info@leimena.org    +62 811 1088 854

Civis Vol. 1, No. 1, Okt 2009


Trend Global Kebebasan Beragama

 

Paul Marshall adalah Senior Fellow dari Hudson Institute di Washington D.C. Headquarters.  Sebelumnya ia melayani sebagai dosen di berbagai universitas, termasuk di University of Toronto, the Free University of Amsterdam, serta di the Institute for Christian Studies, di mana ia mengajar ilmu politik, hukum, filsafat, dan teologi.

Ia mendapatkan B.Sc. (Geologi) dari University of Manchester, M.Sc (Geokimia) dari University of Western Ontario, M.Phil (filsafat) dari Institute for Christian Studies, serta M.A. dan Ph.D (ilmu politik) dari York University. Selain itu ia juga mempelajari teologia di Oxford University dan hukum internasional tentang hak azasi manusia di University of Strasbourg.

Paul  Marshall telah menulis dan menyunting lebih dari dua puluh buku dalam bidang agama dan politik, khususnya di seputar area kebebasan beragama.  Selain itu ia pun mengarang ratusan artikel yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, Jerman, Perancis, Belanda, Spanyol, Portugis, Albania, Jepang, Malaysia, Korea, Arab, Farsi, dan Mandarin.

Dalam kunjungannya ke Institut Leimena di Jakarta, Paul  Marshall membagikan pandangannya seputar isu dan trend dari kebebasan beragama, eksklusif untuk CIVIS:

Banyak dari karya Anda berhubungan dengan isu kebebasan beragama. Apa alasan dari ketertarikan Anda? Mengapa hal ini begitu penting?

Keterlibatan saya dalam area kebebasan beragama merupakan pemeliharaan Tuhan. Sebagai seorang akademisi dan filsuf, saya telah terbiasa membahas tentang masalah kebebasan beragama. Tapi tahun 1993, saat mengikuti sebuah pertemuan di Filipina dengan orang-orang Kristen dari berbagai belahan dunia, saya mengalami kejutan pada dua level. Kejutan pertama adalah ketika mendengar orang-orang itu bicara tentang penganiayaan gereja di negara masing-masing. Itu adalah hal yang baru bagi saya. Dan yang kedua, saya terkejut karena saya tidak tahu tentang hal tersebut. Jadi saya memutuskan untuk belajar lebih banyak dan kemudian menuliskannya. Pada awalnya saya menulis tentang penganiayaan terhadap gereja, tapi sekarang saya mengembangkannya menjadi penganiayaan terhadap berbagai agama.

Kebebasan beragama merupakan kebebasan yang pertama. Jika Anda tidak memiliki kebebasan untuk percaya,  yang merupakan bagian mendasar dari kebebasan beragama, maka Anda tidak punya apa-apa lagi. Kebebasan pers tidak ada artinya jika Anda tidak bebas untuk berpikir, untuk percaya, atau untuk menuliskannya. Jadi secara historis, kebebasan beragama merupakan kebebasan pada tingkat yang pertama.

Kebebasan beragama seringkali diinterpretasikan secara berbeda dari satu negara ke negara lain. Apakah ada definisi universal untuk hal ini?

Tidak ada definisi universal yang disetujui oleh semua orang. Ini merupakan sebuah konsep yang dapat dipertentangkan karena orang bisa memiliki berbagai sudut pandang yang berbeda tentang hal ini. Tapi secara prinsipnya, kebebasan beragama memiliki paling tidak tiga elemen dasar, yaitu:

Pertama: kebebasan untuk mempraktekkan hal-hal religius yang tidak diterapkan oleh orang lain. Contohnya kebebasan untuk menyembah Tuhan. Seringkali agama memiliki batasan dalam hal makanan, pakaian, dsb. Kebebasan beragama berarti kebebasan untuk mempraktekkan hal-hal tersebut.

Kedua: kebebasan bagi berbagai institusi religius untuk memutuskan pemerintahannya dan  menerapkan disiplinnya sendiri. Contohnya: gereja boleh menentukan siapa yang berhak dan tidak berhak jadi pemimpin di gereja tersebut, tanpa harus didikte oleh pemerintah.

Ketiga: ini yang biasanya paling kontroversial, yaitu kebebasan untuk menjalankan agama dalam masyarakat. Kebanyakan agama-agama mengajarkan tentang cara hidup di dunia secara ekonomi maupun politik.  Banyak dari agama-agama juga mendirikan sekolah, badan-badan sosial, rumah sakit, media, koran, majalah, TV, dan radio. Seseorang perlu punya kebebasan untuk bisa menjalankan hal-hal tersebut.

Hubungan dan ketegangan antara agama dan negara seringkali menjadi masalah utama di negara-negara modern. Apakah ada sebuah model yang baik untuk dijadikan patokan?

Saya tidak yakin ada sebuah model yang dapat dijadikan patokan bagi yang lain. Mungkin ada beberapa metoda yang baik, tapi pada umumnya, situasi terburuk untuk agama dan negara terjadi ketika negara diidentifikasikan sebagai agama dan memaksa rakyat untuk menerapkan aturan-aturannya. Contoh di satu sisi adalah negara-negara seperti Saudi Arabia atau Iran, sementara di sisi lainnya adalah negara-negara sekuler yang memaksakan agar agama dipisahkan sama sekali dari kehidupan publik. Contohnya Korea Utara. Negara-negara ini biasanya sangat represif. Negara tidak perlu memaksakan penerapan norma-norma agama, sebaliknya, negara justru harus memberikan ruang bagi terwujudnya kebebasan beragama. Dari sisi konstitusional dan struktur legal, saya rasa Indonesia sudah melakukan hal yang baik sekali, tapi memang masih harus menerapkan pelaksanaannya.

Dimana letak kebebasan beragama dalam isu keseluruhan antara agama dan negara?

Saya pikir itu ada di titik sentral. Mungkin ada isu-isu lain dalam hubungan agama dan negara yang juga muncul, tapi jika kita menerapkan kebebasan beragama dengan benar, maka isu-isu lain seputar hubungan agama dan negara akan berjalan dengan baik.

Berbagai studi menunjukkan korelasi antara kebebasan beragama dan kemakmuran dari sisi sosial ekonomi, misalnya studi yang dilakukan oleh Brian J. Grim. Teori-teori juga menunjukkan bahwa kebebasan untuk mengimplementasikan hati nurani dan kepercayaan merupakan landasan bagi terbentuknya kreativitas dan kemajuan dalam masyarakat.  Tapi China tampaknya merupakan pengecualian karena negara ini terus berkembang meskipun di dalamnya terjadi banyak represi terhadap kebebasan beragama. Tahun 2007, GDP-nya melampaui Jerman yang merupakan negara ketiga terkaya di dunia, dan di tahun 2008 sudah mendekati GDP Jepang. Banyak orang memprediksi China akan menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia tahun 2009. Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?

Saya tidak yakin China merupakan pengecualian. Skala ekonominya besar karena negara ini jumlah penduduknya  1,3 milar orang! Saya harus cek lagi angka yang tepat, tapi saya percaya, pendapatan per kapita China masih berada di bawah Botswana. China adalah negara yang miskin, dan orang China pada umumnya hidup miskin, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya seperti Jepang, Taiwan, Hong Kong, Thailand, bahkan Malaysia. Tapi jika Anda mengalikan 1,3 miliar penduduk itu dengan pendapatan per kapita yang kecil sekalipun, jumlahnya akan besar sekali.

Di Asia, negara-negara yang bebas (dalam area kebebasan beragama) pada umumnya jauh lebih makmur dari negara-negara yang tidak bebas. Saya percaya, pertumbuhan ekonomi China pada akhirnya akan melambat juga. Jika China terus berkembang pada level 8 – 9% per tahun dalam 20 tahun ke depan, maka saya akan mempertimbangkan kembali teori saya. Tapi pada saat ini China tidak punya bukti tersebut.

Anda telah melakukan kajian yang cukup luas mengenai kebebasan beragama di seluruh dunia. Menurut Anda, bagaimana kondisi umumnya, dan faktor apa saja yang menghalangi pertumbuhannya?

Secara keseluruhan, sudah terjadi peningkatan kebebasan beragama dalam 50 tahun terakhir ini sejak 1959. Di banyak negara komunis seperti di Eropa Timur, Amerika Latin dan di Sub-Sahara di Afrika juga telah terjadi peningkatan. Peningkatan pun terjadi di negara-negara Asia seperti di Korea Selatan dan Jepang. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya gelombang demokrasi pasca jaman kolonial.

Walaupun begitu, terjadi pula penurunan dalam 10-20 tahun terakhir ini. Situasi di beberapa negara komunis seperti di China, Vietnam, Laos, Kuba dan Korea Utara tidak berubah.  Sementara itu di negara-negara pasca komunis seperti Uzbekistan, Belarus dan Turkmenistan situasinya masih sama, mereka tetap bersikap represif. Selain itu terdapat banyak kekerasan komunal di Asia Selatan seperti di India, Srilanka dan beberapa negara lain. Seringkali berbagai kekerasan itu disebabkan oleh agama. Inilah yang merupakan problema utama.

Saya rasa, trend negatif utama dalam aspek kebebasan beragama di dunia saat ini disebabkan oleh meningkatnya gerakan Islam radikal di berbagai belahan dunia, yang merupakan berita buruk bagi kebebasan beragama, khususnya bagi minoritas dan sangat buruk bagi Islam itu sendiri. Penting untuk diketahui bahwa kebebasan beragama dapat mempengaruhi agama mayoritas selain juga agama minoritas. Seringkali penganiayaan agama dilakukan oleh mereka yang berasal dari agama yang sama, tapi dari aliran yang berbeda.

Indonesia tidak mendapat nilai yang terlalu baik dalam indeks kebebasan beragama yang dikeluarkan oleh Hudson Institute. Di situ tertulis bahwa masalah kebebasan beragama di Indonesia lebih disebabkan oleh meluasnya kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat, dan bukan karena tekanan dari pemerintah. Menurut Anda, bagaimana cara menangani hal ini?

Data yang kami buat berasal dari tahun 2007, saya rasa situasinya kini sudah membaik. Tapi memang, kekerasan oleh masyarakat dapat berdampak lebih buruk dibanding jika kekerasan itu dilakukan oleh negara. Dan jika itu yang terjadi, maka kekuatan negara  harus lebih besar. Dalam konflik di Maluku dan di Poso misalnya, dimana keberadaan tentara atau polisi?

Konflik semacam itu menimbulkan dua pertanyaan. Pertama, apakah militer cukup kuat?  Yang kedua, apakah militer berpihak pada salah satu golongan? Bagaimana mungkin kelompok paramiliter yang bersenjata lengkap bisa lepas dari pengawasan tentara? Ini berarti militer perlu memiliki kapasitas yang cukup, sehingga ketika ada kekerasan, mereka dapat segera mencegah dan menghentikannya. Selain itu, Anda pun perlu memberantas korupsi dan nepotisme.

Apakah masyarakat sipil dapat turut berperan serta?

Semua pemuka agama perlu mengajarkan para pengikutnya untuk tidak mengatasi perbedaan dengan kekerasan, tapi dengan diskusi yang terbuka dan penuh persahabatan. Faktor persahabatan memegang peranan yang sangat penting. Demikian pula dengan komunikasi. Hal ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintah, tapi oleh para pemuka agama.  Penting pula bagi masyarakat untuk tidak hidup terkotak-kotak secara homogen, tapi hidup bersama sebagai sahabat dalam kemajemukan, sehingga perbedaan yang muncul tidak akan diselesaikan dengan cara kekerasan.

Apa dasar bagi orang Kristen untuk menerapkan kebebasan beragama?

Alkitab tidak secara kaku menyatakan semua prinsip dari kebebasan beragama, tapi itu adalah sesuatu yang harus kita kembangkan dan pahami sebagai orang Kristen. Perspektif tersebut harus bersifat universal, dimana prinsip yang ingin diterapkan pada kita harus dapat diterapkan pula pada orang lain. Saya percaya Tuhan ingin semua orang bisa bebas berpaling kepada-Nya. Mereka mungkin tidak bersedia berpaling kepada-Nya, tapi mereka harus memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan tersebut.

Di satu sisi, orang Kristen harus mendukung kebebasan beragama, tapi di sisi lain mesti menghadapi  isu-isu yang dianggap salah seperti perkawinan antar agama atau ajaran sesat. Bagaimana merekonsiliasi hal ini?

Kita harus menyatakan bahwa hal-hal tersebut salah dan kita perlu mengkritik orang-orang yang melakukannya. Tapi pada saat bersamaan, kita harus berani mengatakan bahwa kesalahan ini bukan urusan negara. Tentu saja jika sudah menyangkut hal-hal yang bersifat kriminal seperti mencuri atau membunuh, maka negara berhak ikut campur. Tapi jika itu menyangkut perkawinan antar agama atau ajaran sesat, maka negara tidak perlu terlibat. Negara tidak berhak menentukan apa yang benar dan apa yang salah berdasarkan sudut pandang suatu agama, karena negara tidak berhubungan dengan hati manusia. Hal itu merupakan otoritas eksklusif dari agama. **

(box)

Dasar Alkitab bagi Konsep “Kebebasan Beragama”

Dalam bukunya God and the Constitution: Christianity and American Politics, Paul Marshall memberikan dasar iman Kristen bagi kebebasan beragama.

Marshall menjelaskan dalam Perjanjian Lama, hal-hal yang kelihatan membatasi kebebasan beragama (pemujaan kepada allah-allah lain) merupakan perintah yang ditujukan kepada Israel secara eksklusif sebagai bangsa pilihan Allah. Itulah sebabnya Allah menunjukkan kecemburuan-Nya. Tapi bangsa-bangsa lain tidak pernah dilarang untuk menyembah allah mereka.

Kebebasan tersebut diberikan pula pada bangsa-bangsa lain yang hidup di antara orang Israel. Keluaran 22:21 menyatakan “Janganlah kautindas atau kautekan seorang orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir.” (lihat juga Kel 23:9, bandingkan dengan Imamat 19:33-34). Dasar bagi toleransi umat Israel adalah pengalaman mereka sendiri sebagai orang asing di Mesir. Karena itu pada waktu bangsa Israel menguasai Kanaan di jaman PL, mereka tidak pernah memaksakan kepercayaannya kepada umat lain.

Dalam Perjanjian Baru, kebebasan beragama tidak pernah didiskusikan secara khusus karena hal ini sudah dianggap umum. Orang-orang Kristen Yahudi di jaman PB tinggal dalam situasi yang multikultural. Karena itulah mereka diminta menjadi saksi, dengan asumsi bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk memeluk iman yang mereka yakini. Sementara itu dalam sejarah kekristenan, para bapa gereja seperti Tertulianus, Athanagoras, Laktantius dan Origen, secara konsisten selalu mengadvokasi toleransi bergama sebagai sebuah prinsip Kristen. **

Penulis

Grace Emilia, M.A.