Civis Vol. 1, No. 1, Okt 2009
Potensi Masalah di Balik RUU Jaminan Produk Halal
Pada saat tulisan ini dibuat, RUU Jaminan Produk Halal sedang dalam pembahasan tahap akhir di DPR. Padahal RUU ini belum dipahami secara meluas oleh masyarakat, dan bahkan menimbulkan kontroversi. Kalangan pengusaha yang diwakili oleh Kadin (Kamar Dagang dan Industri) menyatakan “RUU ini berpotensi merugikan dunia usaha, terutama bagi segmen usaha mikro kecil dan menengah.” (KOMPAS, 25/8’09). Ester I. Jusuf mencoba memberikan gambaran mengenai berbagai potensi masalah yang mungkin timbul dari diterapkannya RUU ini.
Secara sepintas, judul dari “RUU Jaminan Produk Halal” membuat orang menduga bahwa RUU itu khusus ditujukan bagi umat Islam saja dalam hal keimanan mereka pada Tuhan. Mungkin karena dugaan ini, masyarakat kebanyakan tidak menganggap penting untuk turut serta mengetahui atau ikut membahas serta memberi masukan untuk isi RUU ini. Padahal RUU ini sudah dibahas oleh DPR RI sejak 2007.
Namun ternyata RUU ini mengatur dan berdampak besar pada seluruh bangsa. Bukan hanya yang berhubungan dengan aspek internal keimanan umat Islam saja. Dalam RUU ini terkait masalah teknis dan proses produksi, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian dan penyajian dari semua produk makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologik dan termasuk produk rekayasa genetik.
RUU ini juga menimbulkan konsekuensi pada lembaga negara untuk menyediakan fasilitas laboratorium/kefarmasian, badan khusus untuk menerbitkan sertifikat dan registrasi halal, serta penyediaan tenaga auditor halal dan penyidik di Departemen Agama. Semuanya ini, selain memakan anggaran dana yang besar dari negara, namun juga kemungkinan membawa dampak tumpang tindih dengan aturan atau kebijakan yang telah ada sebelumnya.
Penambahan kewenangan Departemen Agama di bidang Jaminan Produk Halal ini amat besar dan mungkin berbenturan atau berdampak tumpang tindih secara kewenangan dengan lembaga-lembaga lain; khususnya yang telah mengatur bidang perindustrian, perdagangan, perijinan, penelitian, kepolisian serta hubungan dengan pelaku usaha dari negara lain. Termasuk bisa membawa pengaruh pada iklim usaha dan ekonomi negara.
RUU ini pun akan membawa dampak amat besar untuk semua pelaku usaha apapun agamanya. Pelaku usaha harus memenuhi seluruh prosedur yang ditetapkan berkaitan dengan masalah teknis dan proses produksi, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian dan penyajian semua produk makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologik dan termasuk produk rekayasa genetik. Bila pelaku usaha tidak atau kurang memenuhi prosedur di atas maka mereka akan diancam dengan sanksi administratif, denda dan pidana penjara maksimal selama 8 tahun.
Dapat terbayangkan dampak secara ekonomi dan sosial jika aturan hukum ini kelak diterapkan secara tidak bijaksana. Dalam situasi ekonomi yang amat sulit, pelaku usaha harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang amat besar untuk bisa memenuhi ketentuan hukum untuk proses kehalalan suatu produk. Menutup usaha atau mengurangi jumlah buruh menjadi hal yang makin sulit dihindarkan.
Materi yang diatur RUU Jaminan Produk Halal ini amat luas dan memiliki tingkat kerumitan yang sulit dipahami oleh masyarakat awam yang memiliki standar pengetahuan serta fasilitas yang pada umumnya amat terbatas. Ketidakpahaman tentang kerumitan proses produksi dan ketiadaan fasilitas ini berhadapan langsung dengan sanksi administratif, denda, dan ancaman pidana yang sangat berat. Karena itu RUU ini harus menjadi perhatian semua unsur dalam negara ini, baik lembaga negara terkait maupun masyarakat luas.
Beberapa Pertanyaan untuk Direnungkan
Berdasarkan draft RUU Jaminan Produk Halal, kami mengidentifikasi sejumlah pertanyaan sebagai berikut:
1.Apakah RUU ini sudah menjamin bahwa setiap konsumen di Indonesia akan mendapat produk yang aman dan halal menurut agama, kepercayaan, adat, keyakinan atau medis?
2.Apakah RUU ini cukup sebatas kehalalan produk makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologik, dan produk rekayasa genetik?
3.Apakah RUU ini sudah sesuai dengan sistem dan semua aturan perundang-undangan yang telah berlaku di Indonesia?
4.Apakah RUU ini sudah cukup jelas mengatur mekanisme kerja dan pertanggungjawaban pelaku usaha untuk keseluruhan rangkaian kegiatan mengolah produk makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologik, dan produk rekayasa genetik yang menjamin kepastian kehalalan produk?
5.Siapakah pihak-pihak yang seharusnya menjalankan kewenangan memastikan kehalalan produk?
6.Apakah masyarakat Indonesia hanya membutuhkan pengaturan mengenai jaminan kehalalan produk?
7.Bagaimana menentukan parameter kehalalan produk untuk masyakat Indonesia?
RUU ini didasari semangat untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak halal. Tapi semangat ini harus semaksimal mungkin membawa manfaat kepada semua golongan konsumen dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. RUU ini juga semestinya bisa melindungi semua konsumen apapun agama, kepercayaan, adat, keyakinan atau kondisi medisnya.
Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dan UUD’45. Karena itu negara wajib memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap semua produk yang tidak halal, bertentangan dengan keyakinan, atau yang merugikan masyarakat. Untuk itu harus diperhatikan bahwa masyarakat Indonesia sangat majemuk, baik secara ras, suku, agama, adat, kepercayaan, keyakinan ataupun kondisi medisnya (hingga saat ini ada 6 agama yang yang diakui negara, selain sejumlah besar kepercayaan yang diimani oleh kelompok besar masyarakat).
Sampai saat ini Pemerintah Indonesia telah berusaha memberikan perlindungan pada konsumen dengan UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang Undang ini ditujukan untuk mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak, sekaligus memberi kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.
RUU Jaminan Produk Halal ini jelas terkait erat dengan UU Perlindungan Konsumen. RUU Jaminan Produk Halal secara khusus menekankan pentingnya perlindungan konsumen dari sisi agama. Perlindungan berdasarkan aturan agama adalah satu unsur yang amat penting untuk konsumen dapat menikmati produk yang sesuai dengan keyakinan imannya.
Selain itu, karena RUU ini mengatur dengan amat detil berbagai bidang dalam proses perlindungan konsumen mulai dari produksi, pemasaran produk, penyidikan, hukum perdagangan internasional dan hukum acara pidana, maka selain Departeman Agama dan MUI, ada banyak lembaga dan aturan lain yang terkait. Beberapa di antaranya adalah Departemen Perindustrian, Departemen Kesehatan, Departemen Perdagangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Luar Negeri, serta Kepolisian.
Saat ini, RUU Jaminan Produk Halal belum secara jelas menyelesaikan berbagai kerumitan yang dihadapinya. Bagaimana melindungi seluruh hak masyarakat Indonesia yang sangat majemuk secara non-diskriminatif? Bagaimana konstitusionalitas serta harmonisnya dengan peraturan perundangan lainnya? Bagaimana koordinasi operasionalnya yang melibatkan beragam departemen pemerintah tersebut? Tanpa memperhatikan berbagai kerumitan ini, RUU ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah yang dapat merugikan kesejahteraan umum. Hal ini amat bertentangan dengan tujuan kebijakan publik itu sendiri.**
Penulis
Ester I. Jusuf, SH adalah pengacara hak azasi manusia dan ketua “Solidaritas Nusa Bangsa” (www.snb.or.id).