
Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya memperingati Hari Pendidikan Nasional yang diadakan oleh Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI dan Institut Leimena dengan pembicara kunci Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Prof. Abdul Mu’ti, 29 April 2025.
Jakarta, IL News – Upaya penguatan pendidikan karakter yang dilakukan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia (Kemendikdasmen RI) melalui program 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, dibutuhkan untuk membangun perdamaian dan kerukunan sosial di tengah masyarakat majemuk.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) RI, Abdul Mu’ti, dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya memperingati Hari Pendidikan Nasional yang diadakan oleh Pusat Penguatan Karakter Kemendikdasmen RI bersama Institut Leimena, mengatakan generasi muda Indonesia harus tumbuh tidak hanya dari sisi prestasi akademik, tetapi memiliki nilai-nilai karakter kuat untuk membangun kehidupan toleran dan saling menghormati.
“Kita perlu memberikan kepada anak-anak kita sikap sosial, dimana mereka bagian tak terpisahkan dari masyarakat, dan membangun lingkungan sosial yang inklusif,” kata Abdul Mu’ti dalam webinar bertemakan “Menyemai Karakter, Menuai Peradaban: Membangun Kebiasaan Anak Indonesia Hebat” yang dihadiri lebih dari 3.400 peserta dari dalam dan luar negeri pada Selasa malam, 29 April 2025.
Mendikdasmen menegaskan pendidikan karakter sebagai amanat konstitusi dan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, tidak hanya berkaitan dengan pembelajaran formal di sekolah, tetapi juga pembelajaran berbasis keluarga, masyarakat, bahkan media massa.
“Saya menyambut baik pelaksanaan seminar ini sebagai bagian dari upaya kita bersama untuk membangun kehidupan beragama yang rukun, damai, dan upaya kita bersama untuk membangun generasi yang memiliki rasa cinta dan kepedulian kepada sesama umat manusia,” kata Abdul Mu’ti.
Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikdasmen RI, Rusprita Putri Utami, mengatakan sejarah mencatat bahwa karakter suatu bangsa menjadi fondasi dari peradaban besar dunia mulai dari zaman Yunani kuno yang melahirkan semangat berpikir kritis dan etika sebagai dasar demokrasi dan filsafat. Rusprita menambahkan Jepang pasca Perang Dunia ke-2 juga telah bangkit menjadi negara maju karena karakter yang kuat seperti disiplin, rasa hormat, dan semangat pantang menyerah.
“Indonesia memiliki Pancasila yang menjadi jati diri dan karakter bangsa, menjadi panduan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah keragaman. Generasi mendatang perlu dibekali tidak hanya untuk berpikir kritis, tapi juga untuk hidup secara etis dengan kasih sayang melalui literasi yang melampaui batas budaya dan agama,” kata Rusprita.

Staf Khusus Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Arif Jamali Muis.
Staf Khusus Mendikdasmen RI, Arif Jamali Muis, menegaskan pentingnya penguatan pendidikan karakter dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Hal itulah yang melandasi Kemendikdasmen RI berupaya memperkuat pendidikan karakter melalui gerakan tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat meliputi bangun pagi, beribadah, berolah raga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat.
“Kebiasaan ini secara psikologis akan membentuk pola di dalam otak yang pada gilirannya akan menjadi karakter, sehingga peradaban yang baik dapat terwujud,”
Pendidikan Karakter Melalui LKLB
Sementara itu, Direktur Ekskutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan semua kalangan perlu terlibat dalam upaya membangun mental dan karakter bangsa melalui program pembiasaan anak Indonesia yang hebat. Dalam konteks tersebut, Institut Leimena terus mengembangkan pendekatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) agar dapat ikut mendukung pendidikan karakter melalui peningkatan kompetensi para guru.
“Dengan adanya program 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, kami akan mengupayakan agar program LKLB ini dapat ikut mendukung tugas besar dan penting untuk membangun mental dan karakter bangsa Indonesia yang besar di tengah masyarakat global yang semakin terpolarisasi,” kata Matius.
Matius menjelaskan program LKLB yang dikerjakan Institut Leimena bersama lebih dari 30 mitra lembaga pendidikan dan keagamaan, berupaya mengembangkan kompetensi yang dibutuhkan dalam masyarakat majemuk, serta membuka ruang perjumpaan lintas agama agar dapat mengenal dan belajar bersama-sama. Sejak dimulai tahun 2021, program LKLB telah meluluskan 64 angkatan dengan total 9.600 pendidik dari 38 provinsi di Indonesia. Para pendidik berasal dari latar belakang agama berbeda yaitu Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu.
Sebagai contoh, 2 dari 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat adalah kebiasaan taat beribadah dan aktif bermasyarakat. Program LKLB didasarkan pada pemahaman bahwa bagi seseorang yang beragama, mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama manusia perlu berjalan beriringan.
“Dalam konteks masyarakat yang religius dan majemuk, di mana taat beribadah tidak berarti mengucilkan diri dari masyarakat luas, tapi juga mampu membangun modal sosial, rasa saling percaya antar penganut agama dan kepercayaan yang berbeda,” lanjut Matius.
Senior Fellow Institut Leimena dan Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Amin Abdullah, menegaskan pentingnya integrasi Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) dengan 7 KAIH. Amin menyebutkan dua kebiasaan dair 7 KAIH yang bisa diperkuat melalui program LKLB, yaitu beribadah dan bermasyarakat.
“Beribadah, love God, itu penting, tapi harus beririsan dengan bermasyarakat. Kombinasi antara LKLB dan kebiasaan anak Indonesia hebat akan membentuk generasi berkarakter unggul yaitu beriman kuat, berpikiran terbuka, dan bertindak penuh empati,” kata Amin.

Guru Al-Qur’an Hadis Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magetan, Jawa Timur, Fatwa Nur Azizah, mengajak murid-muridnya mengunjungi pura untuk memberikan pengalaman toleransi secara langsung melalui dialog dengan pemuka agama Hindu.
Pengalaman Guru
Guru Al-Qur’an Hadis Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magetan, Jawa Timur, Fatwa Nur Azizah, yang juga alumni program LKLB angkatan ke-5, ikut membagikan praktik baiknya dalam memperkuat kebiasaan para siswanya dalam bermasyarakat, khususnya dengan orang lain yang berbeda agama.
Fatwa mengajak murid-muridnya di MAN 1 Magetan untuk mengunjungi sekaligus membersihkan lingkungan sekitar Pura. Kegiatan ini dilakukannya sebagai respons dari kegundahannya selama ini bahwa nilai-nilai toleransi yang kerap diajarkan di sekolah, masih sebatas teori saja.
“Terkadang kita mengajarkan nilai toleransi, tapi tidak mengajarkan bagaimana bertoleransi dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
Fatwa menegaskan prasangka tentang orang lain yang berbeda agama bisa mengganggu relasi dalam kehidupan bermasyarakat. Itu sebabnya, perjumpaan dan dialog secara langsung akan mampu mengikis hal tersebut.
“Ada seorang anak yang datang ke saya mengatakan, ‘Terima kasih bu, selama ini saya tidak pernah belajar hal-hal seperti ini’. Di situ saya merasa sangat terharu dan hampir menangis, ternyata apa yang saya lakukan mempunyai kesan di hati anak-anak didik saya,” kata Fatwa.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif, Arigatou International, Switzerland, Maria Lucia Uribe, mengatakan urgensi pendekatan pendidikan yang tidak hanya mengajar, tetapi juga membentuk manusia yang utuh dan berpikir reflektif. Menurutnya, pendidikan abad ke-21 harus lebih dari sekadar transfer pengetahuan, tetapi menjadi pengalaman hidup yang sistematis dan pedagogi yang menumbuhkan dialog antarbudaya, mendorong berpikir kritis, serta memperkuat penghormatan satu sama lain.
“Kita hidup di era konektivitas tinggi, tetapi justru menyaksikan meningkatnya bias, ketakutan terhadap perbedaan, dan fragmentasi sosial. Sekolah seharusnya menjadi ruang perjumpaan yang mempersatukan, bukan memisahkan,” jelas Maria.
Direktur Eksekutif International Interfaith Research Lab di Teachers College, Universitas Columbia, Dr. Amra Sabic-El-Rayess, mengatakan pergeseran pendidikan (educational displacement), yaitu keterasingan di ruang atau fasilitas pendidikan, bisa dialami jika sekolah gagal mengembangkan pendidikan yang memumpuk nilai-nilai kemanusiaan.
“Pengalaman saya sendiri sebagai Muslim Bosnia tahun 1990-an, bagaimana genosida bukan awal dari kekerasan, tapi puncak dari cerita yang disampaikan selama bertahun-tahun, dari generasi ke generasi, yang mengasingkan orang lain, siapa pun dia dalam lokasi geografis dan massa,” kata Amra.
Amra menegaskan pentingnya narasi edukatif tentang empati dan kisah-kisah yang membangkitkan kecintaan terhadap sesama. Kurikulum harus mampu merepresentasikan nilai-nilai kemanusiaan tanpa sekat. [IL/Zul/Syl/Chr]
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena
@institutleimena
Warganegara.org
@institutleimena
Warganegara.org
