IL News 026/2020
Puansari Siregar dari Institut Leimena menjadi pemantik diskusi pada acara Diskusi Beretika (Disket) yang diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), pada 9 Oktober 2020. Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Franky Tampubolon, Direktur Eksekutif ICRP. Ia menjelaskan bahwa diskusi beretika yang digelar dwimingguan ini merupakan upaya ICRP untuk membangun semangat perdamaian pada diri anak-anak muda dengan melakukan diskusi santai tapi berisi tentang sebuah buku atau film. Ia menambahkan, jika Indonesia sungguh-sungguh ingin maju, maka etika harus tampil di depan dan menjadi spirit bangsa.
Pada kegiatan yang diikuti oleh pemuda-pemudi dari Jakarta, Kalimantan, dan Sulawesi ini, Puansari membahas sebuah bab buku yang berjudul “Indonesia Tidak Butuh Toleransi”. Penulisnya menggugat istilah toleransi, karena secara etimologi ia berarti “membiarkan”. Ia mengusulkan “cinta kasih” sebagai gantinya, di mana manusia terlibat aktif dalam mengupayakan perdamaian termasuk memberikan ampunan pada sesama.
Puansari menilai apa yang disampaikan dalam bab buku tersebut adalah sebuah pemikiran kritis untuk beranjak dari sebuah kondisi di mana kita saling “membiarkan” yang cenderung bersifat pasif, pada anak tangga kedua di mana setiap orang terlibat aktif membangun perdamaian sesuai porsi masing-masing. Puansari menganalogikan toleransi sebagai orang yang sakit gigi. Pada satu titik tertentu, ketika ia tak lagi dapat menolerir kesakitannya, ia akan mengambil sebuah tindakan: entah mencabut atau menambalnya. Toleransi juga demikian: bagaimana jika seseorang tak lagi bisa menolerir praktik ibadah orang lain?
Dalam hal inilah cinta kasih sebagai sesama manusia diperlukan. Puansari menjelaskan bahwa sesungguhnya cinta kasih itu sudah dimiliki Indonesia. Sayangnya, ia belum dimaknai secara optimal, dan belum menjadi laku hidup. Ia menambahkan, bahwa sejatinya Pancasila yang menjadi dasar negara adalah cinta kasih itu sendiri. Orang yang ber-Pancasila, tidak akan mungkin menciderai kemanusiaan dengan merusak praktik keagamaan orang lain. Orang yang ber-Pancasila akan mengupayakan persatuan, mengerjakan keadilan, bermusyawarah demi mencapai mufakat bersama, beragama dengan beradab, dan mencintai kemanusiaan. Sayangnya, Pancasila kerap diabaikan–jika tidak dianggap penting. Sudah rahasia umum, jika Pancasila tidak mendapat tempat di bumi kelahirannya.
Jadi, apalah Indonesia memang tidak butuh toleransi? Mungkin yang Indonesia butuhkan adalah Pancasila yang mewujud nyata, dalam kebijakan pemerintah dan dalam relasi antarwarga negara. Pancasila adalah cinta kasih, yang harus terus dimaknai dan dipraktikkan.
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena