info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis 002/2015

Sebelum kita membicarakan strategi gereja dalam pemberantasan korupsi, pertama-tama harus jelas dulu definisi korupsi. Kedua, landasan teologis bagi keterlibatan gereja dalam pemberantasan korupsi. Ketiga, hambatan internal gereja untuk terlibat dalam pemberantasan korupsi.

I.  Definisi

 

Kata “korupsi” sering dipakai terlalu luas sehingga menjadi tidak jelas pula apa yang hendak diberantas. Lihatlah pemakaian kata korupsi untuk korupsi waktu. Juga yang tersamar adalah korupsi di perusahaan atau di gereja, yang saya lebih suka istilahkan sebagai manipulasi keuangan saja.

Yang menjadi obyek Komisi Pemberantasan Korupsi adalah korupsi yang dimaksud di sini bukan manipulasi atau ketidakjujuran dalam berbisnis biasa (etika bisnis), melainkan tindakan pegawai pemerintah atau pejabat negara yang memakai pengaruhnya untuk memengaruhi suatu kebijakan publik dengan akibat negara dirugikan atau seseorang (banyak pihak) diuntungkan.

Kata Latin corruptio juga berarti pembusukan. Korupsi mengakibatkan pembusukan profesi dan ekonomi. Meritokrasi tidak jalan. Posisi strategis diduduki oleh siapa yang bayar, tidak berbasis kompetensi dan kinerja. Ekonomi juga berbiaya tinggi, namun tidak berbasis kompetensi dan kinerja. Kualitas pembangunan rendah. Jembatan mudah roboh. Gedung sekolah ambruk. Aspal jalan lekas mengelupas. Jalan rusak dan kemacetan menyebabkan pengiriman barang tersendat.

Korupsi kita sangat rumit karena bukan lagi kasus perorangan. Korupsi dilakukan berjenjang dan berjemaah. Bawahan sampai atasan terlibat. Atasan yang melakukan korupsi dalam skala lebih besar membiarkan praktik korupsi bawahannya. Korupsi juga dilakukan dengan kerja sama para pejabat terkait, bahkan lintas sektoral. Pejabat korup berlindung di balik benteng institusi negara dan dengan leluasa melakukan tindak korupsi.

Praktik korupsi di negara kita sudah terstruktur, masif, dan sistematis, dilakukan berjenjang (dari atas ke bawah) dan berjemaah (bersama-sama).

Semuanya mahir dalam berbuat jahat,

Pejabat dan hakim minta uang suap,

dan pemuka masyarakat memaksakan kemauannya,

begitulah mereka bersekongkol bersama-sama. (Mi. 7:3, BIMK)

Seperti itulah kurang lebih situsasi korupsi di Indonesia. Pemberantasan korupsi  sebenarnya perang melawan struktur-struktur koruptif. Tidak banyak orang memiliki optimisme melihat Indonesia akan tergolong negara dengan tingkat korupsi yang rendah.

 

II.  Landasan teologis

 

Ada dua landasan teologis bagi partisipasi gereja dalam pemberantasan korupsi. Pertama, orang Kristen memiliki status kewarganegaraan ganda (dwikewarganegaraan). Warga Kerajaan Surga sekaligus warga kerajaan dunia. Konsekuensi moralnya, orang Kristen memiliki kewajiban kepada Tuhan sekaligus kepada negara. Dalam arti itulah memaknai ucapan Yesus, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat. 22:21). Memang contoh ini terkait membayar pajak. Namun, secara substansial, pemberlakuannya dapat diperluas. Sebagai warga negara, orang Kristen memiliki tanggung jawab politik untuk tidak membiarkan pembusukan negara melalui praktik korupsi yang meluas.

Landasan teologis kedua, apabila masyarakat sejahtera, orang Kristen di dalamnya juga dengan sendirinya akan sejahtera. Dalam arti itulah nubuat Yeremia berikut ini harus dimaknai, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang … sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7). Sejauh ini, Indonesia masih termasuk dua pertiga dari 175 negara terkorup (skor di bawah 50). Ada korelasi langsung antara korupsi dan kesejahteraan. Akibat korupsi yang merajalela, kapasitas sosial negara untuk menyejahterakan rakyat menjadi tidak efektif.

Menurut data BPS (Maret, 2014), penduduk Indonesia yang terbilang miskin dengan pendapatan Rp 302,735/kapita/bulan berjumlah 28,28 juta. Lalu, 68 juta penduduk Indonesia rentan jatuh miskin oleh guncangan ekonomi (jatuh sakit, bencana, kehilangan pekerjaan). Kondisi kelompok rentan miskin sama dengan kelompok miskin. Menurut data Bank Dunia, penduduk Indonesia dengan pengeluaran maksimal 2 dollas AS per hari berjumlah 125 juta jiwa. Yang paling dirugikan dalam korupsi memang akhirnya rakyat kecil yang kehilangan haknya untuk sejahtera. Di lingkungan Muslim moderat mulai diwacanakan “jihadis antikorupsi.” Apabila konsekuen dengan status dwikewarganegaraannya dan peduli dengan pengentasan kemiskinan, gereja seyogianya memiliki sikap jelas melawan korupsi sebagai salah satu problem bangsa. Kalau tidak, gereja akan dianggap indekos di republik ini.

(Bersambung)

Penulis

Pdt. Yonky Karman Ph.D. adalah pengamat masalah sosial dan pengajar di STT Jakarta. Atas karya dan kontribusi beliau, Harian Kompas memberikan penghargaan Cendekiawan Berdedikasi 2015. Paper Gereja dan Strategi Pemberantasan Korupsi ini ditulis dalam rangka Forum Strategis Gereja dan Politik, 9-12 Februari 2015..

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena