IL News 016/2021
“Mahasiswa teologi bukan hanya calon pemimpin di gereja, tetapi juga pemimpin di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, ia perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memimpin jemaat untuk bersama-sama mewujudkan kebaikan bagi bangsa.”
Jakarta, 4 Januari 2021 – Institut Leimena bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Teologi Seminari Alkitab Asia Tenggara (STT SAAT) menyelenggarakan kuliah Pendidikan Kewargangeraan (PPKn) pada Agustus sampai November 2021. Sebanyak 33 mahasiswa mengikuti perkuliahan yang berlangsung setiap minggu.
Kelas PPKn diampu oleh Budi H. Setiamarga, Daniel Adipranata, dan Puansari Siregar dari Institut Leimena. Perkuliahan berlangsung secara daring dengan menggunakan zoom disertai beragam aktivitas seperti pemaparan materi dalam bentuk ceramah, diskusi kelompok, tanya jawab, tugas membaca, dan analisis cerpen atau puisi yang berkaitan dengan keimanan dan kemasyarakatan.
Sebelum memulai perkuliahan, mahasiswa diminta untuk membaca buku “Konstitusi dan Saya” (https://www.warganegara.org/blog/konstitusi-dan-saya/) yang berisi 12 bab tentang prinsip mendasar kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain konstitusi, cita-cita Indonesia, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Lewat buku tersebut, mahasiswa diharapkan dapat mengikuti perkuliahan dengan bekal pengetahuan dasar kewarganegaraan.
Sejumlah topik yang disampaikan dalam perkuliahan antara lain Kewarganegaraan yang Bertanggung Jawab, Narasi Kemajemukan Indonesia, Politik dan Iman Kristen, Indonesia sebagai Sebuah Gagasan, Konstitusi dan Hak Konstitusi. Topik-topik itu bertujuan agar mahasiswa sebagai calon rohaniwan memiliki kompetensi kewarganegaraan.
Para pemateri menegaskan mahasiswa teologi bukan hanya calon pemimpin di gereja, tetapi juga pemimpin di tengah masyarakat. Oleh karena itu, ia perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memimpin jemaat agar bisa mewujudkan kebaikan bagi bangsa.
Mahasiswa teologi juga perlu membuka mata dan telinga terhadap prinsip-prinsip kewarganegaraan, serta peka akan situasi dan kondisi yang dihadapi masyarakat. Jangan sampai menjadi pemimpin agama yang gagap ketika berhadapan dengan masalah-masalah riil jemaat di tengah masyarakat.
Dalam salah satu perkuliahan, Daniel Adipranata dari Institut Leimena menjelaskan bahwa Indonesia bukan seperti halte bus, dimana orang sekadar singgah dan berdiam diri, untuk menunggu perjalanan ke tujuan akhir. Indonesia sejatinya sebuah rumah yang Allah percayakan bagi umat-Nya untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan bagi setiap orang.
“Indonesia adalah Sabang sampai Merauke dan Miangas sampai Pulau Rote. Sebuah tanah dimana iman berpijak dan menghasilkan buah yang dapat dinikmati semua orang, tanpa terkecuali,” ujar Daniel.
Perkuliahan PPKn di STT SAAT diharapkan bisa melengkapi para calon pemimin agama agar menyadari bahwa umat Kristen seharusnya tidak memisahkan diri dari dunia. Umat Kristen tidak boleh berdiam diri atau berpangku tangan, sebaliknya dituntut untuk memiliki solidaritas atas segala sesuatu yang terjadi pada bangsa ini, serta berkontribusi aktif sesuai dengan peran dan konteks masing-masing.
(Mahasiswa STT SAAT mendengarkan perkuliahan PPKn yang dibawakan oleh Institut Leimena secara daring)
Salah seorang mahasiswa, Fentica Theresya, mengatakan perkuliahan PPKn yang dibawakan oleh Institut Leimena, membuat dirinya sadar akan peran rohaniwan sebagai pemimpin di gereja maupun masyarakat.
“Kita menjadi memiliki wawasan tentang negara kita sendiri yaitu Indonesia. Kita juga bisa menumbuhkan kecintaan terhadap tanah air dan menanamkan kebanggaan sebagai warga negara Indonesia kepada orang-orang yang ada disekitar kita termasuk orang yang akan kita layani,” ujar Fentica.
Senada dengan itu, mahasiswa lainnya, Evans Candra Putra, menuturkan proses perkuliahan PPKn mengajarkan untuk menjadi orang Kristen yang berdampak bagi bangsa dan negara. Seorang pengikut Kristus tidak boleh hanya berdiam diri dan mencari jalan aman saja, atau menghindari tanggung jawab sebagai warga negara.
“Seharusnya kita sebagai orang Kristen lebih peduli dan ikut serta dalam setiap kegiatan kewarganegaraan, dan terlebih lagi kita seharusnya menjadi garam dan terang dalam kehidupan kita sebagai warga negara ini,” kata Evans.
Sementara itu, Joshua Suciono Purnomo mengatakan negara dan religi (agama) bukan hal terpisah. Artinya, rohaniwan bukan hanya sebagai warga negara surga, tetapi juga warga negara di bumi. Dengan demikian, seorang rohaniwan tidak bisa berkecimpung hanya pada satu area melainkan ia harus bisa merangkul kedua area tersebut.
Testimoni lain disampaikan mahasiswa bernama Pyerwaya Karenina Syosyan Aer. Menurutnya, kesempatan belajar di kelas PPKn sangat membantu untuk melihat status quo dari kehidupan jemaat di Indonesia. Kekristenan memiliki peran penting, tapi umat Kristen terkadang ragu untuk bersaksi dan mengintegrasikan kehidupan kerohanian dengan statusnya sebagai warga negara.
“Saya senang jika di kelas ini pertumbuhan yang saya alami bukan hanya lewat pengetahuan dan informasi, tetapi juga bagaimana saya dan teman-teman berdiskusi untuk memberi pandangan tentang apa yang kita rasakan, apa kerinduan kita sebagai calon pemimpin dan juga warga negara dapat saling melengkapi satu sama lain,” ujar Pyerwaya. (IL/Pu/Chr)
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena