✉ info@leimena.org    +62 811 1088 854

Para panelis diskusi akademik yang diadakan oleh kampus papan atas Amerika Serikat (AS), Berkley Center for Feligion, Peace, and World Affairs, Georgetown University di Washington DC.

Jakarta, IL News – Program literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) di Indonesia telah menjadi best practices (praktik terbaik) bagi banyak kalangan dalam membangun pendidikan toleransi dan saling menghormati. Gagasan-gagasan yang menjadi kekuatan sekaligus kunci kesuksesan dalam program LKLB di Indonesia diangkat sebagai topik utama dalam sebuah diskusi panel akademik di Georgetown University, salah satu kampus papan atas di Washington DC, Amerika Serikat.

Diskusi tersebut diadakan pada 29 Januari 2024 oleh Berkley Center for Religion, Peace, and World Affairs di Georgetown University bekerja sama dengan G20 Interfaith Forum atau Forum Lintas Agama G20 dengan judul “Tolerance and Respect: Educational Paths in Indonesia”.  Fokus pembahasan adalah program LKLB di Indonesia yang dinilai inovatif dan berpotensi memiliki implikasi lebih luas.

Para panelis diskusi terdiri dari Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, Presiden G20 Interfaith Forum, Prof. W. Cole Durham, Jr., Senior Fellow Comparative Religion in University of Washington, Henry M. Jackson School of International Studies, Dr. Chris Seiple, dan Senior Fellow di Berkley Center dan Executive Director of the World Faiths Development Dialogue, Katherine Marshall.

Profesor Durham membuka diskusi dengan memperkenalkan konsep LKLB yang digambarkan sebagai kompetensi dan keterampilan praktis yang penting untuk terlibat dalam perbedaan agama dan budaya. Ini berbeda dengan pandangan literasi keagamaan hanya untuk memperoleh pengetahuan tentang agama lain.

“LKLB memiliki potensi tidak hanya untuk konteks Indonesia, tapi dapat menjadi alat penting untuk membantu menangani tujuan pembangunan berkelanjutan PBB, yang banyak di antaranya sejalan dengan perhatian dan tujuan yang telah lama dimiliki komunitas agama sebelum negara-bangsa terbentuk,” katanya.

Georgetown University merupakan lembaga pendidikan tinggi Katolik dan Jesuit tertua di Amerika Serikat. Berkley Center for Religion, Peace, and World Affairs yang didirikan tahun 2006 di bawah Georgetown University, menggabungkan penelitian dan pengajaran dengan keterlibatan internasional untuk mempromosikan pemahaman antarbudaya dan antaragama dalam rangka melayani kebaikan bersama.

Para siswa dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magetan, Jawa Timur, berkunjung ke salah satu pura di Magetan sebagai bagian dari inisiatif guru untuk penerapan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya.

Melampaui Basa-basi

Mengenai dampak LKLB yang cepat dan transformatif di Indonesia, Chris Seiple menyampaikan sejumlah elemen kunci. Pertama, LKLB memungkinkan orang untuk mengekspresikan substansi sepenuhnya dari identitas iman mereka tanpa khawatir menyinggung orang lain secara tidak sengaja, sehingga memungkinkan keterlibatan bermakna. Kedua, LKLB tidak dipaksakan melainkan diterima secara sukarela dengan memberdayakan lembaga dan kepemimpinan lokal. Ketiga, keuntungan praktis dari program LKLB di Indonesia sangat nyata berupa pengembangan profesionalitas guru lewat sertifikat yang menjadi insentif buat para peserta.

“Setiap orang memiliki keinginan untuk dapat mengekspresikan identitas iman mereka secara utuh tanpa menyinggung siapa pun. Kerangka kerja ini membantu orang mengekspresikan substansi penuh dari keyakinan mereka dan terlibat dengan cara yang aman,” kata Chris Seiple.

Dia menambahkan LKLB mengajarkan tiga kompetensi inti yaitu memahami ajaran atau keyakinan sendiri, memahami apa yang dikatakan keyakinan orang lain tentang liyan (sesama), dan membangun keterampilan kolaborasi lintas agama. LKLB juga mengajarkan keterampilan praktis seperti evaluasi, negosiasi, dan komunikasi.

“LKLB menggerakkan diskusi melampaui basa-basi atau klise menjadi pemahaman bersama yang bernuansa. Ini memberikan kompetensi dan keterampilan mengenai cara terlibat dengan orang-orang yang tidak terlihat bertindak, memilih, atau berdoa seperti Anda,” kata Chris Seiple.

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, membagikan pengalaman Indonesia dalam melaksanakan program LKLB yang dinilai sebagai upaya inovatif untuk membangun kolaborasi lintas agama.

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan program LKLB di Indonesia dimulai sejak 2021, berisi langkah pertama yaitu pelatihan pengenalan LKLB secara daring selama lima hari dengan modul yang berbeda untuk setiap agama antara lain modul untuk guru beragama Islam, Kristen, Buddha, dan saat ini sedang menyelesaikan modul Hindu dan Konghucu.

Langkah kedua, program alumni, yaitu mengadakan berbagai kegiatan untuk guru alumni pelatihan pengenalan LKLB sebagai sebuah komunitas yang bertumbuh. Diantaranya, workshop LKLB untuk pengembangan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang menginsersikan nilai-nilai LKLB, pendalaman materi-materi LKLB, merekam dan mengirimkan video mengenai praktik LKLB yang mereka lakukan di dalam kelas, dan lainnya.

“Dalam kurun dua tahun program LKLB di Indonesia telah menjangkau lebih dari 7.000 guru dari 34 provinsi dan terus bertambah,” kata Matius Ho.

Sementara itu, Katherine Marshall menegaskan literasi keagamaan luar biasa yang dicontohkan dalam program LKLB di Indonesia sangat dibutuhkan di dunia untuk memungkinkan komunikasi yang efektif dan penyusunan kebijakan yang bermakna. Menurutnya, dimensi keagamaan adalah kekuatan nyata, tapi sering kali tidak diakui, yang membentuk masyarakat dan geopolitik secara global sebesar 85% populasi dunia terafiliasi dengan agama. Tapi, sebagian besar diplomasi dan kebijakan publik tidak menyebutkan agama.

Marshall memuji kemampuan program LKLB di Indonesia yang dinilainya sebagai bagian penting dari budaya, politik, dan masyarakat Indonesia. Dia menambahkan program LKLB bisa berkontribusi signifikan dalam dua isu spesifik yang sedang diupayakan oleh G20 Interfaith Forum yaitu pertama, kesiapan dan pemulihan sosial pasca pandemi Covid-19 karena kegagalan sistem pendidikan untuk membangun kewarganegaraan, karakter, dan kohesi sosial. Kedua, konsep keterlibatan strategis keagamaan untuk membawa suara keagamaan ke dalam agenda global. [IL/Chr]

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena

@institutleimena

Warganegara.org

@institutleimena

Warganegara.org

✉ info@leimena.org
+62 811 1088 854
Loading...