Civis 003/2016
IV. Sikap Kristen Terhadap Politik
Sudah jelas, politik sebagai kemampuan untuk hidup bersama di dalam polis tidak terhindarkan, kecuali gereja dan orang Kristen hanya mau hidup dalam ghetto. Kalau begitu orang Kristen memang harus menceburkan diri ke dalam kehidupan politik Indonesia. Suara-suara kenabian yang disampaikan oleh gereja-gereja adalah bagian dari sikap kritis itu. Itulah sikap politik gereja. Gereja memperkembangkan suatu politik moral. Dengan ini jelas bahwa gereja tidak dapat mengidentikkan diri dengan partai-partai politik, termasuk partai politik Kristen.
Gereja yang dimaksud di sini adalah institusi, yang dalam derajat tertentu ditubuhkan oleh para pemimpinnya. Para pemimpin gereja tidak patut menghisabkan diri dengan sebuah partai politik, sebab dengan demikian dia akan menjadi partisan, yang lambat atau cepat akan menghalangi pelayanannya sebagai pemimpin dan gembala. Harus disadari bahwa anggota-anggota jemaat mempunyai pilihan politik mereka masing-masing sesuai dengan panggilan nuraninya. Apabila seorang pemimpin gereja merupakan bahagian dari partai A, maka anggota jemaatnya yang tergabung dalam partai B dengan mudah akan mencurigainya. Bahkan setiap pemberitaan yang dilakukannya dicurigai sebagai mempromosikan program-program partai sang pemimpin gereja tersebut.
Kalau begitu siapakah yang didorong untuk melakukan “politik praktis”? Ya, seluruh anggota gereja yang berminat dan yang mempunyai bakat untuk itu. Kalau tidak berminat dan tidak berbakat jangan dipaksa. Kalau tidak, kita akan memperoleh seorang politisi yang buruk, yang tidak punya komitmen yang jelas, dan merugikan bukan saja seluruh bangsa, melainkan juga gereja yang “mengutus”nya. Untuk memperoleh calon-calon politisi yang handal, maka gereja mesti menyelenggarakan pendidikan kader politik. Kalau gereja sendiri tidak sanggup, dapat dilakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga yang memang mempunyai keahlian untuk itu. Dengan demikian, secara konkret akan nampak bahwa politik adalah bidang yang dilayani oleh gereja.
Para politisi yang di”utus” gereja itu memang diharapkan mempunyai komitmen tinggi di dalam melaksanakan tugas mereka, menjunjung tinggi etika dan moral politik. Seorang pemimpin gereja, dengan demikian telah melayani pelaksanaan politik melalui pelayanan yang dilakukan oleh anggota-anggota gereja. Karena para politisi Kristen itu berasal dari partai-partai politik yang berbeda-beda, dengan asumsi bahwa mereka akan tunduk kepada “ideologi” dari partai yang di dalamnya mereka terhisab, maka gereja harus mempunyai visi politik. Visi politik itu dirumuskan sedemikian rupa, sehingga siapapun yang membacanya akan merasa terdorong untuk ikut memperjuangkannya. Salah satu di antara sekian banyak hal yang diperjuangkan adalah, bahwa politisi Kristen tidaklah berjuang secara sempit dan eksklusif bagi kepentingan golongan sendiri, melainkan bagi kesejahteraan seluruh rakyat dan penegakan keadilan tanpa diskriminasi.
Tertutupkah sama sekali bagi para pemimpin gereja terlibat dalam “politik praktis”? Tidak juga. Sejarah dunia memperlihatkan bahwa banyak para pemimpin gereja melibatkan diri, bahkan memelopori perjuangan politik praktis, misalnya dengan ikut-serta dalam berbagai demonstrasi. Kardinal Sin di Filipina misalnya, ikut serta di dalam menjatuhkan Presiden Marcos yang ingin berkuasa secara absolut. Uskup Desmond Tutu memelopori keruntuhan rezim apartheid kulit putih di Afrika Selatan. Alan Boesak pernah dipenjarakan oleh rezim rasialis Afrika Selatan tersebut, karena ikut serta dalam berbagai perjuangan menumbangkan rezim itu. Di era Perang Dunia II di Jerman, Dietrich Bonhoeffer malah terlibat dalam konspirasi yang mau membunuh Hitler. Ini misteri sejarah. Tetapi dapat diduga bahwa dalam pandangan Bonhoeffer, lebih baik satu orang dibunuh, ketimbang seluruh dunia dibakar oleh api peperangan. Deklarasi Barmen, yang menentang Hitler sesungguhnya adalah sebuah pernyataan politik, dan keberpihakan kepada perdamaian dan keadilan.
Di tahun 2004, sesungguhnya PGI juga telah berpolitik praktis dalam rangka pemilihan presiden periode 2004-2009. Dalam seruan pastoral PGI dikatakan, biarlah umat Kristen mencamkan bahwa yang kita pilih sekarang bukan saja presiden, melainkan juga bangunan koalisinya. Maka umat Kristen Indonesia mestilah jeli untuk melihat partai politik manakah yang setia dan tidak setia kepada Pancasila, namun sekarang merupakan koalisi dari calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Seruan ini mirip-mirip dengan “Surat Terbuka” yang ditulis oleh Romo Franz Magnis Suseno dalam rangka penolakannya kepada Prabowo Subianto karena berkoalisi dengan PKS.
Dari berbagai kasus ini bisa disimpulkan, bahwa para pemimpin gereja bersama institusinya bisa saja menjalankan politik praktis apabila mereka sungguh-sungguh yakin, berdasarkan pengamatan yang cermat dan analisis yang tajam, bahwa negara dan bangsa sedang berada dalam bahaya kalau tidak diambil tindakan-tindakan “drastis”. Secara etika dan moral politik, tindakan-tindakan semacam ini dapat dipertanggungjawabkan.
V. Tidak Tanpa Bataskah Kesetiaan Seorang Politisi Kristen?
Sudah pasti, dalam konteks Negara Republik Indonesia, setiap politisi termasuk politisi Kristen diambil sumpahnya untuk setia, ya, setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Itu berarti, sesuai dengan kesepakatan bersama, kita telah mendirikan sebuah nation state, negara kebangsaan berdasarkan Pancasila bernama Indonesia. Namun, apabila pada suatu saat kesepakatan ini tidak lagi ditaati, kelompok-kelompok besar misalnya, dengan mengandalkan kebesarannya untuk keluar dari kesepakatan itu, maka para politisi Kristen tidak berdosa apabila melakukan perlawanan.
Dengan melakukan perlawanan, mereka mengacu kepada komitmen bersama, yang di dalam panggilan imannya adalah kesetiaan kepada Allah yang telah menganugerahkan bangsa dan negara ini kepada kita.
Demikianlah beberapa catatan saya.
(Disampaikan pada Forum Strategis Gereja dan Politik, Jakarta, 7-9 April 2016)
Penulis
Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe Senior Fellow Institut Leimena; Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (2004-2014) dua periode; Memperoleh gelar Doctorandus Theologiae dari Vrije Universiteit di Amsterdam (1979); Ditahbiskan sebagai Pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS) dan ditugaskan sebagai dosen pada Akademi Teologi Kupang (ATK),(1971); Memperoleh gelar Sarjana Teologi (S.Th) dari STT Jakarta (1969).
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena