Civis Vol. 2, No. 3, Des 2010
Kebudayaan Menurut Konstitusi: Eksposisi Pasal 32 UUD 45
Perubahan pada Bab XIII UUD 45 hasil amandemen termasuk banyak. Semula judul Bab XIII adalah “Pendidikan” yang kemudian diubah menjadi Bab XIII tentang “Pendidikan dan Kebudayaan”. Isi Pasal 31 tentang Pendidikan dan Pasal 32 tentang Kebudayaan mengalami banyak perubahan yang berarti (significant). Perubahan itu terjadi pada tahap ke-3 amandemen dan diputuskan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001.
Pasal 32 UUD 45 semula berbunyi “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”.
Amandemen mengubahnya menjadi :
(1). Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
(2). Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Para perumus perubahan UUD 45 menyadari peran penting kebudayaan dalam pembentukan jati diri masyarakat dan bangsa Indonesia pada khususnya, serta bagi modernitas dan kemajuan bangsa pada umumnya. Dalam hubungan itu disimpulkan bahwa pengembangan budaya Indonesia adalah tanggung jawab Negara, bukan hanya pemerintah tetapi juga masyarakat. Amandemen juga menggaris-bawahi bahwa identitas bangsa Indonesia seperti yang terkandung dalam sasanti Bhinneka Tunggal Ika harus dihayati. Persatuan (Tunggal) akan selalu ada bersama dengan kemajemukan (Bhinneka).
Karena itu diperlukan landasan konstitusional kebijakan negara, seperti telah tertuang dalam Pasal 32 UUD 45 yang baru, untuk menjadi rujukan pemerintah maupun masyarakat dalam pengembangan kebudayaan Indonesia yang berlandaskan kepada kemajemukan bangsa, yang terbuka pada perkembangan peradaban dunia dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Kebudayaan Kita
Kebudayaan tidak hanya masalah seni dan sastra. Pengertiannya amat luas dan beragam, tetapi esensinya dapat disimpulkan sebagai sistem nilai, norma, gagasan, dan ide-ide yang hidup dan dipergunakan oleh warga untuk berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial.
Kebudayaan memberi bentuk kepada sikap hidup, sikap mental warga, dan pola hidup masyarakat sehari-hari. Sebaliknya, sikap dan pola hidup itu juga memberi bentuk kepada kebudayaan. Kebudayaan itu dipelajari dan kebudayaan itu beradaptasi serta berkembang.
Jika dicermati, terlihat ada masyarakat dan bangsa yang mempunyai kebudayaan yang kaya dan mumpuni. Seni berkembang, kreativitas dan inovasi menjadi bagian kehidupan. Sikap mental warga pada umumnya menghargai kerjas keras dan prestasi, serta bersikap terbuka dan toleran. Tetapi ada juga masyarakat bangsa yang terkesan sebaliknya. Bersikap tertutup dan tidak toleran. Seni seperti tersendat, sikap mental menerabas, mencari hasil sebanyak-banyaknya tanpa mau bekerja keras, tidak menghargai prestasi tetapi gandrung pada asesori dan penampilan, seolah menjadi ciri.
Kedua kutub budaya itu tidak terjadi dengan sendirinya. Keadaan itu adalah hasil sebab-akibat dari berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan budaya, sadar atau tidak sadar. Karena budaya itu berkembang, dipelajari, beradaptasi, serta dipengaruhi oleh berbagai faktor, maka diperlukan upaya sadar agar kebudayaan Indonesia berkembang ke arah yang baik.
Indonesia mempunyai 237 juta jiwa penduduk yang berdiam di 11.000-an pulau dari 17.504 pulau-pulau Nusantara. Kita memiliki 1.128 suku, besar dan kecil, dan 719 ragam bahasa yang masih aktif dipergunakan penduduk. Semua agama besar dunia ada di Indonesia, berdampingan dengan sejumlah kepercayaan asli. Penduduk urban kita hidup dalam lingkungan modern tetapi sebagian besar masih hidup dalam lingkungan tradisional peralihan. Karena itu budaya masyarakat Indonesia sekarang secara umum dapat digolongkan sebagai masyarakat peralihan (prismatik). Unsur-unsur modernitas telah hidup di dalamnya, sementara unsur-unsur tradisional masih mempunyai tempat walau perannya telah surut. Sedang terjadi interaksi dan perubahan yang rumit di dalam tiap kelompok masyarakat dan di dalam keseluruhan masyarakat heterogen kita.
Pengembangan Kebudayaan Kita
Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi informatika yang demikian pesat, masyarakat yang sedang beralih seperti itu, apabila tidak dipersiapkan mengelola perubahan, dapat mudah tercabut dari akar kebudayaannya dan diganti oleh budaya seragam, serba ingin cepat, dan dangkal ala Mc Donald dan Coca Cola. Ditengah suasana demikian, dekadensi di segala bidang seperti materialisme dan hedonisme juga mudah terjadi.
Tetapi di sisi lain, nilai-nilai positif, seperti kerja keras, menghargai prestasi, terbuka, toleran, kreatif, inovatif, dan kompetitif juga memperoleh kesempatan untuk berakar dan bertumbuh. Di sinilah letak pentingnya kebijakan pembangunan budaya agar kebudayaan kita tumbuh dan memperkaya dirinya dengan nilai-nilai yang sehat, seraya menyaring agar nilai-nilai yang tidak sehat tidak turut merasuk.
Konstitusi menegaskan bahwa perkembangan budaya itu didasarkan kepada kekayaan budaya daerah dan pada kesadaran akan keberadaan budaya kita ditengah peradaban dunia.
Konstitusi juga menyatakan simbol-simbol bangsa dan negara yaitu Bendera Sang Saka Merah Putih, Lambang Negara Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Simbol-simbol ini mempunyai peran sebagai jangkar atau poros di seputar mana kebudayaan nasional dikembangkan.
Budaya daerah mempunyai sejarah panjang dan memiliki kearifan dan keunggulannya masing-masing. Pada dirinya masing-masing, budaya itu mengandung unsur-unsur yang oleh para founding fathers kita disarikan dalam nama Pancasila. Budaya-budaya daerah yang secara sadar dikembangkan dalam suasana keterbukaan, akan dinamis dan mampu mencari pengungkapan sesuai dengan lingkungan yang berubah dan sekaligus menjadi penyumbang bagi pembentukan pola (sistim) kemasyarakatan di dalam mana masyarakat kita yang amat majemuk dapat hidup bersama.
Akan tersaring norma-norma, ide-ide, nilai-nilai, dan sikap hidup yang dirasakan sebagai milik bersama dan dipakai sebagai pola hidup bersama, sebagai identitas kolektif. Nilai kemajuan budaya juga akan semakin bertambah dengan adanya kesadaran berkehidupan ditengah peradaban dunia. Dalam kesadaran itu terjadi proses saling mempengaruhi dengan budaya luar yang pada gilirannya akan meninggikan peradaban dan kesadaran atas hakekat kemanusiaan.
Kebudayaan nasional yang dikembangkan dari kemajemukan dan keterbukaan demikian akan menghidupi masyarakat yang dinamis dan tidak monoton, yang terus berkembang, dan yang pada gilirannya mendukung pertumbuhan budaya, baik budaya materi, seperti mesin-mesin, bangunan, penemuan-penemuan dan bentuk kongkrit lainnya, maupun budaya non-materi, seperti seni, ilmu pengetahuan, dan bentuk abstrak lainnya. Setiap perwujudan budaya yang diterima dan dipakai bersama menjadi budaya nasional. Budaya kita tidak akan menjadi budaya yang inferior, seragam, kaku, dan mandeg.
Bahasa adalah wujud budaya untuk menyatakan pikiran dan perasaan, untuk bergaul dan menyesuaikan diri dalam kebersamaan kelompok. Melalui bahasa, pengetahuan dipelajari dan dikembangkan. Setiap bahasa adalah juga rekaman perjalanan budaya pengguna bahasa itu. Bahasa daerah yang terpelihara akan merupakan pendukung bagi pengembangan budaya daerah dan sekaligus sumber perkayaan bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Para pejuang pendahulu kita, pencetus Sumpah Pemuda, sungguh amat arif telah memilih bahasa Indonesia, bahasa yang berasal dari suku Melayu yang tidak tergolong besar, sebagai bahasa nasional. Kearifan yang memberi fondasi yang kokoh bagi hakekat Bhinneka Tunggal Ika. Kearifan yang telah menghilangkan prasangka didominasi-mendominasi.
Bahasa Indonesia yang berakar mula pada bahasa Melayu dari daerah Riau, Sumatera Timur dan semenanjung Malaya, telah terus bertumbuh, semakin jauh dari bahasa asalnya. Bahasa Indonesia telah dan sedang sangat diperkaya oleh bahasa-bahasa daerah dan juga oleh bahasa asing. Sedemikian sehingga bahasa Indonesia telah menjadi bahasa wilayah lintas etnik (lingua franca Indonesia) selain juga telah mampu berkembang menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Bahasa Indonesia yang berkembang seperti itu telah dan akan terus menjadi faktor kuat perekat persatuan bangsa yang amat majemuk ini.**
Penulis
Drs. Jakob Tobing, MPA. President Institut Leimena; Program Doctorate – Van Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden; Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004 – 2008); Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945 (1999-2002); Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU, 1999-2002); Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI, 1999); Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu, 1992); Anggota Panwaslu (1987); Anggota DPR/MPR (1968 – 1997, 1999 – 2004).