi ukuran kebebasan berserikat dan berkumpul yang damai tersebut. Pelanggaran, penyimpangan dan ketidak taatan terhadapnya, dipandang sebagai sesuatu pelaksanaan hak dan kebebasan berserikat dan berkumpul yang tidak damai, karena setiap saat ketidak patuhan yang terjadi akan memberi pembenaran terhadap tindakan pemaksaan dari kepolisian dan pemerintah untuk menerapkan sanksi sanksi yang relevan, untuk mencegah potensi kriminal kegiatan demikian menjadi sesuatu ancaman nyata. Di pihak lain ketidak patuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang justru melanggar hak dan kebebasan orang lain, dapat membuka konflik fisik secara horizontal, sehingga kegiatan organisasi yang dilakukan menjadi bertentangan dengan sikap toleransi yang diharapkan terwujud dalam masyarakat yang majemuk.

Implikasi Kebebasan Berkumpul Dan Berserikat Yang Tidak Damai

Perubahan yang urgen dilakukan berkaitan erat dengan paradigma hukum yang juga berubah dengan Perubahan UUD 1945, ialah meninggalkan pola pikir sentralistis dan berorientasi pada kekuasaan dalam menangani persoalan yang timbul berkenaan dengan pengaturan organisasi kemasyarakatan. Penanganan haruslah dilakukan sedemikian rupa sehingga pembinaan dan pengawasan harus memenuhi kerangka prinsip hukum yang disebut due process of law. Demokratisasi sebagai proses yang masih bersifat transisional memerlukan penguatan dan dorongan untuk memberi tempat kepada inisiatif masyarakat secara luas, namun berada di bawah tertib hukum yang optimal, efektif dan tegas. Hak berserikat dan berkumpul tersebut yang harus diikuti oleh sifatnya yang damai, menyebabkan bahwa organisasi dan perkumpulan yang tidak damai sifatnya secara rasional dapat diberikan sanksi yang tegas, dan bahkan dapat dibatasi atau dicabut hak hidupnya.

Pengalaman kita mengaktualisasikan kemerdekaan berserikat dan berkumpul sesudah reformasi, menunjukkan seolah-olah kebebasan tersebut bersifat bebas sebebas-bebasnya tanpa pembatasan sehingga justru melanggar kebebasan orang lain, sebagai batas yang sah atas hak asasi manusia, yang mewajibkan setiap orang menjalankan hak dan kebebasannya, tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan maksud agar dapat terlaksana kewajiban Negara melakukan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dalam suatu masyarakat demokratis sebagai tuntutan untuk berlaku adil berdasar pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

Pembatasan dimaksud dapat dilakukan dalam undang-undang itu sendiri, yaitu hanya akan diberikan keleluasaan untuk menggunakannya sepanjang tidak melanggar tuntutan yang adil atas dasar pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum yang diakui dalam masyarakat yang demokratis. Pembatasan secara sah demikian menimbulkan akibat bahwa kebebasan berkumpul dan berserikat yang merupakan pelanggaran hukum baik secara langsung maupun tidak langsung, merugikan hak dan kepentingan orang lain. Meletakkan batas dan memberi dasar bagi penindakan terhadap ormas, jikalau kebebasan berkumpul dan berserikat yang dimiliki ternyata mengakibatkan pelanggaran terhadap hak orang lain dan ketertiban umum, menyebabkan ada kemungkinan organisasi masyarakat yang demikian dikenakan sansi hukum, bukan hanya menyangkut anggota-anggota, melainkan juga terhadap organisasi (corporate) nya yang kemudian dibebankan kepada pengurus. Sanksi tersebut merupakan bagian penting dalam pengaturan ormas untuk menanggapi perkembangan yang terjadi di masyarakat. Sanksi tersebut bahkan dapat secara optimal sampai kepada pembubaran ormas dan perampasan asset yang digunakan untuk melakukan pelanggaran hukum sedemikian rupa ekstrim dalam akibat-akibatnya.

Pembekuan

Penjatuhan sanksi dapat dilakukan secara bertahap, dengan mana diharapkan bahwa dengan menerapkan sanksi awal yang lebih ringan yang lebih merupakan aba-aba, dapat dicegah pengenaan sanksi yang langsung mengakhiri organisasi masyarakat yang tidak melaksanakan hak dan kebebasannya secara damai dan bertanggung jawab. Pada tingkat awal ditemukannya pelanggaran, Pemerintah dapat membekukan Ormas tertentu untuk sementara, setelah mendapat peringatan yang cukup karena dalam kegiatannya melakukan perbuatan perbuatan yang mengganggu ketertiban umum, menimbulkan huru-hara di tengah masyarakat dan juga yang melakukan perusakan terhadap aset dan fasilitas umum.

Pembekuan tentu dilakukan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ruang lingkup dan wilayah kedudukan Ormas, setelah mendengar seperlunya keterangan dari pengurus Ormas yang bersangkutan. Kewenangan Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk membekukan ormas yang dipandang melakukan perbuatan yang dituduhkan, tentu saja dilakukan berdasarkan bukti-bukti yang telah diperoleh dan dianggap sah. Prinsip due process of law yang menjadi ciri dari Negara hukum dan bukan Negara yang berdasarkan kekuasaan, mengharuskan terbukanya mekanisme bagi ormas yang dibekukan untuk menguji keputusan Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang bersangkutan, dengan memberi kesempatan bagi ormas untuk mengajukan keberatan terhadap keputusan pembekuan tersebut. Pengadilanlah yang akan menguji keputusan tersebut.

Keputusan pembekuan yang berlaku untuk sementara, dan kemudian setelah lewat jangka waktu tertentu telah di pulihkan haknya setelah Ormas yang bersangkutan dibekukan, masih melakukan perbuatan sebagaimana dijadikan alasan pembekuan sementara di atas, maka Pemerintah dapat mengajukan Ormas tersebut untuk dibubarkan, sesuai dengan cara mengajukan kepada Pengadilan bukti-bukti disertai permohonan agar ormas demikian dibubarkan dan dicabut hak hidupnya. Ormas Asing yang melakukan kegiatan sebagaimana yang dilarang baginya, setelah pembekuan sementara dan masih melakukan perbuatan yang sama yang dilarang baginya, justru dapat dikenakan sanksi pembekuan secara tetap, yang akibat hukumnya sesungguhnya serupa dengan pembubaran. Hal ini harus diatur demikian karena ormas asing dibentuk menurut hukum asing dan berkedudukan di luar wilayah Indonesia, sehingga putusan pengadilan Indonesia tidak mempunyai daya laku di luar wilayah Indonesia.

Pembubaran

Titik tolak dalam Negara hukum merupakan satu elemen yang harus dipenuhi bahwa tiap orang yang melakukan kegiatan atas nama Ormas harus tunduk kepada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang bersifat perdata, tata usaha negara, maupun pidana. Sanksi yang timbul akibat pelanggaran di masing-masing bidang hukum atau sesuai dengan bidang hukum yang dilanggar sudah barang tentu dapat diterapkan terhadap ormas yang melakukan pelanggaran demikian.

Pengurus Ormas yang melakukan kegiatan penyampaian pendapat dan unjuk rasa yang melibatkan massa, turut bertanggung jawab atas perbuatan anggota yang melanggar ketentuan hukum pidana, jikalau pengurus tidak melakukan pencegahan yang sepatutnya untuk menghindari perbuatan dimaksud. Pengurus juga turut bertanggung jawab atas tindakan kelompok orang yang melakukan kegiatan atas nama Ormas tertentu yang tidak disetujui pengurus, tetapi patut diketahuinya namun tidak melakukan tindakan yang perlu untuk mencegah perbuatan tersebut. Hal ini untuk menghindari sikap melepaskan tanggung jawab ketika proses penegakan hukum telah dimulai dalam hal suatu pelanggaran hukum pidana perdata dan TUN telah terjadi. Inti dari norma yang harus dibentuk dalam pertanggung jawaban akibat hukum tindakan-tindakan ormas yang tidak damai, harus sedemikian rupa sehingga tidak terjadi impunitas terhadap pelaku yang sesungguhnya turut serta dan bahkan menjadi mastermind perbuatan yang terjadi.

Pemberatan sanksi juga dianggap merupakan bagian dari pencegahan penyalah gunaan hak asasi yang merugikan masyarakat secara umum dimana orang yang melakukan kegiatan atas nama Ormas dan melanggar ketentuan hukum pidana, hukumannya ditambah satu per tiga dari ancaman maksimum. Khususnya perbuatan yang berusaha untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar dan idologi Negara yang menjadi konsensus pendiri bangsa pada tahun 1945, harus dianggap sebagai makar untuk menggulingkan Pemerintahan yang sah, karena sikap pembaharu UUD 1945, untuk tidak mengganti Pembukaan UUD 1945, dan Pasal 37 ayat (5) untuk tidak merubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan tersebut, harus direspon dengan memberi sanksi pidana yang tidak harus menunggu terjadinya akibat yang menimbulkan korban jiwa. Rumusan delik yang bersifat formal harus menjadi pendirian pembuat undang-undang.

Penutup

Sifat damai yang dilekatkan kepada kebebasan berserikat dan berkumpul, agar dapat dikategorikan sebagai hak asasi atau hak konstitusional yang dilindungi dalam sistem hukum Indonesia, haruslah merupakan ciri atau karaker pendukung hak dan kebebasan ini. Kebebasan berkumpul dan berserikat yang dapat dikategorikan damai, bukan hanya terlihat dari kegiatan yang tidak mengancam keamanan dan ketertiban serta hak asasi orang lain, melainkan juga dalam bentuk asas dan tujuan yang tidak bertentangan dengan dasar Negara dan hukum yang berlaku. Kegiatan yang melanggar hukum dan ketertiban serta menimbulkan kekacauan, yang menyebabkan ormas tertentu menjadi tidak berkarakter damai, dapat menjadi pembenar untuk menuntut pertanggungjawaban dari pelanggar hukum tersebut. Sanksi dalam bidang hukum pidana, dapat mengambil bentuk dalam pemberatan ancaman hukuman secara individual maupun dalam bentuk perluasan tanggung jawab pengurus yang berbentuk badan hukum. **

Penulis

Dr. Maruarar Siahaan adalah  Hakim Konstitusi RI (2003 – 2009), kini menjabat sebagai  Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Senior Fellow Institut Leimena.