Civis Vol. 1, No. 1, Okt 2009
Kebebasan Beragama
Tidak mudah mencari dasar-dasar kebebasan beragama di dalam Alkitab. Inti berita Alkitab adalah Allah berdaulat atas segala ciptaan-Nya. Kedaulatan Allah itu secara spesifik ditangkap oleh Pengakuan Iman Israel (Syema). “Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa.” (Ul. 4). Tidak ada Allah selain Dia” (Kel. 20: 3; Ul. 5:7). Jelaslah tidak ada yang sama dengan Allah ini. Ilah-ilah lain hanyalah “tahi angin” belaka.
Dari pengakuan (dan sekaligus klaim) ini dapat disimpulkan, kepercayaan bangsa-bangsa lain terhadap ilah-ilah mereka dianggap sebagai bertentangan dengan pengakuan tersebut. Alhasil, kebebasan beragama yang saat ini kita pahami sebagai salah satu pilar penting di dalam kehidupan bermasyarakat yang sehat belum menjadi pusat perhatian.
Hal serupa terjadi pula dalam pengakuan gereja Kristen di dalam Perjanjian Baru. “Yesus Kristus Tuhan (Kurios)” yang merupakan pengakuan iman tertua di dalam gereja mula-mula tentu tidak membuka kemungkinan bagi adanya “kebebasan beragama” pihak lain. Lagi pula sabda Yesus yang menegaskan bahwa Ialah Jalan, Kebenaran dan Hidup, dan tidak ada satupun yang tiba kepada Bapa kecuali melalui Dia (Yoh.14:6), menjadi klaim tidak terbantahkan bahwa memang kekristenan tidak bisa disandingkan dengan agama apapun di dunia ini.
Alih-alih memperjuangkan kebebasan beragama, kekristenan yang merupakan komunitas kecil dan termarjinalisasi di dalam civil society Kekaisaran Romawi yang monolitik pada waktu itu justru menjadi korban ketidak-bebasan. Kecuali komunitas Yahudi yang diberikan kekebasan terbatas, kaum Kristiani malah distigma sebagai atheis. Rasul Paulus dalam pidatonya di Areopagus (Kisah 17) sepertinya mengakui keberadaan dewa-dewa lain yang dipuja orang Athena. Tetapi hal itu belum membuktikan bahwa ide, apalagi perjuangan untuk kebebasan beragama telah ada.
Ketika kekristenan menjadi kekuatan dunia pada era Konstantinus Agung (abad ke-4), orang belum berbicara mengenai kebebasan beragama. Di dalam kekaisaran yang telah dikristenkan itu, orang justru berlomba-lomba menjadi Kristen agar bisa diterima di dalam pergaulan masyarakat. Didorong oleh keinginan kuat untuk menekan kaum Donatis, Agustinus (Bapa Gereja yang hidup ke abad ke-5) bahkan memakai kata-kata Yesus di dalam Lukas 14:23 sebagai alat penekan. Kata-kata itu berbunyi sebagai berikut: “…paksalah orang-orang yang ada di situ masuk, supaya rumah-Ku penuh.” Ayat ini belakangan dipakai sebagai alat legitimasi untuk mempromosikan Gereja Katolik dan menekan aliran-aliran lain. Alhasil, sekali lagi, berbicara mengenai kebebasan beragama dengan bertolak dari ayat-ayat Alkitab, tidaklah selalu mudah.
Barangkali tepat untuk mengatakan bahwa ide kebebasan beragama bertumbuh sejalan dengan perkembangan masyarakat yang makin lama makin tiba kepada pencerahan. Luther dan Calvin yang memperjuangkan pembaruan gereja dalam abad ke 16, dalam derajat tertentu dapat disifatkan sebagai pejuang kebebasan beragama, setidak-tidaknya dari pengaruh Gereja Katolik Roma. Tetapi dengan berbagai pembatasan yang diberikan kepada mereka yang berpandangan lain, maka sulit juga dikatakan adanya kebebasan beragama.
Di Jenewa, lewat kerjasama dengan pemerintahan sipil kota (Magistrat), Calvin justru mengejar dan menangkap kaum yang dianggap bidat, dan melarang penyelenggaraan misa. Sebagaimana yang diperlihatkan oleh sejarah, agama Kristen telah terjebak dalam peperangan-peperangan berdarah.
Kita kenal apa yang disebut “Perang 80 Tahun” antara kaum Katolik dan kaum Reformasi. Salah satu penyelesaian yang ditawarkan ketika konflik berkembang antara Gereja Katolik Roma dan gerakan Reformasi di Eropa (Jerman) adalah, penduduk suatu negeri (negara bagian yang diperintah para pangeran) mengikuti agama raja yang memerintah. Prinsip ini dikenal sebagai cuius regio, eius religio dan merupakan hasil Perjanjian Perdamaian Augsburg pada tahun 1555.
Ini memperlihatkan bahwa menganut agama bukanlah pilihan bebas. Seorang Katolik tidak mungkin hidup di dalam negeri yang diperintah oleh pangeran Protestan. Demikian juga sebaliknya. Ini berbeda dengan di Amerika ketika agama benar-benar merupakan pilihan bebas. Sebagai masyarakat yang lari dari peperangan berbau agama di Eropa, mereka benar-benar menjadikan agama sebagai pilihan pribadi secara bebas.
Kita juga melihat, bahwa kendati ide-ide Pencerahan berasal dari Eropa namun baru dipraktekkan untuk pertama kalinya di Amerika. Cita-cita dari Revolusi Perancis yaitu Kemerdekaan (Liberte), Persamaan (Eqalite), dan Persaudaraan (Fraternite) justru baru diterapkan untuk pertama kalinya di Amerika Serikat ketika negara itu memproklamasikan kemerdekaannya dari Inggris.
Singkat kata, ide-ide dan praksis kebebasan beragama sebagai unsur tidak terpisahkan dari hak-hak asasi manusia sangat jelas tertera dalam Konstitusi Amerika. Tentu saja jasa-jasa John Locke (1632-1704) tidak bisa dilupakan. Locke adalah seorang filsuf Inggris yang pernah merasa tertekan dan tersiksa demi agamanya. Pemikiran-pemikirannya telah memberi dasar positif bagi kekebasan beragama yang sekaligus merupakan pilar bagi civil society.
Pertanyaannya sekarang, kendati tidak mudah mencari dasar-dasar Alkitab bagi kebebasan beragama sebagaimana telah dilukiskan di atas, tidak adakah alasan bagi gereja (setelah ikut dipengaruh oleh Pencerahan), untuk memperjuangkan kebebasan beragama? Tentu saja ada, setidak-tidaknya kalau pemahaman mengenai manusia ditarik jauh ke substansi.
Pertama, Alkitab menegaskan bahwa manusia adalah citra Allah (Imago Dei). Sebagai citra Allah ia bebas mengungkapkan kecitraannya itu dalam bentuk apapun. Kalau kita mengakui Allah berdaulat, maka kita pun mesti mengakui kedaulatan-Nya untuk menyatakan diri kepada manusia dengan cara apapun, dan kepada siapapun. Itu berarti kita juga harus mengakui kebebasan orang untuk menafsirkan penyataan Allah itu di dalam kebebasan dan kemerdekaannya.
Kedua, kita merujuk kepada Hukum Kasih, yaitu perintah Yesus Kristus untuk mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Ini membawa implikasi, sama seperti kita memperlakukan diri kita sendiri, demikianlah hendaknya kita memperlakukan orang-orang lain. Relasi yang dijalin dengan seseorang mesti terjadi di dalam kebebasan dan tanpa tekanan. Mengasihi seseorang bukan karena ia seagama dengan kita, melainkan karena ia adalah sesama manusia.
Sidang Raya XV PGI yang akan diselenggarakan di Mamasa-Sulawesi Barat pada 17-24 November 2009 mengambil tema: “Allah itu Baik Kepada Semua Orang” (Mz. 145:9a). Itu berarti bahwa tidak ada satu orang pun yang boleh mengklaim seakan-akan Allah itu hanya “berpihak” kepadanya. Harus selalu dibuka ruang bagi kemungkinan Allah menyatakan rakhmat-Nya kepada siapapun. Maka kebebasan seseorang untuk menyatakan agamanya sebagai ekspresi kemanusiaannya yang penuh haruslah merupakan pokok advokasi gereja.**
Penulis
Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe adalah Ketua Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia).