Policy Memo No. 010 Tahun 2011
oleh Budi H. Setiamarga, PhD.
RUU Jaminan Produk Halal (JPH) merupakan RUU yang berpotensi besar melanggar Konstitusi Negara yaitu Undang-Undang Dasar 45. Mengapa demikian?
Pemakaian APBN sebagai Uang Rakyat
Dalam RUU JPH, pemerintah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan JPH (pasal 4 RUU) sehingga pemerintah menggunakan dana APBN untuk membiayai pelaksanaan tugas Badan Nasional Penjamin Produk Halal (BNP2H) (pasal 13 RUU) dan penyelenggaraan JPH (pasal 52 RUU) yang pasti sangatlah besar. Pemakaian APBN berarti pemakaian uang rakyat. Penggunaan uang rakyat haruslah sesuai dengan tujuan pemakaian APBN di pasal 23 ayat 1 UUD 45 yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Uang rakyat harus dipakai untuk rakyat tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras dan perbedaan lainnya. Pemakaian APBN yang bersifat diskriminatif, baik untuk pelaku usaha maupun juga untuk kelompok agama yang lain, merupakan bentuk diskriminasi Negara terhadap rakyatnya yang bertentangan dengan cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub di Pembukaan UUD 45.
Ekonomi Biaya Tinggi
Lingkup pengaturan dan pengawasan yang akan dilakukan oleh BNP2H dalam RUU JPH ini sangatlah luas yaitu mencakup:
- Jenis produk yaitu makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologi, dan produk rekayasa genetik (pasal 1 RUU)
- Jenis proses yaitu proses pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian (pasal 1 RUU)
- Jenis status pelaku usaha yaitu perseorangan dan badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang berbentuk bukan badan hukum yang menyelenggarakan Proses Produk Halal (pasal 1 RUU)
- Jenis tingkat pelaku usaha yaitu pelaku usaha mikro, kecil, menengah dan besar (pasal 29 RUU)
- Jenis bahan yaitu bahan-bahan dari hewan, tumbuhan, mikroba, dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, dan/atau rekayasa genetika (pasal 24 RUU)
- Jenis asal produk yaitu produk dalam negeri dan luar negeri (pasal 61 ayat 1 RUU)
- Jenis label produk yaitu produk yang belum berlabel halal dan produk yang sudah berlabel halal. (pasal 61 ayat 2 RUU)
Lingkup yang sangat luas ini akan membawa dampak yang dahsyat bagi perkembangan dunia usaha di Indonesia karena ini akan berpotensi untuk menjadikan ekonomi biaya tinggi. Hal ini telah melanggar prinsip demokrasi ekonomi di pasal 33 ayat 4 UUD 1945 karena RUU JPH ini menyebabkan ketidak efisienan dan ketidak adilan bagi dunia usaha di Indonesia. RUU JPH ini mewajibkan setiap pelaku usaha yang merupakan penduduk Indonesia untuk melakukan sertifikasi halal (pasal 31 RUU) yang bertentangan dengan semangat kebebasan beragama di pasal 29 ayat 2 UUD 45 dimana jaminan Negara untuk kebebasan beragama adalah untuk setiap penduduknya dan bukan untuk suatu kelompok tertentu saja. Negara harus menjamin kebebasan setiap penduduknya untuk dapat menentukan pilihannya dalam menjalankan ibadah agamanya. Dengan demikian, Negara tidak boleh mengutamakan aturan suatu kelompok dengan mengurbankan kelompok yang lainnya, termasuk kelompok pelaku usaha karena ini bertentangan dengan UUD 45.
Konflik Horisontal
Pasal 54 RUU mengatur peran serta masyarakat dalam pengawasan implementasi sertifikasi halal ini. Pasal ini kelihatannya positif tetapi mengandung bahaya laten yaitu bahaya timbulnya konflik horisontal di masyarakat. Konflik horisontal dapat terjadi karena adanya sistem penghargaan (reward) bagi yang dapat mengadukan hal seputar kehalalan. Pasal 54 RUU ini berpotensi untuk dipakai oleh kelompok tertentu sebagai alasan untuk mengadakan sweeping kepada pelaku usaha dengan alasan yang dicari-cari. Hal ini bisa melanggar pasal 28 J ayat 2 UUD 45: “Dalam menjalankan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Apakah RUU JPH ini menegakkan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain? Kalau justru RUU JPH ini bisa menjadi landasan hukum dalam melakukan sweeping terhadap warung-warung, toko-toko, pabrik-pabrik atau produk-produk yang dipersepsikan/dianggap tidak halal, RUU JPH tidak mengakui dan menghormati hak dan kebebasan orang lain sehingga melanggar pasal 28 J ayat 2 UUD 45. Pasal 28 J ayat 2 UUD 45 juga mengungkapkan bahwa pembatasan yang dilakukan oleh sebuah UU haruslah memenuhi tuntutan yang adil dari tiga aspek. Aspek pertama adalah tuntutan yang adil yang sesuai dengan pertimbangan moral. Aspek kedua adalah tuntutan yang adil yang sesuai dengan pertimbangan nilai-nilai agama. Aspek ketiga adalah tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban. Ketiga aspek ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Kalau RUU JPH ini berpotensi menimbulkan konflik horisontal, maka mengedepankan pertimbangan moral dan nilai-nilai agama semata tidaklah cukup karena pertimbangan potensi gangguan keamanan dan ketertiban oleh adanya sweeping atas dasar UU JPH nantinya merupakan harga yang terlalu mahal untuk dibayar yang dapat mengancam disintegrasi bangsa Indonesia. Dengan demikian, “taruhan” yang diletakkan di RUU JPH ini terlalu besar karena timbulnya potensi “kebakaran sosial” akibat tidak ditaatinya UUD 45 oleh Negara.
Karena besarnya potensi ketidaksetiaan Negara terhadap UUD 45 dalam RUU JPH ini, maka RUU JPH ini harus dibatalkan.
Budi H. Setiamarga, PhD. adalah director Center for Policy Analysis (CePA) di Institut Leimena.
Sumber Foto: http://food.detik.com
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena