info@leimena.org    +62 811 1088 854

Civis Vol. 1, No. 1, Okt 2009


Kekuatan Ide dalam Menghapuskan Perbudakan di Amerika Serikat

 

Saat ini perbudakan sudah secara universal ditolak dan dibenci oleh warga dunia. Tapi dalam kurun waktu yang cukup panjang dalam sejarah, perbudakan merupakan sesuatu yang dianggap wajar bagi masyarakat di berbagai belahan dunia. Perbudakan memiliki fungsi ekonomis yang umum di rumah-rumah tinggal dan bahkan merupakan “industri jasa” yang esensial dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.

Hati nurani seharusnya terganggu dengan hal ini, tapi realitas dan kebutuhan masyarakat yang berkuasa telah mengaburkan mana yang benar dan yang salah. Penyimpangan ini bahkan diperparah oleh beberapa gereja yang menjustifikasi perbudakan dengan menggunakan ayat-ayat Alkitab yang dicomot keluar dari konteksnya.

Di Amerika Serikat (AS) yang didirikan atas dasar “kebebasan” (liberty), hal ini menjadi suatu ironi. Deklarasi Kemerdekaan AS menyatakan bahwa “semua manusia diciptakan setara, di mana Tuhan telah memberikan hal-hak yang mendasar seperti kehidupan, kebebasan, dan usaha memperoleh kebahagiaan.” Deklarasi ini merupakan salah satu dokumen politis pertama di dunia yang menginspirasikan adanya kesetaraan yang bersifat universal.

Walaupun demikian, baru satu abad kemudian institusi perbudakan diharamkan di AS dan para budak menjadi warga negara yang bebas. Tapi itu pun baru terjadi setelah dilewatinya perang sipil yang berlumuran darah. Dan setelah itu, AS masih butuh waktu satu abad lagi sebelum diskriminasi dan segregasi rasial tidak lagi menjadi sekedar wacana; khususnya sesudah munculnya kegerakan anti diskriminasi rasial yang dimotori oleh Pdt. Martin Luther King.

Dimulainya Proses Pertempuran Ide

Sejarah konvensional melihat bahwa penghapusan perbudakan di AS terjadi sebagai dampak dari perjuangan politik makro melalui Perang Sipil antara Union (negara-negara bagian utara) dan Konfederasi (negara-negara bagian selatan). Figur Abraham Lincolin muncul sebagai wajah dari kekuatan politis di belakang penghapusan perbudakan. Tapi sebetulnya, itu semua cuma dampak dari sebuah proses perjuangan.

Ketika masyarakat sudah membalikkan yang “hitam” sebagai yang “putih” dan menetapkan sesuatu yang salah sebagai yang benar, dibutuhkan dorongan dari sekelompok besar orang yang bersedia berjuang dalam sebuah pertempuran ide untuk dapat mentransformasi masyarakat.

Awalnya dimulai dari dua lembar tulisan yang dikarang oleh empat orang anggota Quaker di kota Germantown – Pennsylvania tahun 1688, yang dikirim ke kelompok the Society of Friends yang menaungi golongan Quakers.  Dalam tulisannya, keempat orang itu menyatakan bahwa perbudakan adalah sesuatu yang salah secara moral  dan harus dihapuskan. Pada saat itu kelompok the Society of Friends masih menerima perbudakan sebagai sesuatu yang wajar. Butuh waktu 88 tahun sebelum kelompok ini akhirnya bersedia secara resmi menghapuskan perbudakan.

Kegerakan yang dimulai oleh golongan Quakers ini pun didukung oleh kelompok-kelompok Evangelical dan para pemikir rasionalis yang mulai aktif mengkritisi perbudakan sebagai sebuah pelanggaran. Perjuangan mereka dilakukan dari meja-meja diskusi dan mimbar-mimbar, yang lalu dibawa ke lingkup yang lebih luas lewat berbagai dialog publik dan publikasi tulisan-tulisan di media massa.

Artikel-artikel opini seperti yang dibuat oleh Thomas Paine dalam Pennsylvania Magazine atau dalam surat-surat kabar independen seperti North Star, the Emancipator, dan  the Liberator mendorong terbentuknya opini publik dan  membawa ke permukaan berbagai pemikiran yang menyatakan bahwa perbudakan adalah sesuatu yang salah.

Organisasi-organisasi masyarakat sipil penentang perbudakan pun didirikan, seperti William Lloyd Garrison’s American Anti-Slavery Society, Ohio Anti-Slavery Society dan Society for the Relief of Negroes. Kelompok-kelompok Kristen juga mendirikan berbagai perguruan tinggi seperti Bates College di Maine dan Oberlin College di Ohio untuk membawa ide-ide perubahan ini lewat pendidikan.

Hal yang menarik terjadi ketika Abraham Lincoln bertemu dengan penulis Harriet Beecher Stowe yang menulis Uncle Tom’s Cabin, sebuah novel klasik yang menggambarkan kengerian dari rasisme dan perbudakan. Novel ini telah membuka pikiran dan menyentuh hati nurani dari jutaan pembacanya dan menjadi salah satu pemicu terjadinya Perang Sipil di AS. Karena itulah Lincoln mengatakan pada Stowe bahwa ia adalah seorang “wanita kecil yang telah menyebabkan sebuah perang besar.”

Sebuah ide dapat mentransformasi masyarakat jika disuarakan lewat berbagai bentuk dan didukung oleh berbagai lapisan masyarakat.**

Penulis

Tobias Basuki, MA adalah Director of Studies, Institut Leimena.