Civis 002/2015
III. Hambatan internal
Gereja sering merasa korupsi bukan soal penting dan mudah diselesaikan. Padahal, korupsi menjadi sebuah masalah bangsa. Ada tiga ilusi gereja yang membuatnya tidak memiliki kontribusi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pertama, korupsi adalah masalah di luar gereja. Sesungguhnya korupsi seperti penyakit parah menahun dan penderitanya sudah terbiasa hidup dengan penyakit itu. Dengan kata lain, gereja sebagai bagian dari masyarakat juga tidak terbebas dari penyakit masyarakat ini. Ditambah dengan sikap permisif masyarakat kita, gereja sangat toleran dengan perilaku korup dan ikut melestarikannya dalam praktik bergereja.
Kedua, gereja merasa cukup hanya berdoa bagi pejabat pemerintah (1Tim. 2:1-2). Bukannya syafaat tidak penting, melainkan doa saja tidak cukup.
Ketiga, apabila pejabatnya Kristen (sebagian orang menambahkan kriteria “lahir baru”), masalah korupsi dengan sendirinya akan beres. Lalu, gereja terlibat aktif mempromosikan kepala daerah atau anggota dewan beragama Kristen. Tentu gereja mendukung orang Kristen yang menjadi pejabat publik. Tetapi, harus diingat bahwa tidak ada korelasi langsung antara korupsi dan agama.
Berikut adalah 14 kota terkorup dari hasil survei 2010 (skor 0 berarti sangat korup dan 10 sangat bersih) dan perhatikan kota-kota yang mayoritas penduduknya religius.
1. Pekanbaru 3,61
9. Sorong 4,26
10. Jayapura 4,33
13. Jakarta 4,43
14. Mamuju 4,45
Perhatikan juga Indeks Persepsi Korupsi dari Transparency International bagaimana negara komunis indeksnya masih lebih baik daripada negara berketuhanan (0 berarti sangat korup, 100 berarti sangat bersih).
Negara Tahun Skor Peringkat
Indonesia/Tiongkok 2014 34/36 107/100 (dari 175 negara)
2013 32/40 114/80 (dari 177 negara)
2012 32/39 118/80 (dari 176 negara)
Korupsi tidak kenal agama. Kriteria utama pejabat publik seharusnya bersih, berintegritas, dan memiliki kompetensi. Syukurlah apabila dia Kristen, tetapi beragama lain pun tidak mengapa.
IV. Strategi
Strategi gereja apabila hendak berkontribusi dalam pemberantasan korupsi tidak bisa dipisahkan dari jati diri gereja. Gereja bukan LSM antikorupsi, melainkan sebuah lembaga keagamaan. Maka, dari gereja diharapkan kontribusi moral bagi pembentukan moralitas publik yang mengkritik perilaku korup dan mengembangkan perilaku jujur. Berikut ada tiga hal yang dapat dilakukan gereja.
Pertama, khotbah dan pengajaran gereja perlu lebih banyak menyinggung kesalehan publik. Gereja biasanya berurusan dengan kesalehan individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual terkait kepatuhan kepada larangan untuk tidak berbohong, tidak mencuri, tidak berzinah, menguduskan hari Tuhan, rajin berdoa, rutin memberikan persembahan, dst. Kesalehan yang berorientasi dunia akhirat dan ketenangan batin. Lalu, kesalehan sosial adalah menjadi Kristen seperti orang Samaria yang baik hati. Meski idealnya orang saleh akan menjadi pegawai yang baik, realitas sering berkata lain. Orang saleh saja belum cukup untuk menjadikannya pejabat yang baik. Banyak contoh memperlihatkan bahwa mereka yang menjadi pesakitan korupsi tadinya sosok yang dikenal saleh. Di lingkungan birokrasi yang korup, pertahanan moral Si Saleh terbukti rapuh. Kesalehan individual ataupun sosial seperti tidak berdampak langsung mencegah perilaku korup karena kesalehan itu sudah dijinakkan dan takluk kepada kekuatan-kekuatan koruptif.
Pada titik inilah saya berbicara tentang kesalehan publik terkait integritas dalam dunia kerja. Itulah kesalehan yang menopang profesi. Kesalehan publik memupuk daya kritis dan daya juang individu untuk melawan struktur-struktur koruptif. Kesalehan demikian membuat pejabat korup tidak berani mengajak Si Saleh melakukan korupsi berjemaah. Pemuka agama yang memelihara integritasnya akan menjaga jarak dari penguasa dan pengusaha agar selalu ada ruang untuk berkata dan bertindak benar. Saat pamit dari bangsa yang dipimpinnya, Samuel mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dengan menantang mereka untuk menunjukkan apakah ia pernah memeras mereka atau menerima sogok dari mereka (1Sam. 12:3). Tidak banyak pemimpin yang pada akhir jabatannya berkata, “Di sini aku berdiri. Bersaksilah melawanku.” Samuel berhasil mempertahankan integritasnya sebagai pemimpin bangsa.
Kedua, gereja dapat menyadarkan jemaatnya agar tidak mendukung ataupun membenarkan sikap koruptif pejabat publik. Sering gereja karena kemampuan finansialnya menganggap segala bentuk pemberian kepada pejabat publik sudah sewajarnya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang bergerak serius memerangi pungutan liar dengan memberi remunerasi layak kepada para pegawai negeri sipilnya. Ada peraturan bagi pegawai negeri sipil terkait menerima pemberian sebagai akibat layanan publik yang diberikannya. Mahkamah Agung mengeluarkan Pedoman Perilaku Hakim, 30 Mei 2006, yang isinya antara lain hakim boleh menerima hadiah atau fasilitas dari pemerintah daerah sejauh tidak memengaruhi kinerjanya dan tidak mengganggu independensinya selaku hakim. Selain itu, nilai pemberian harus dalam kategori wajar dan setiap pemberian harus dilaporkan secara tertulis ke KPK dan Ketua Muda Pengawasan MA, paling lambat 30 hari sejak diterimanya.
Dengan kultur korup yang masih melekat pada birokrasi kita, pemberian kepada pejabat publik memang rawan ke arah korupsi. Gratifikasi adalah pemberian kepada pegawai pemerintah atau pejabat negara karena kapasitasnya sebagai pejabat publik. Memang pemberian kepada pelayan publik tidak selalu berarti suap. Namun, pemberian semacam itu bukan tanpa pengaruh. Tidak seperti bahasa lain, bahasa Indonesia memiliki cara ungkap yang unik untuk merespons pemberian orang lain. Si penerima mengucapkan “terima kasih,” gabungan dua kata yang masing-masing sudah memiliki arti sendiri (“terima” dan “kasih”). Menerima pemberian orang lain diakui seperti menerima (ungkapan) kasih, ungkapan hati. Sesuatu yang tidak kasat mata menjadi terlihat dalam rupa pemberian. Karena itu, bagi orang Indonesia, pemberian dapat bisa dimaknai mendalam agar di penerima tidak dianggap buta kasih. Sedikit banyak orang yang menerima pemberian merasa berutang budi dan termotivasi untuk membalasnya langsung ataupun tidak langsung, seketika ataupun nanti. Dalam arti itu, pemberian menjadi tidak netral. Maka, undang-undang kita mengharamkan gratifikasi untuk pegawai pemerintah. Logikanya begini. Menerima pemberian namun tidak membalasnya juga tidak baik. Karena itu, menolak pemberian amat penting untuk menjaga integritas pelayan publik. Tidak ada makan siang gratis. Jika tidak mau berutang budi, beranilah untuk menolak pemberian yang tidak jelas maksudnya.
Hubungan yang terbentuk antara si pemberi dan si penerima (pejabat publik) sebelum pemberi mengalami masalah hukum ibarat suap dalam bentuk ijon. Dalam arti itulah teks berikut dimaknai.
Hadiahsuapan adalahsepertimestikadimatayangmemberinya,
kemana juga ia memalingkan muka ia beruntung. (Ams. 17:8)
Hadiah memberi keluasan kepada orang,
membawa dia menghadap orang-orang besar. (Ams. 18:16)
Orang-orang besar (gědolim) di sini maksudnya pembesar (Yun. 3:7; Mi. 7:3; Na. 3:10), orang yang berpengaruh karena termasuk lingkaran dekat raja (2Sam. 7:9; 2Raj. 10:6; Yer. 5:5; 52:13; menjadi nama kelompok “Gedolim” dalam Neh. 11:14).
Hadiah orang (mattan-’adam) memberi keluasan bagi si pemberi dan membawa dia menghadap orang-orang besar (hifil rḥb dalam Kej. 26:22 “memberikan kelonggaran”; Mzm. 4:2 “memberi kelegaan”). Pemberi hadiah yang dimaksud amsal tampaknya dalam keadaan tertekan, sehingga pemberian itu menguntungkan bagi dirinya. Maka, hadiah di sini bukan tanpa pamrih. Amsal ini tidak mendorong orang memberi suap, hanya mengakui realitas bahwa pembesar senang menerima hadiah dan orang yang tahu memberi hadiah yang disukai pejabat sedang menanam budi.
Gratifikasi, apalagi suap, merusak fairness dan profesionalisme. Seharusnya semua orang sama kedudukannya di muka hukum, namun suap membuat pedang hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Berikut pesan Musa kepada para hakim.
Dalam mengadili jangan pandang bulu,
baik perkara orang kecil maupun perkara orang besar harus kamu dengarkan.
Jangan gentar terhadap siapa pun,
sebab pengadilan adalah kepunyaan Allah. (Ul. 1:27)
Tetapi, suap “membelokkan jalan hukum” (Ams. 17:23), “memutarbalikkan keadilan” (1Sam. 8:3), “membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar” (Ul. 16:19), “menjadikan orang benar terjepit … mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang” (Am. 5:12), membuat para pemimpin “tidak membela hak anak-anak yatimdan perkara janda-janda tidak sampai kepada mereka” (Yes. 1:23). Suap dapat menguntungkan orang yang salah dan merugikan orang yang tidak salah (Yes. 5:23; Mzm. 15:5), bahkan bisa membunuh yang tidak bersalah (Ul. 27:25; Yeh. 22:12).
Akhirnya, gereja hanya bagian kecil dari bangsa ini. Secara jumlah, apabila mayoritas beres, sebenarnya banyak masalah di negeri ini juga akan beres. Kalau hendak berperan dalam pemberantasan korupsi, gereja harus bergandengan tangan dengan organisasi apa saja dan siapa saja yang memiliki komitmen kuat terkait hal itu. Minimal, berilah dukungan moral untuk perjuangan melawan korupsi. Jangan sampai, apabila suatu hari negeri ini menjadi seperti Singapura, ternyata tidak ada andil gereja di situ.
Penulis
Pdt. Yonky Karman Ph.D. adalah pengamat masalah sosial dan pengajar di STT Jakarta. Atas karya dan kontribusi beliau, Harian Kompas memberikan penghargaan Cendekiawan Berdedikasi 2015. Paper Gereja dan Strategi Pemberantasan Korupsi ini ditulis dalam rangka Forum Strategis Gereja dan Politik, 9-12 Februari 2015.
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena