info@leimena.org    +62 811 1088 854

Civis 004/2016

II. Capaian dan Kekurangan

Reformasi Indonesia, berkat dukungan dan kearifan semua pihak, telah berlangsung secara damai dan berhasil. Proses amandemen telah terjadi dalam semangat kekeluargaan, berlangsung terbuka, bertahap dan berkesinambungan selama 4 tahun, 1999 – 2002. Kecuali satu keputusan tentang keberadaan anggota MPR yang diangkat dari utusan Golongan, semua keputusan telah dapat diambil secara musyawarah mufakat.

Demikianlah Indonesia, negara belasan ribu pulau, ribuan suku, ratusan bahasa daerah, semua agama (besar) di dunia dan ratusan aliran kepercayaan, dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 dunia setelah RRC, India dan Amerika Serikat, dan berpenduduk beragama Islam terbesar di dunia telah berubah menjadi negara demokrasi secara damai dan utuh. Bandingkan dengan perpecahan (balkanisasi) yang terjadi di Uni Soviet, Cekoslowakia (menjadi Ceko dan Slowakia), Yugoslavia  (menjadi republik-republik Kroasia, Slovenia, Bosnia Herzegovina dan Makedonia, dll) atau pergolakan di Mesir, negara-negara Arab Spring, Thailand atau proses di Myanmar yang belum tuntas.

Hanya sedikit negara mampu melakukan reformasi yang fundamental secara damai dan cepat (a.l. Tim Lindsey, 2004; Edward Schneier, 2007). Banyak literatur menilai bahwa proses amandemen di Indonesia adalah sebuah keajaiban (a.l. Alfred Stephan, 2005; Mirjam Kunkler and Alfred Stephan, 2013).

Selama dua windu ini, pemilihan presiden secara langsung dan pemilihan umum telah dilaksanakan teratur, damai dan demokratis pada tahun 2004, 2009 dan 2014. Dunia internasional mengakui bahwa pilpres dan pemilu telah berlangsung demokratis, damai dan fair.

Kebebasan pers, kebebasan akademik, kebebasan berserikat, dan penghargaan atas HAM cukup baik.

Demokrasi kita bukan demokrasi majoritas yang berdasarkan kehendak mereka yang terbanyak. Dalam demokrasi konstitusional, semua kebijakan dalam negara harus sesuai dengan UUD 1945. Semuanya, pemerintah dan warga tunduk kepada aturan hukum yang berinduk kepada UUD 1945 sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land).

Dengan perkataan lain, yang menjadi penentu sebuah kebijakan (policy, termasuk UU) dan tindakan bukanlah pendapat dan kehendak yang terbanyak (majoritarian) tetapi ketentuan UUD 1945.

Oleh karena UUD 1945 berlandaskan Pancasila, menganut paham kebangsaan yang bhinneka-tunggal-ika dan menghargai hak-hak asasi manusia, maka segala kebijakan harus sesuai dengan prinsip dan ketentuan dasar itu. Pembuatan sebuah kebijakan, misalnya pembuatan undang-undang atau peraturan daerah, selain harus melalui prosedur yang demokratis, substansinya, langsung atau tidak langsung, harus sesuai dengan ketentuan UUD 1945.

Dalam kurun waktu ini, Indonesia telah tumbuh dari ekonomi terbesar ke-16 pada tahun 2011 menjadi ekonomi terbesar ke-10 dunia (GDP-PPP), setelah AS, Tiongkok, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brasil, Perancis, dan Inggris (World Bank 2014). Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tergolong tinggi (5.8%, World Bank 2013). Indeks pembangunan manusia (HDI – Human Development Index) terus membaik, dari 0.540 pada tahun 2000 menjadi 0.629 pada tahun 2012 (UNDP 2013). Artinya jangkauan ketersediaan sarana pendidikan, kesehatan dan sejenisnya telah semakin membaik.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada tahun 2015 berkisar 5,8 – 6,0 %, turun dibanding TPT rata-rata tahun 2002 sebesar 9,06 % dan TPT tahun 2005 sebesar 10,26 % (Diolah dari berbagai laporan BPS).

Persentase orang miskin juga menurun dari 24 % pada 1999 menjadi 13,3% pada tahun 2010 dan 11,3% pada 2014 (World Bank, 2014)

Insiden pertikaian antar agama masih sering terjadi tetapi cenderung menurun dari 250-an insiden pada tahun  2008 menjadi  150-an pada tahun 2014 (Wahid Institute, 2014; Setara Institute, 2014). Ancaman dan gangguan keamanan juga jauh berkurang.

Hubungan antar-penganut agama terus membaik dan meningkat dan mulai menjangkau ke akar rumput. Dan sebagainya.

Disisi lain, kebebasan berpendapat dan menulis, keterbukaan informasi serta penghargaan atas hak-hak asasi manusia di Indonesia tergolong baik.

Capaian diatas membuktikan ketidakbenaran pendapat bahwa pembangunan di negara berkembang hanya akan berhasil apabila ditopang oleh sistim pemerintahan otoriter yang mengutamakan ketertiban dan stabilitas dan tidak mementingkan bahkan sering mengorbankan kebebasan dan hak-hak dasar anggota masyarakat, sebagaimana sering diadvokasikan kaum developmentalist.

Namun, disamping berbagai capaian yang menggembirakan itu,  kita masih menyimpan berbagai kelemahan dan keterbelakangan yang serius yang perlu diatasi dengan segera dan harus dikerjakan dengan pendekatan sistemik.

Masih banyak ketentuan peraturan perundangan yang tidak kongruen atau bahkan menyimpang dari ketentuan UUD 1945. UU no. 25/2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU no. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025 misalnya tidak kokoh memadukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional diseluruh sektor dan wilayah negara kesatuan dan tidak kokoh juga mengikuti prinsip-prinsip pembangunan yang ditetapkan dalam UUD 1945.

Hubungan pusat-daerah terganggu akibat penerapan keliru prinsip otonomi daerah oleh UU Pemerintahan Daerah. Berbagai peraturan, termasuk peraturan daerah (perda), yang isinya yang diskriminatif, bertentangan dengan UUD sebagai hukum tertinggi,  tetap dibiarkan.

Masalah kemiskinan, kesenjangan sosial dan antar wilayah (spatial), kepastian hukum dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, dan banyak lagi juga belum teratasi.

Ketertampakan kesenjangan sosial (demonstrative effect) akibat kesenjangan pendapatan menguat. Pertumbuhan ekonomi masih tidak cukup kuat dikaitkan dengan pemerataan. Secara keseluruhan kesejahteraan masih jauh dari harapan.

Jumlah orang miskin (absolut) masih (sangat) besar. Pada tahun 2013, 13 % penduduk masih hidup dalam kemiskinan, dan 40 % rumah tangga lainnya hidup sedikit di atas garis kemiskinan dan rentan untuk jatuh ke dalam kemiskinan. (World Bank, 2013).

Jumlah masyarakat miskin perkotaan di kota-kota besar semakin meningkat, terutama karena Indonesia mengalami urbanisasi yang pesat. Saat ini sekitar 54 persen populasi hidup di kota besar. Ini diproyeksikan akan meningkat hingga 67 persen di tahun 2025. Oleh karena itu, kemiskinan perkotaan diproyeksikan akan melebihi kemiskinan pedesaan di tahun 2020. (BPS, 2010).

Keutuhan pola perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional melemah. Sinkronisasi pembangunan secara sektoral dan teritorial hampir lenyap.

Ide radikal untuk menjadikan Indonesia negara berdasar Islam muncul kembali, baik dalam gerakan penyiaran ajaran maupun dalam berbagai bentuk terorisme dan gerakan anarki/kekerasan, seperti teror bom Sarinah beberapa waktu lalu dan kegiatan kelompok teroris Santoso ISIS di Poso yang masih terus aktif.

Jaminan hak beragama yang diakui UUD 45 belum tegak sebagaimana harusnya. Diberbagai tempat, intoleransi diantara warga yang berbeda keyakinan meningkat. Demikian juga tindakan aparat didaerah tertentu. Kaum Ahamdiyah, Shiah, Kristen disana-sini masih terus mengalami tekanan dan diskriminasi.

Bahkan dikalangan dunia pendidikan terdapat tanda-tanda penurunan toleransi akibat sistim pendidikan yang tidak taat asas kepada UUD 45.

Sebagai negara Pancasila kita menempatkan agama-agama dan adat istiadat yang sangat beragam itu sebagai sumber etik, moral, dan spiritual hukum kita. Aturan hukum juga perlu memfasilitasi praktek menjalankan iman masing-masing penganut agama tanpa mencampuri iman agama-agama itu sendiri. Negara perlu memfasilitasi keperluan hari ibadah, seperti Natal, Idul Fitri, Waisak dan sebagainya, sebagai hari libur, agar warga yang menghormatinya dapat menghormatinya tanpa harus melanggar ketentuan hari kerja.

Tetapi negara tidak boleh mengharuskan warganya untuk ke gereja, ke mesjid atau ke pura untuk merayakan hari besar itu. Negara bisa memfasilitasi adanya bank syariah, tetapi negara tidak boleh mewajibkan umat Islam untuk menggunakan bank syariah dan untuk menempatkan hukum bank syariah itu dibawah hukum agama.

Tetapi negara tidak boleh mengharuskan warganya untuk ke gereja, kemesjid atau ke pura untuk merayakan hari besar itu. Negara bisa memfasilitasi adanya bank syariah, tetapi negara tidak boleh mewajibkan umat Islam untuk menggunakan bank syariah dan untuk menempatkan hukum bank syariah itu di bawah hukum agama.

Ada batas-batas antara forum internum (ruang iman dan pribadi) dengan forum externum (ruang publik bersama) yang mudah dicari,  seperti contoh diatas. Tetapi banyak juga yang belum kita temukan dimana batas itu ditarik, misalnya dalam materi RUU Zakat, RUU Halal dan RUU Kerukunan Umat Beragama. Disinilah diperlukan usaha pencarian yang terus menerus secara bersama-sama, inklusif, dengan jujur, saling menghargai dan terbuka.

Disiplin sosial masih terus melemah, tercermin dari kebiasaan lalu-lintas yang semrawut, kebiasaan menerabas yang membudaya.

Penegakan hukum masih sangat memprihatinkan. Korupsi masih terus berjalan. Dari 145 negara didunia, dimana urut ke 145 adalah yang paling korup, Indonesia menempati urutan 117 negara paling korup.

Organisasi pemerintahan tidak cukup handal untuk mencegah korupsi sementara ganjaran hukum bagi koruptor tidak ditakuti karena aparat penegak hukum, termasuk peradilan tidak berfungsi sebagaimana harusnya.

Hukum tidak hanya tidak cukup tajam di kalangan atas, tetapi juga sangat lemah di kalangan masyarakat umum, di kota dan di pedesaan.

Berbagai masalah itu menggambarkan tantangan besar dan sangat bersifat kualitatif, yang harus diatasi. (bersambung)

(Disampaikan pada Forum Strategis Gereja dan Politik (FSGP), Jakarta, 7-9 April 2016)

Penulis

Drs. Jakob Tobing, MPA. President Institut Leimena; Program Doctorate – Van Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden; Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004 – 2008); Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945 (1999-2002); Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU, 1999-2002); Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI, 1999); Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu, 1992); Anggota Panwaslu (1987); Anggota DPR/MPR (1968 – 1997, 1999 – 2004).

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena