info@leimena.org    +62 811 1088 854
IL News 027/2020
13 Oktober 2020

Tuhan menciptakan umatnya berbeda-beda baik sebagai individu maupun kelompok merupakan kenyataan klasik normatif yang tidak terbantahkan selamanya. Interaksi dan kerja sama dengan semua kalangan dan golongan dalam era globalisasi merupakan kenormalan yang tak terhindarkan, bahkan mungkin menjadi rutinitas keseharian. Demikianlah Dr. Alwi Shihab, Senior Fellow Institut Leimena, mengawali materi yang disampaikannya pada Webinar “Berinteraksi dengan Nonmuslim: Perspektif Komunikasi Islam”.

Webinar yang berlangsung pada 13 Oktober 2020 ini, terselenggara atas kerja sama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda dengan Institut Leimena. Diikuti oleh 443 orang, webinar ini dibuka secara resmi oleh Dr. H.M. Tahir, MM, Direktur Pascasarjana IAIN Samarinda, yang menjelaskan bahwa Samarinda adalah sebuah kota yang sangat beragam, dari segi suku, agama, dan etnis. Kalimantan Timur adalah provinsi yang relatif aman. Hampir tidak ada gesekan. Jika ada gesekan, hal itu dapat dengan mudah diselesaikan. Di Samarinda sendiri terdapat berbagai macam organisasi dan lembaga keagamaan, termasuk Forum Kerukunan Umat Beragama. Oleh karena itu, beliau mengharapkan agar webinar yang berlangsung dapat semakin menguatkan makna keberagaman dan mengembangkan keilmuan di IAIN Samarinda secara khusus, dan di Indonesia pada umumnya. 

Matius Ho, MSc, Direktur Eksekutif Institut Leimena, melanjutkan sambutan pembukaan dengan mengungkapkan apresiasi atas kolaborasi yang terjalin dengan IAIN Samarinda. Ia menjelaskan bahwa topik webinar ini sangat relevan dengan bulan Oktober sebagai momen perayaan Hari Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda terwujud karena adanya komunikasi di antara orang dengan suku dan agama yang berbeda. Indonesia yang majemuk lahir karena adanya kemauan dan kemampuan komunikasi, melampaui perbedaan. Hal ini sesuai dengan misi Institut Leimena untuk menjalin peradaban Indonesia dalam masyarakat yang majemuk.

Selama 20 menit, Alwi Shihab menjelaskan prinsip komunikasi dengan yang berbeda, dengan mengacu pada sejarah Islam dan Alquran, yang mengatakan bahwa hubungan dengan nonMuslim pada dasarnya adalah kebaikan, sesuai dengan budi pekerti Rasulullah. Ketika Nabi ada di Madinah, ada kelompok Kristen yang berada di Najran, yang datang mengunjungi Nabi dan diterima dengan baik. Mereka duduk bersama Nabi, berbincang tentang agama. Bahkan, mereka dipersilakan oleh Nabi untuk melaksanakan ritual mereka di masjid. Ini adalah gambaran hubungan yang indah dan baik sekali di antara kedua belah pihak.

Pemaparan Alwi Shihab ini direspons oleh peserta dengan menyampaikan pertanyaan dalam sesi tanya jawab yang dipandu oleh Dr. H. Fuad Fansuri, L.c., M.Th.I, Prodi Magister Komunikasi Penyiaran Islam, IAIN Samarinda.

Pada akhir acara, Alwi Shihab mengajak seluruh peserta untuk terus bergiat mencari ilmu. Pengalaman Alwi Shihab yang meraih 2 gelar master dan doktoral, merupakan gambaran kecintaannya pada ilmu agar dapat berkontribusi secara relevan pada kondisi jaman. Membaca buku hendaknya dijadikan sebuah gaya hidup sehingga wawasan kita semakin luas. Bacalah semua buku–yang berbeda sekalipun–untuk menajamkan pengertian kita. Terbukalah, dengarkan pandangan orang, demikianlah Alwi Shihab menutup acara webinar ini.

Pesan penutup yang disampaikan Alwi Shihab, sesungguhnya berlaku bagi kita. Bukankah kemauan menggali ilmu dan keterbukaan pada pandangan yang berbeda sekalipun, adalah ciri manusia dan bangsa yang mengembangkan peradaban?

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena