info@leimena.org    +62 811 1088 854

Civis 005/2016

Memberdayakan Warga Untuk Membangun Kehidupan Politik

Setelah melihat perubahan paradigma pada lingkungan eksternal serta implikasinya, lantas bagaimana respon gereja sebagai terhadap perubahan di lingkungan eksternal ini?

Dengan perubahan paradigma diatas, pemberdayaan warga menjadi amat penting. Sebagai struktur mediasi, gereja tidak perlu ikut memperebutkan jabatan pemerintahan, bahkan harus menjaga independensinya. Tapi gereja perlu ikut memberdayakan warganya untuk membangun kehidupan politik yang bermoral serta sesuai dengan cita-cita bangsa ini.

Johannes Leimena (1955) mengatakan bahwa orang-orang Kristen memiliki dwi kewarganegaraan, yaitu sebagai warga negara dalam dunia ini dan warga dari Kerajaan Kristus. Maka dalam pemberdayaan warga gereja, pertanyaannya adalah: “Bagaimanakah kita dapat hidup sebagai orang Kristen yang sejati dan sebagai warga negara yang sejati dan yang bertanggung jawab.”

Untuk melakukan peran pemberdayaan ini, gereja dapat memulai dari modal yang ada. Dalam fungsinya sebagai struktur mediasi yang membawa nilai-nilai dalam masyarakat, Alkitab adalah modal utama sebagai pedoman hidup dan sumber pengajaran dalam gereja.

Dalam negara Pancasila, setiap umat beragama perlu ikut memberikan landasan moral bagi bangsa ini melalui nilai-nilai agamanya masing-masing. Bagi umat Kristen, nilai-nilai ini bersumber pada Alkitab. Oleh karena itu, respon pertama yang dapat dilakukan gereja ialah terus melatih warganya untuk memahami Alkitab serta menerapkan prinsip-prinsipnya dalam kehidupan pribadi dan publik.

Respon pertama ini kedengarannya sederhana. Tapi dalam pelayanannya di berbagai belahan dunia, tokoh gerejawan Pdt. John Stott sering mendapat keluhan dari para pemimpin Kristen bahwa banyak terjadi “pertumbuhan, tanpa pendalaman”.

Gereja bertambah jemaatnya, tapi kurang dibina menjadi dewasa dalam pemahaman Alkitab. Kesadaran ini mendorongnya untuk melatih para pengkhotbah untuk meningkatkan kualitas khotbahnya. Logikanya, gereja bertumbuh melalui Firman Tuhan, sedangkan jemaat gereja terutama mendengar Firman Tuhan melalui khotbah.

Jika respon pertama mengacu kepada bagian pertama dari pertanyaan Johannes Leimena (“sebagai orang Kristen yang sejati”), bagaimana dengan bagian keduanya (“sebagai warga negara yang sejati dan yang bertanggung jawab”)?

Respon kedua adalah gereja dapat mendorong dan memfasilitasi warganya untuk belajar menjadi warga negara yang bertanggungjawab. Gereja memiliki struktur organisasi dan sistem manajemen yang dapat mendukung proses belajar ini. Gereja juga memiliki jemaat, yaitu anggota masyarakat yang siap digerakkan untuk belajar menjadi warga negara. Peran gereja sebagai katalisator dan fasilitator dalam proses ini menjadi penting.

Partai-partai politik yang seharusnya melakukan pendidikan politik ini bagi masyarakat seringkali hanya menjadi alat merebut kekuasaan. Oleh karena itu, gereja dengan infrastrukturnya sampai ke desa-desa dapat mendukung proses pemberdayaan warga ini. Atas dasar pemikiran inilah, Institut Leimena mengembangkan tiga serangkai program yang selama ini dilakukan yaitu: Pendidikan Warga, Diskusi Warga, dan Suara Warga.

(Disampaikan dalam Seminar Gereja dan Politik Pasca Orde Baru yang diadakan Yayasan Oase Intim di Makassar, 13 Februari 2012)

Penulis

Matius Ho, M.S.  Direktur Eksekutif Institut Leimena; Wakil Sekretaris Yayasan Akademi Leimena (2000-2005); Lulusan University of Wisconsin – Madison (USA) tahun 1997; dan London Institute for Contemporary Christianity (UK).

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena