info@leimena.org    +62 811 1088 854

CIVIS 002/2017

A. Pendahuluan

 

Istilah “Desa” dirasa sangat dekat dengan kehidupan masyarakat khususnya di belahan bumi Indonesia. Tak jarang, Desa digunakan untuk menggambarkan tentang kehidupan masyarakat ‘kelas menengah kebawah’. Namun tidaklah demikian pengertian Desa dalam sudut pandang Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”), pengertian Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1]

Dari pengertian di atas, negara dengan jelas mendefinisikan betapa Desa begitu dipandang sebagai suatu lembaga masyarakat yang diberikan kewenangan yang besar untuk mengatur dan mengurus segala hal terkait dengan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Pemerintah juga sudah menyiapkan ‘dana segar’ untuk dapat digunakan oleh desa secara langsung untuk menunjang pembangunan desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang pada tahun 2017 ini saja mencapai Rp 60 Trilyun dan rencana tahun depan dinaikkan anggarannya menjadi 2 kali lipatnya.[2]Selain itu, didorongnya prakarsa masyarakat dalam UU Desa juga mencerminkan bentuk pendekatan pembangunan Bangsa Indonesia secara Bottom Up[3] atau dengan kata lain peran dari masyarakat desa diharapkan menjadi aktif dalam melakukan pembangunan untuk desanya masing-masing.

 

B. Permasalahan: Peran Kepala Desa Dalam Pembangunan Desa

 

Bersamaan dengan kewenangan dan anggaran yang diberikan oleh Pemerintah kepada para aparatur desa, terdapat beberapa hal yang dirasa belum maksimal dalam implementasinya. Berikut adalah beberapa hal yang perlu diketahui oleh masyarakat desa dan kita semua perihal amanat UU Desa besertaimplementasinya.

Terdapat 3 permasalahan utama yang dapat kita cermati khususnya perihal pembangunan Desa serta penggunaan Dana Desa.

  1. Pembuatan RPJM Desa: Identifikasi masalah pembangunan desa yang tak tepat sasaran

Membuat Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (“RPJM Desa”) menjadi salah satu tugas dari Kepala Desa sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 79 UU Desa jo. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“PP 43/2014”) untuk periode 6 (enam) tahun. Namun dalam pembuatan RPJM Desa kerap kali Kepala Desa kesulitan untuk mengidentifikasi permasalahan apa yang sedang dialami oleh desanya, khususnya terkait dengan pembangunan infrastruktur. Kepala Desa harus mampu melihat kebutuhan desanya yang dirasa perlu untuk dibangun atau perlu untuk lakukan perbaikan.

Sebagai contoh, apabila di desa tersebut harga kebutuhan pokok begitu tidak stabil (mudah berubah-ubah, naik-turun) yang diakibatkan mahalnya ongkos kirim ke desa tersebut,maka seharusnya Kepala Desa dapat melihat kebutuhan pembangunan infrastruktur untuk menunjang logistik yang murah ke desa tersebut agar dapat membuat harga-harga kebutuhan pokok lebih stabil, bukan malah membangun infrastruktur keagamaan, seperti membangun masjid atau gereja (tidak sesuai dengan kebutuhan desa tersebut).[4] Hal ini dapat dilakukan jika Kepala Desa sebagai pembuat perencanaan piawai untuk mengidentifikasi permasalahan desa tersebut.

  1. Manajerial Penggunaan Dana Desa: Alokasi Dana Desa tidak tepat sasaran

Masih terkait dengan hal yang diurai di atas, Kepala Desa juga harus dapat mengatur penggunaan Dana Desa sesuai dengan RPJM Desa yang telah dibuat sesuai dengan permasalahan desa yang sudah diidentifikasi. Berdasarkan Pasal 74 ayat (2) UU Desa terdapat prioritas penggunaan Anggaran Dana Desa diantaranya; kebutuhan primer (Sandang, Pangan dan Papan), Pelayanan Dasar (Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur), lingkungan dan Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Kepala Desa diharapkan dapat menyesuaikan alokasi penggunaan Anggaran Dana Desa dengan RPJM Desa yang telah dibuatnya. Kedua hal ini haruslah berjalan secara berdampingan agar alokasi Dana Desa dapat digunakan secara tepat sasaran.

Mengambil contoh permasalahan di atas, jika kebutuhan desa adalah untuk membangun infrastruktur yang menunjang logistik murah, Kepala Desa harus bisa melihat dari total anggaran yang di dapat seberapa besar yang perlu untuk dialokasikan untuk pengerjaan program tersebut, bukan hanya sekedar anggaran dibagi sama rata di masing-masing program tetapi harus melihat program apa yang menjadi prioritas desanya.

  1. Pembuatan Laporan dan Transparansi Realisasi Dana Desa

Untuk menunjang kedua hal tersebut di atas, Kepala Desa diharapkan dapat membuat pelaporan realisasi penggunaan Anggaran Dana Desa sebagai bentuk pertanggungjawaban Kepada Desa, baik kepada pemerintah di atasnya maupun kepada masyarakat desa. Pembuatan laporan kepada pemerintah di atasnya, dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus dibuat dengan baik dan secara akuntabel karena dapat mempengaruhi jumlah anggaran Dana Desa tahun berikutnya. Sedangkan bentuk laporan kepada masyarakat desa, dalam hal ini apapun bentuknya Kepala Desa wajib untuk mensosialisasikan laporan realisasi penggunaan Anggaran Dana Desa kepada seluruh masyarakat desa agar mereka dapat betul-betul memahami apa yang sedang dikerjakan untuk desa tersebut. Sesuai dengan nota kesepahaman (MoU) yang dibuat oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal beserta Kepolisian Republik Indonesia, setiap Kepala Desa wajib untuk membuat baliho yang berisikan seluruh rincian program beserta realisasi program sampai dengan penggunaan Dana Desa setidak-tidaknya di depan kantor desanya.[5]Hal ini dibuat sebagai bentuk pengawasan terhadap kinerja pemerintah desa dan juga bentuk transparansi Dana Desa kepada masyarakat desa.

 

 C. Kesimpulan & Rekomendasi

 

Ada beberapa hal yang perlu dimiliki dan diketahui oleh seorang Kepala Desa. Diperlukan kemampuan Kepala Desa untuk dapat mengidentifikasi permasalahan desanya agar pembuatan perencanaan untuk desa tersebut menjadi akurat dan tepat sasaran. Selain itu, keterampilan Kepala Desa untuk dapat mengalokasian Dana Desa sesuai dengan perencanaan yang akurat dan tepat sasaran untuk desanya serta kemampuan untuk membuat laporan yang akuntabel dan transparan sebagai bentuk upaya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan.

Dari hal-hal yang sudah diungkapkan di atas, terdapat beberapa rekomendasi diantaranya:

  1. Pemerintah dan/atau pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap desa dapat memperlengkapi Kepala Desa untuk dapat mengidentifikasi/memetakan permasalahan yang menjadi prioritas di desanya dan dapat mengatur alokasi dana untuk pengerjaan program-program unggulan di desanya serta melatih Kepala Desa untuk membuat laporan realisasi yang transparan dan akuntabel.
  2. Ikut serta dalam pengawasan pembangunan desa agar tercipta pemerintahan desa yang transparan dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat desa.

[1]Pasal 1 angka 1 UU Desa

[2]Korupsi Dana Desa: Apakah langkah terbaik untuk menyelamatkannya?, BBC Indonesia, http://www.bbc.com/indonesia/40822681, di akses pada tanggal 24 November 2017.

[3]Pendekatan Bottom-up adalah perencanaan pembangunan dimana masyarakat lebih berperan dalam memberikan gagasan dari awal hingga pelaksanaan evaluasi. Dalam hal ini pemerintahan hanya berperan sebagai fasilitator pembangunan.

[4]Contoh permasalahan ini dikutip dari BBC Indonesia,

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150909_indonesia_dana_desa_ekonomi di akses pada tanggal 27 November 2017.

[5]Polri Temukan 214 Kasus Penyalahgunaan Dana Desa, BBC Indonesia,https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171020112724-12-249704/polri-temukan-214-kasus-penyalahgunaan-dana-desa/, di akses pada tanggal 27 November 2017.

 

Sumber gambar: www.radarlamsel.com

Penulis

Yonatan Iskandar Chandra (peneliti Institut Leimena).

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena