✉ info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 2, No. 3, Des 2010


Mengembangkan Matrix of Meaning; Membangun Moralitas di Tengah Bangsa yang Majemuk

 

Pesan tulisan ini cukup jelas kendati untuk melaksanakannya tidak mudah, yaitu bagaimanakah kita sebagai bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk ini dapat membangun dan mengembangkan kehidupan yang bermoral? Adakah suatu “pegangan” bersama, katakanlah semacam the matrix of meaning yang dapat menjadi pedoman bersama di tengah keberbagaian itu? Hal ini harus dikemukakan, sebab keberbagaian kita memang bertolak dari titik berangkat atas dasar agama (dan budaya kesukuan) kita masing-masing. Kalau dirumuskan secara lebih tajam, pegangan moralitas apakah yang diharapkan mampu mempersatukan kita?

Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita menjelaskan dulu apa yang dimaksud dengan “moral” dan “moralitas”. Ini tidak sederhana, sebab kendati kita telah mempergunakannya setiap kali, ternyata penjelasannya jauh lebih rumit dari yang dibayangkan. Di kalangan tertentu misalnya dikenal istilah “akhlak” yang berasal dari bahasa Arab, yang untuk mudahnya diterjemahkan saja dengan moral dan/atau moralitas. Secara hakiki, akhlak lebih dari sekadar moral atau moralitas. Ia mencakup kewajiban-kewajiban agama. Maka akhlak selalu ditempatkan di dalam kerangka pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran agama.

Istilah “moral” dan “moralitas” berasal dari bahasa Latin dengan akar kata mores/moralities. Secara sederhana kata ini berarti cara, karakter, sifat, perilaku yang layak. Tercakup juga di sini pemahaman mengenai aksi dan tindakan yang baik (atau layak) yang dibedakan dari yang tidak baik (tidak layak). Ia bisa berkonotasi agama, artinya sumber nilainya berasal dari agama, tetapi bisa juga netral. Artinya sebuah perbuatan bermoral tidak selalu harus  dilakukan oleh orang beragama. Bahkan orang tidak beragamapun dapat melakukan sebaik atau bahkan melebihi orang beragama. Maka imoralitas adalah perlawanan aktif terhadap perbuatan-perbuatan bermoral dan dapat dilakukan oleh siapa saja.

Lalu yang disebut amoralitas adalah ketidaksadaran akan, atau ketidakpedulian terhadap, atau ketidakpercayaan adanya sejumlah standar moral atau prinsip-prinsip yang mendukungnya. Moral atau moralitas dapat juga mengacu kepada nilai-nilai pribadi dan/atau nilai-nilai kultural, semacam kode etika atau kode sosial yang dianut di dalam masyarakat manusia. Betapa kayanya pemahaman mengenai moral dan/atau moralitas ini terlihat dari berbagai perspektif pemahaman filosofis, antropologis, evolusioner, bahkan neuroscientifik dan psikologi.

Adakah kaitan antara moralitas dan agama? Ini pertanyaan menarik. Secara spontan bisa dijawab afirmatif. Tetapi, sebagaimana dikatakan oleh Gregory S. Paul dalam Journal of Religion and Society, tidak selalu begitu. Gary Jensen, yang kemudian memperluas dan merinci pandangan Gregory tersebut, bahkan menegaskan bahwa ternyata ada suatu kompleksitas hubungan antara agama dan moral. Misalnya saja, nilai-nilai moral dari agama bisa menyuburkan rasa religiositas (kesalehan) di dalam diri seseorang. Tetapi pada saat yang sama, nilai-nilai itu dapat pula memadamkan semangat tersebut, bahkan mendorong untuk melakukan pembunuhan misalnya.

Itulah yang kita saksikan dalam berbagai perbuatan teror yang diklaim sebagai perintah agama. Hari-hari ini di negeri kita pun sering dipertanyakan, apakah ada hubungan antara kesalehan ritual dengan kesalehan sosial? Dapat saja terjadi, orang begitu khusyuk berdoa (melakukan hubungan vertikal dengan Tuhan), tetapi segera sesudah itu tidak segan-segan mencelakakan orang lain (praktek relasi horizontal yang tidak beres). Para koruptor bukanlah orang yang tidak taat beribadah. Tidak jarang mereka merupakan penyumbang setia berbagai kegiatan keagamaan. Bahkan seorang penjahat dapat melakukan pengakuan dosa di hadapan Tuhan, tetapi perilaku sosialnya tidak berubah sedikitpun. Itulah sebabnya kendati gedung-gedung ibadah kita penuh sesak di setiap hari-hari ibadah, namun perbuatan korupsi dan tidak memperdulikan sesama terus juga berlangsung.

Bahwa orang yang tidak beragama pun dapat melakukan hal-hal bermoral, ini dibenarkan juga oleh Rasul Paulus, sebagaimana diungkapkan dalam Roma 12:14-15. Di situ dijelaskan bahwa orang-orang yang tidak mengenal Hukum Taurat, menjadi Hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Artinya isi hukum itu tertulis di dalam hati mereka sendiri.  Di situ, peranan suara hati sebagai yang turut bersaksi cukup besar. Pikiran mereka pun saling menuduh dan saling membela. Namun demikian, kata Paulus, nilai-nilai Injil jauh lebih unggul sebagaimana nyata dalam penghakiman oleh Yesus Kristus terhadap sesuatu yang tersembunyi di dalam hati manusia.

Dengan mengutip pandangan Rasul Paulus ini, saya sebagai seorang Kristen telah memperlihatkan bahwa sesuai dengan iman saya, nilai-nilai Injillah yang patut dikemukakan guna membangun moralitas. Tetapi bagaimana mengemukakan keyakinan ini di tengah-tengah kemajemukan masyarakat kita? Kita mesti menyadari bahwa setiap orang pun mempunyai hak untuk mengklaim nilai-nilai agamanya sebagai dasar moralitas. Tetapi kalau masing-masing penganut agama secara berat-sebelah mau mengemukakan apa yang dipikirkannya baik sebagai basis, maka tidak mudah kita bertemu di atas ranah Indonesia ini. Dapatkah kita berjalan bersama di dalam ziarah sejarah ini apabila masing-masing penganut agama memutlakkan nilai-nilai agamanya masing-masing?

Di atas saya telah menyinggung the matrix of meaning. Artinya mesti ada nilai-nilai yang, kendati berasal dari agama yang berbeda-beda namun diterima  bersama-sama. Kesulitan yang dihadapi adalah kemungkinan untuk terjatuh ke dalam sinkretisme. Tetapi the matrix of meaning tidaklah dimaksudkan untuk mencampuradukkan setiap agama. The matrix of meaning adalah nilai-nilai yang diterima bersama, yang dapat dianggap sebagai nilai yang mengarahkan kita di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia ini. Keadilan misalnya, adalah nilai yang dapat diterima oleh siapa saja. Bahwa kita memerangi ketidakadilan dapat diaminkan oleh siapa saja, apapun agamanya. Nilai itu bisa diambil dari agama, tetapi begitu ia menjadi nilai bersama, ia, seakan-akan dilepaskan dari label agamanya. Demikian juga dengan nilai-nilai lainnya, seperti persamaan, persaudaraan, persekutuan, solidaritas, dan seterusnya.

Dimanakah the matrix of meaning itu ditemukan? Kendati bagi kebanyakan orang agak membosankan, tetapi tidak jemu-jemunya kita menegaskan bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai bersama, yang dapat dipandang sebagai the matrix of meaning itu. Karena rezim Orde Baru telah memakai keliru Pancasila guna mempertahankan kekuasannya yang penuh dengan KKN, maka tugas kita sekarang adalah merevitalisasinya. Ini berarti membuat nilai-nilai itu menjadi lebih aktual, dinamis dan mampu menjawab persoalan. Nilai-nilai Pancasila tidak boleh diberlakukan secara statis, sebagai butir-butir yang sekadar dihafal di dalam upacara-upacara. Di dalam kenyataan praktisnya, hal itu berarti, nilai-nilai Pancasila mesti tercermin dalam setiap UU yang mengatur kepentingan hidup semua rakyat Indonesia. Sekian banyak UU yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila harus berani dibatalkan.**

Penulis

Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe adalah Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)

Loading...